Abstraksi
Dunia saat ini tengah dihadapkan pada Era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan full automation, proses digitalisasi, dan penggunaan alat elektronik dengan sistem informatika. Era ini dapat mengurangi batas antar negara dengan masifnya pertukaran informasi yang berdampak pada industri manufaktur, sektor pelayanan dan jasa, serta kebijakan pemerintah. Hal ini akan memengaruhi ASEAN sebagai salah satu komunitas ekonomi terbesar dunia. ASEAN memiliki peran yang besar di Era Revolusi Industri 4.0, baik sebagai pelaku dan juga objek sasaran berbagai inovasi. Indonesia sebagai bagian dari ASEAN yang merupakan negara berkembang, tentunya perlu bersiap diri agar dapat melakukan leapfrogging dan mendapatkan keuntungan dari berbagai peluang revolusi tersebut untuk membuat kebijakan pembangunan yang lebih cepat. Upaya pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan diri menyambut Revolusi Industri 4.0 salah satunya dengan membuat kerangka besar Digitalisasi Pemerintahan melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) untuk penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efisien. SPBE memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Salah satu unsur krusial di dalam SPBE ini adalah ketersediaan data dan informasi yang terdiri dari Satu Data baik berupa Data Statistik dan Satu Peta. Kebijakan Satu Peta (KSP) dibuat karena banyaknya tumpang tindih perizinan dan konflik pemanfataan ruang akibat dari penyelenggaraan informasi geospasial yang menggunakan referensi, standar, dan format basis data berbeda-beda. Kajian Forest Watch Indonesia (FWI) di delapan provinsi Indonesia mencatat pada periode 2013 – 2016 terdapat 8,9 juta hektar areal penggunaan lahan yang tumpang tindih antara HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan. Selain itu, terdapat pula 526,8 ribu hektar wilayah adat yang tumpang tindih dengan konsesi tersebut. KSP diharapkan dapat menjawab isu tumpang tindih ini sebagai basis referensi peta yang sama. Produk KSP diharapkan juga dapat meningkatkan keandalan informasi terkait lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi yang akan memberikan kepastian usaha dan investasi, pengembangan ekonomi wilayah dan peningkatan daya saing kawasan menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera. Geoportal KSP telah diluncurkan pada Tanggal 11 Desember 2018. Bapak Jokowi menekankan KSP dapat menyelesaikan tumpang tindih pemanfaatan lahan, dan membuat perencanaan lebih akurat, bukan hanya berdasarkan data tetapi juga berdasarkan peta yang detail. Hal ini senada degan pendekatan THIS (Tematik, Holistik, Integratif, dan Spasial) dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Sebagai tindak lanjut atas diluncurkannya Geoportal KSP, Presiden menginstruksikan kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk menyusun mekanisme updating data yang efektif, dan menyiapkan peta dasar dengan skala yang lebih besar agar dapat memulai pembuatan Informasi Geospasial Tematik (IGT) dengan skala yang lebih besar. Arahan presiden ini menjadi tantangan bagi BIG selaku lembaga yang berwenang dalam penyelenggaran Informasi Geospasial (IG). Kebutuhan yang tinggi akan IG skala besar belum didukung dengan ketersediaan Informasi Geospasial Dasar (IGD) skala besar. Berdasarkan status ketersediaan Peta RBI sampai Tahun 2017 skala 1:1.000 belum tersedia, skala 1:5.000 baru tersedia sebesar 1,04% dan skala 1:10.000 baru tersedia 1,17%. Percepatan penyelenggaraan IGD ini perlu didukung dengan Industri Informasi Geospasial yang andal mengingat pentingnya akurasi dan detailnya data dan IGD skala besar. Pengembangan sistem akreditasi dan sertifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Industri IG yang berkualitas, terampil, andal, dan memiliki daya saing dunia juga perlu dipersiapkan. Tren global IG dunia sendiri saat ini tengah menyesuaikan dengan Era Revolusi 4.0. Informasi Geospasial telah digunakan untuk mengintegrasikan berbagai sumber data, analisis data, modelling dan pengambilan keputusan kebijakan. Untuk itu penyediaan IG saat ini mendukung perkembangan smart cities dan konektifitas internet of things, artificial intelligence dan big data, indoor positioning and mapping, integrasi data statistik dan geospasial, teknologi pembuatan, pemeliharaan dan manajemen data, perkembangan hukum dan kebijakan dalam penyebarluasan IG, persyaratan keterampilan dan mekanisme pelatihan, peran sektor swasta dan non pemerintah, serta peran pemerintah dalam penyediaan dan pengelolaan data geospasial di masa depan. Membaca tren global IG dunia di Era Revolusi Industri 4.0 dan persoalan di dalam negeri, Industri Geospasial di Indonesia belum dapat tumbuh sebagai industri mandiri karena lemahnya daya saing serta belum adanya pembinaan terkait kesiapan industri IG nasional menghadapi persaingan global. Hal ini memerlukan penguatan dalam penerimaan dan pembinaan SDM IG, permodalan, regulasi dan perizinan, perluasan scope of services, inovasi teknologi, global networking, pengkajian tren aplikasi IG, marketing industri IG dan quality assurance. Penerimaan dan pembinaan terhadap SDM IG yang berkualitas menjadi salah satu perhatian yang cukup penting, mengingat saat ini kuantitas dan kualitas SDM IG belum mencukupi kebutuhan. Indonesia membutuhkan sebanyak 35.316 SDM IG di Tahun 2019, sedangkan ketersediaannya hanya 18.584. Menghadapi semua tantangan ini, diperlukan integrasi multipihak dalam mempersiapkan SDM IG berkualitas salah satunya melalui sistem pendidikan dan pelatihan vokasi. Menurut Wardiman (1998) karakteristik pendidikan vokasi memiliki ciri: 1) diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja, 2) diadasarkan atas “demand driven” (kebutuhan dunia kerja), 3) ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, 4) penilaian terhadap kesuksesan peserta didik harus pada “hands-on” atau performa dunia kerja, 5) hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan vokasi, 6) bersifat responsive dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi, 7) lebih ditekankan pada “learning by doing” dan hands-on experience, 8) memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik, 9) memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar daripada pendidikan umum. Berkaca dari sistem pendidikan vokasi di Inggris yang sudah menerapkan integrasi digital literacy dengan penggunaan teknologi terbaru, pendidikan vokasi bidang geospasial di Indonesia masih tertinggal karena adanya keterbatasan anggaran. Hal ini terlihat masih minimnya pendidikan vokasi yang diarahkan kepada industri geospasial dan belum bersifat responsive dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi. Menarik untuk ditelaah terkait public private partnership pada sistem pendidikan vokasi di Inggris yang sangat bermanfaat dalam menambah kemampuan finansial bagi lembaga penyelenggaraan pendidikan. Kemampuan finansial ini berguna untuk membiayai dan mengembangkan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, menciptakan sistem pendidikan berkelanjutan, menerapkan teknologi modern, membangun gedung dan infrastruktur, serta mengembangkan hubungan dengan komunitas bisnis. Melihat kondisi ini, Integrasi Multipihak menjadi upaya untuk meningkatkan kerjasama antar multipihak agar dapat meningkatkan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi dalam industri geospasial. Integrasi Multipihak ini akan mempertemukan para pihak, membahas berbagai permasalahan, serta mencari solusi penyelesaiannya. Melalui desk study dan interview kepada multipihak di industri geospasial yang dituangkan pada stakeholder analysis dengan memerhatikan stakeholder matrix, tulisan ini akan memuat impian kemajuan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi bidang geospasial ke depan dengan asas kerja sama dan gotong royong.