• Sarinah
    Sarinah
    Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan
Papers

Peranan Serikat Pekerja dalam Mendorong Kerja Layak di Era Revolusi Industri 4.0.

2019

Abstraksi

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan peranan serikat pekerja dalam mendorong terciptanya kerja layak di era revolusi industri 4.0. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini adalah kemajuan teknologi industri di era revolusi industri 4.0 melahirkan kondisi digantikannya pekerjaan manusia dengan robot. Sebuah penelitian yang dirilis oleh World Economic Forum pada tahun 2018, menyebutkan pada tahun 2025 mesin akan melakukan pekerjaan lebih banyak daripada yang dilakukan oleh manusia pada saat ini. Sementara itu, kelas pekerja telah merasakan secara langsung bagaimana efisiensi dengan penggunaan mesin-mesin baru yang lebih canggih menciptakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini berarti posisi tawar kelas pekerja semakin menurun yang selanjutnya juga berarti mendesak serikat pekerja harus lebih banyak berkompromi saat memperjuangkan kerja layak di tempat kerja maupun dalam kebijakan publik. Kelihatannya ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak menjadi semakin jauh dari jangkauan tenaga kerja di Indonesia. Kondisi ini mengharuskan perlunya perubahan paradigma serikat pekerja dalam memperjuangkan kerja layak di Indonesia. Pertama, serikat pekerja harus menjalankan tugas dan peranannya secara independen dan demokratis. Seringkali serikat pekerja hanya dijadikan pajangan untuk sekadar memenuhi standar adanya “kebebasan berserikat” di suatu perusahaan. Padahal sesungguhnya fungsi-fungsi serikat pekerja dalam mengorganisasikan anggota dan meningkatkan kapasitas anggota tidak berjalan. Padahal, pembangunan serikat pekerja yang demokratis dan berkapasitas dapat berkontribusi bagi peningkatan produktivitas perusahaan. FSEDAR mendorong serikat buruh anggota untuk mempelajari sistem produksi perusahaan dan memberikan masukan-masukan bagaimana meningkatkan produksi tanpa mengabaikan hak-hak pekerja. FSEDAR juga telah mengembangkan sistem pelaporan masalah K3 langsung dari anggota ke pengurus serikat. Laporan ini dibawa dalam forum pertemuan antara serikat pekerja dengan direktur selaku pembuat keputusan. Saat ini kami sedang berusaha mengembangkan suatu model partisipasi dan demokrasi di tempat kerja yang kami sebut “co-management”. Kedua, serikat pekerja perlu melihat hak-hak pekerja bukan hanya sekadar dalam hak-hak normatif yang diberikan oleh Undang-Undang, khususnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, tetapi juga ada di dalam keuntungan perusahaan. Pengesahan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mendorong pengusaha dan pekerja untuk menetapkan struktur dan skala upah melalui perundingan bipartit di perusahaan. Dalam perundingan ini dibutuhkan data dan informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan sehingga dapat menjadi dasar yang jelas dalam menetapkan kenaikan upah di perusahaan. Oleh karena itu, serikat pekerja tidak hanya harus melakukan survei komponen kebutuhan hidup layak, tetapi juga menganalisa proses produksi dan keuangan perusahaan. Ketiga, serikat pekerja perlu menyadari pengurangan jam kerja adalah hal suatu keniscayaan untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja di era revolusi industri 4.0. Lembur (overtime) menjadi semakin tidak relevan lagi. Penggunaan robot dalam industri akan menghasilkan produksi yang lebih berlimpah, namun di sisi lain, lebih banyak orang yang menjadi pengangguran yang akan diikuti dengan dampak-dampak sosial seperti meningkatkan kriminalitas dan prostitusi. Penerimaan negara juga akan semakin menurun karena berkurangnya pajak penghasilan sehingga negara mau tak mau harus menarik pajak dari robot. Masalah-masalah ini sebetulnya tidak perlu ada kalau jam kerja semakin dikurangi untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja. Beberapa tahun terakhir Swedia sedang mengujicobakan pengurangan jam kerja dari 8 jam kerja menjadi 6 jam kerja saja. Uji coba ini sukses membuat pekerja menjadi lebih bahagia. Dengan semakin tersedianya waktu luang, maka produktivitas seseorang akan semakin meningkat karena waktu luang yang tersedia dapat didorong digunakan untuk meningkatkan kapasitas pekerja. Dengan menyadari hal ini, serikat pekerja dapat bernegosiasi di tempat kerja maupun mendorong kebijakan negara untuk semakin mengurangi jam kerja dan menambah shift kerja. Hal ini juga dapat menjadi solusi untuk mendorong dunia kerja semakin inklusif dengan menerima lebih banyak tenaga kerja perempuan, difabel dan kelompok marjinal lainnya karena hambatan-hambatan kerja sesungguhnya semakin hari akan semakin diatasi oleh kemajuan teknologi.

Komentar
--> -->