Disparitas Akses Literasi
Jumlah akses literasi untuk tunanetra di Indonesia sangat terbatas. Sampai pada tahun 2015, perpustakaan khusus untuk tunanetra terbesar di Indonesia –secara spesifik berada di Bandung hanya memiliki 350 judul buku braille. Padahal, setiap tahun ada lebih dari 10.000 judul buku cetak yang terbit dan dengan mudah dapat dinikmati oleh non-tunanetra. Hal itu dinilai cukup logis mengingat produksi buku braille memang memerlukan effort berlebih karena proses produksinya yang lama: memerlukan alat dan kertas khusus berharga mahal; membutuhkan tenaga manusia ekstra; dan output buku braille juga tidak kompetibel dengan mobilitas tunanetra akibat ukuran buku yang tebal dan besar. Apalagi untuk buku pelajaran sekolah dan kuliah yang setiap berganti kurikulum juga mengharuskan pelajar berganti buku, mengandalkan buku braille dengan demikian tidak lagi relevan untuk menjawab kebutuhan mereka akan akses literasi.
Untuk menyiasati kondisi yang serba terbatas tersebut, para tunanetra mengandalkan peran guru dan volunteer. Guru dan volunteer membacakan buku, lalu para tunanetra mendengarkannya. Mengandalkan peran orang lain untuk membaca buku tentu tidaklah efisien, mengingat guru dan volunteer tidak dapat standby 24 jam untuk mendampingi mereka belajar. Secara ringkas, apabila tidak ada guru atau volunteer yang membacakan buku, para tunanetra tidak akan memperoleh akses literasi. Kondisi tersebut tidak hanya berlaku untuk buku-buku dalam konteks akademis, melainkan juga informasi umum non-buku yang tidak berhubungan langsung dengan bidang akademis. Belum banyak akses literasi dan informasi yang dikembangkan secara inklusif untuk tunanetra, baik dalam bentuk talk bag, buku bersuara (audiobooks), maupun bentuk-bentuk lainnya. Disparitas akses informasi antara tunanetra dan non-tunanetra tersebut menunjukkan bahwa tunanetra di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengakses informasi/literasi.
Ketiadaan akses informasi yang memadai sangat memengaruhi produktivitas tunanetra serta kesempatan mereka untuk berkembang sebagaimana kelompok non-tunanetra lainnya. Dalam konteks memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak misalnya, ketiadaan akses informasi akan berpengaruh pada tersampaikan atau tidaknya peluang pekerjaan yang dapat mengokomodasi tunanetra. Tidak adanya akses informasi yang layak juga memengaruhi proses pengembangan diri tunanetra dalam rangka meraih kompetensi yang setara dengan kelompok non-tunanetra. Tidak heran bila selama ini profesi atau pekerjaan tunanetra hanya tereduksi dalam jenis yang cenderung homogen, yaitu pengamen, tukang pijat, dan guru. Padahal, ada berbagai macam pekerjaan di luar ketiga jenis tersebut yang tidak mustahil untuk dimasuki oleh tunanetra. Ketiadaan akses informasi yang layak telah menutup berbagai kesempatan dan kemungkinan tersebut.
Sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), mewujudkan masyarakat informasi adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, konstitusi menjamin seluruh kelompok masyarakat dapat mengakses informasi –terutama informasi publik secara bebas dan bertanggung jawab. Hak atas akses informasi diyakini sangat penting karena berkaitan dengan pengembangan diri seseorang. Kelompok tunanetra di Indonesia yang berjumlah 3,5 juta jiwa dengan demikian juga memiliki hak serupa. Terlebih lagi, keistimewaan fisik tunanetra telah membuat mereka cukup ‘tertinggal’ dalam hal memperoleh pekerjaan yang layak, bila dibandingkan dengan kelompok non-tunanetra. Ketiadaan akses informasi yang layak –sebagaimana yang terjadi saat ini telah membuat mereka semakin ‘tertinggal. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk menyediakan akses informasi yang lebih inklusif bagi tunanetra.
Mata untuk Tunanetra
Voice for Changes adalah jawaban atas persoalan disparitas akses informasi/literasi yang dihadapi tunanetra. Voice for Changes merupakan digital-based social entreprise yang memproduksi audiobooks untuk tunanetra di seluruh Indonesia. Misi yang tertanam dalam proyek tersebut adalah untuk membuat tunanetra di Indonesia dapat memperoleh akses literasi/informasi yang setara dengan non-tunanetra. Kelebihannya, proyek tersebut menerapkan sistem “crowdvoicing” yang memungkinkan publik dapat saling bekerja sama untuk ‘patungan suara’. Hal itu terinspirasi oleh konsep “crowdfunding” yang membuat masyarakat dapat bersama-sama ‘patungan uang’ untuk menciptakan suatu perubahan sosial.
Melalui sistem “crowdvoicing”, masyarakat cukup merekam suara ketika membaca buku dengan menggunakan recorder tools yang mereka miliki. File rekaman suara tersebut kemudian dikirimkan kepada Voice for Changes dan akan diedit menjadi sebuah produk audiobooks berkualitas. Tim Voice for Changes akan mendistribusikan audiobooks tersebut kepada lembaga pendidikan dan yayasan tunanetra di seluruh Indonesia serta melalui platform yang dapat diakses secara digital oleh tunanetra. Sementara itu, jenis-jenis buku/sumber informasi yang diaudiokan juga bermacam-macam, mulai dari buku pengembangan diri, pelajaran sekolah atau kuliah, hingga informasi-informasi umum yang tidak dapat dijangkau oleh tunantera.
Melalui proyek tersebut, para tunanetra tidak perlu lagi mengandalkan buku braille yang jumlahnya sangat terbatas serta bergantung pada guru dan volunteer untuk membacakan buku. Mereka juga tidak perlu bersusah payah mencari sumber informasi lewat internet yang sebagian besar tidak kompatibel dengan kondisi fisik mereka. Cukup memutar produk audiobooks lewat komputer di sekolah atau handphone atau mengaksesnya melalui platform Voice for Changes, para tunanetra dapat menikmati akses informasi sebagaimana orang-orang yang bisa melihat dengan mata normal.
Voice for Changes bertekad untuk mengurangi ketertinggalan akses informasi yang dialami oleh tunanetra dengan memproduksi beragam audiobooks, sesuai dengan kebutuhan tunanetra. Dengan akses informasi/literasi yang lebih inklusif, tunanetra akan mampu memperoleh kesempatan yang sama dengan kelompok non-tunanetra dalam hal pengembangan diri. Pada akhirnya, dengan kesempatan pengembangan diri yang setara, para tunanetra juga memiliki peluang yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan sumber penghasilan yang lebih layak.