• Anita Silalahi
    Anita Silalahi
    Lahir di Jakarta, 19 September 1977. Meraih gelar S1 dari Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Bisnis Universitas Indonesia, IPK 3,03. Meraih gelar S2 dari Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Bisnis Universitas Indonesia, IPK 3,61. Sebelum di WRI Indonesia, pernah bekerja di Bappenas, sebagai anggota Sekretariat Nasional Reformasi Regulasi di bawah Staf Ahli Menteri Hubungan Kelembagaan, Bappenas, 2016 - 2017.
Papers

Mempercepat Transformasi Struktural dengan Dukungan Jaringan Informasi Geospasial Nasional

2019

Abstraksi

Ketahanan pangan melalui penyediaan sarana irigasi dan lahan persawahan menjadi salah satu kunci dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan inklusif di daerah. Namun fenomena pembangunan sarana irigasi dan pencetakan sawah kerap dibuat secara tidak tepat sasaran, utamaya disebabkan oleh minimnya data dan informasi geospasial. Sebagai contoh, pembangunan irigasi di Sulawesi Tengah pada RKPD 2018 tidak menyertakan peta lahan persawahan. Bahkan di NTB, irigasi skala besar telah dibangun dengan APBD 2018, namun kenyataannya hanya sedikit sawah yang memanfaatkan sumber daya tersebut (Yanuar Nugroho: 2018:2). Tentu pemanfaatan data dan analisis spasial dalam perencanaan pembangunan khususnya di bidang pertanian sangat penting. Tanpa proses know-your-place, maka dampak negatif yang akan dihadapi antara lain: a) Pemda tidak mampu mengukur produktivitas pertanian di daerah irigasi sebelum dan sesudah pembangunan aset; b) Pemda tidak mengukur kecocokan program pertanian dengan daerah irigasi; seperti lahan irigasi ditanam komoditas yang berbeda dengan padi; c) Pemda tidak mampu mengukur kesejahteraan petani di daerah irigasi; d) Pemda tidak mampu mengukur struktur biaya produksi padi, akibatnya program pertanian tidak membantu petani agar tidak semakin miskin. Oleh karena itu, ketersediaan data spasial yang cepat, akurat, dan dapat dipertanggung jawabkan dalam mendukung ketahanan pangan harus didukung oleh kelembagaan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) yang kuat. Sejalan dengan prinsip Holistik-Integratif-Tematik-Spasial (HITS), maka peran JIGN sangat penting dalam penyediaan data dan analisis spasial untuk ketahanan pangan diantaranya dalam bentuk pembangunan irigasi dan pencetakan sawah baru, yang turut memperhitungkan lokasi, produk unggulan, infrastruktur jalan dan pasar yang terintegrasi. Permasalahan besar saat ini diketahui bahwa laju konversi lahan sawah sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, dimana lahan sawah seluas 8,1 juta ha, diprediksi terus menciut hingga menyisakan sekitar 5,1 juta ha pada tahun 2045 (Ani Mulyani et.al, 2015: 121). Tanpa perencanaan keruangan yang signifikan untuk mendukung pencetakan lahan sawah baru, maka cita-cita swasembada pangan akan terancam (Anny Mulyani et.al, 2015:1). Oleh karena itu, data dan informasi geospasial menjadi kunci utama pembenahan tata kelola pembangunan pertanian yang baik di daerah, sebagai dasar pengambilan kebijakan dan keputusan. Akar permasalahan terjadi karena, pertama, kurangnya integrasi antara perencanaan pembangunan daerah dengan perencanaan ruang. Hambatan ini timbul akibat banyaknya kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi ruang yang sebenarnya dan cenderung mengabaikan peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah, sehingga menimbukan konflik. Kondisi ini juga menghasilkan pembangunan yang tidak efisien dan biaya tinggi karena tidak ada sinkronisasi antar sektor pembangunan. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dicirikan dengan penghidupan tergantung pada penggunaaan lahan dan sumber daya alam yang tersebar, namun wilayah penghidupan mereka tidak terkoneksi dengan infrastruktur dasar. Justru yang terjadi, pembangunan daerah cenderung dilakukan secara ekstensif dan ekstraktif, yang berpotensi merusak lingkungan (Sonya Dewi et. al, 2009: 32). Kedua, kesenjangan antar wilayah banyak terjadi karena kurangnya koordinasi perencanaan keruangan antar tingkat pemerintahan untuk mengintegrasikan sumber daya khususnya bidang pertanian, antar tingkat pemerintahan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, hingga desa. Kurangnya koordinasi ini dapat menimbulkan kesenjangan ketahanan pangan, ketidak-berimbangan pemerataan pembangunan, migrasi penduduk, bahkan terpojoknya masyarakat lokal (Sonya Dewi et. al, 2009: 32). Sesuai dengan arah pencapaian sasaran butir ketiga Nawa Cita Presiden, bahwa pembangunan difokuskan dengan memperkuat daerah dan desa mulai dari pinggiran dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian ini dijabarkan ke dalam RPJMN dalam bentuk pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi termasuk bidang pertanian di luar Jawa dalam rangka mendorong peluang pekerjaan yang inklusif. Untuk itu, peran JIGN sangat membantu dalam memperkuat integrasi antara perencanaan pembangunan sesuai prinsip spasial (keruangan). JIGN merupakan pintu utama pelaksana dan penanggung jawab berbagi pakai data antar pemerintah dan pemangku kepentingan dengan mekanisme tata kelola data yang baik untuk kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan mendorong peluang kerja inklusif. Pendekatan JIGN dalam rangka mendukung transformasi struktural dilakukan dengan menciptakan keberimbangan dan integrasi spasial melalui pemilihan prioritas ruang yang ditempatkan sebagai sektor-sektor ekonomi unggulan yang berperan menjadi penggerak ekonomi wilayah, dengan keterkaitan atau interaksi antar daerah sekitar yang kuat, dimana salah satu wilayah berfungsi sebagai pusat ekonomi (sentra utama) dan wilayah lainnya sebagai pendukung. Jadi setiap wilayah akan saling mengisi dan memiliki keunggulan khas masing-masing. JIGN diharapkan mampu berperan menjadi wadah berbagi pakai data geospasial antar simpul-simpul jaringan melalui geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP), sebagai basis dan analisis dalam pengambilan kebijakan dan menyelesaikan hambatan teknis pembangunan, termasuk di bidang pertanian. Terkait dengan penyelesaian konflik, kontribusi JIGN sebagai wadah komunikasi pembangunan antar sektor dilaksanakan untuk menghadapi semakin kompleksnya tumpang tindih kawasan dan peruntukan lahan yang berdampak pada hapusnya lahan pertanian, menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana alam di daerah. Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan kelembagaan JIGN tingkat provinsi terbaik yang mampu mendukung basis dan analisis spasial dalam mewujudkan transformasi struktural. Metode kajian dilakukan dengan analisis kelembagaan berdasarkan indikator penguatan 5 pilar Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN). Kemudian hasilnya akan didukung dengan penilaian kuantitas melalui perbandingan biaya-manfaat dari keempat opsi kelembagaan di daerah sebagai penyedia basis dan analisis spasial yang berkelanjutan, dalam rangka mendukung pemerataan pembangunan, Ada 4 (empat) jenis kelembagaan yang akan dibandingkan, yaitu: Opsi (1) UPTD, Opsi (2) Bappeda, Opsi (3) Ad Hoc di Sekretaris Daerah (Sekda), dan Opsi (4) Dinas Telekomunikasi, Informatika dan Statistik (Kominfotik). Data primer yang digunakan berupa angket operasionalisasi simpul jaringan di 34 provinsi yang disebarkan oleh BIG saat penyelenggaraan Rapat Operasionalisasi Simpul JIGN Tingkat Provinsi di 5 region, pada Februari – Mei 2018. Data primer juga diperoleh dari diskusi terfokus dengan Kepala UPTD Pemetaan di Kalimantan Timur terkait peran kelembagaan simpul jaringan dalam pembangunan melalui penguatan IDSN. Data sekunder berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya peraturan gubernur terkait pembentukan simpul jaringan dan berbagai literatur terkait. Dengan demikian, dukungan JIGN yang kekinian untuk mendukung peluang kerja melalui transformasi struktural diharapkan berkembang melalui ketersediaan basis dan analisis spasial yang akurat, cepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemanfaatannya secara komprehensif akan membawa dampak positif (Triwidodo W. Utomo, 2018: 1), antara lain: a) Peningkatan produksi pertanian yang modern (agroindustri) sesuai dengan kondisi ruang/tempatnya; b) analisis penyerapan tenaga kerja melalui pembentukan industri-industri baru; c) pembangunan infrastruktur terintegrasi dan pusat-pusat pertumbuhan yang merangsang percepatan pendapatan per kapita masyarakat, untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya.

Komentar
--> -->