• RIZQA FITHRIANI
    RIZQA FITHRIANI
    ASN di BPS Kabupaten Pesawaran. Mengabdi di BPS sejak 2011 silam. Memiliki ketertarikan kan analisis di bidang sosial ekonomi. Telah berpartisipasi dalam penelitian akan pekerja anak pada Children Poverty and Social Protection Confrence di 2012 dan penelitian akan pola konsumsi masyarakat pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI di 2018
Papers

PENDIDIKAN INKLUSIF JEMBATAN DUNIA KERJA BAGI PENYANDANG DISABILITAS

2019

Abstraksi

Penyandang Disabilitas menjadi kaum marginal dalam perekonomian Indonesia. Ditengah gempita pembangunan ekonomi di negeri ini penduduk PD justru terkekang dalam mengakses sumber daya ekonomi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tim Riset LPEM FEB Universitas Indonesia dengan menggunakan data Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2016 diungkapkan keterbatasan yang dialami para Penyandang Disabilitas dalam bersaing di pasar tenaga kerja. Penelitian tersebut mengungkapkan hanya 56,72 persen angkatan kerja Penyandang Disabilitas ringan yang mampu bersaing mendapatkan pekerjaan. Sementara itu pada penyandang disabilitas berat hanya 20,27 persen dari angkatan kerja yang berkecimpung di pasar tenaga kerja. Kondisi tersebut membuka mata kita akan terpinggirkannya para Penyandang Disabilitas dalam mewarnai kue pembangunan ekonomi di negeri ini. Prevalensi penyandang disabilitas dalam usia produktif di Indonesia boleh dikatakan cukup tinggi. Pada penduduk usia kerja 15 tahun keatas prevalensi Penyandang Disabilitas di Indonesia ialah sebesar 12,15 persen (ILO, 2017). Dimana 10,29 persen merupakan Penyandang Disabilitas ringan, dan 1,87 persen penyandang disabilitas berat. Fakta tersebut sudah sepatutnya menjadi perhatian tersendiri dalam menyusun kebijakan pembangunan yang inklusif. Perencanaan pembangunan berkelanjutan yang disusun pemerintah sudah sepatutnya mampu dirasakan juga oleh saudara kita para Penyandang Disabilitas. Untuk itu perlu dibangun kebijakan pembangunan terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja yang lebih mendorong partisipasi Penyandang Disabilitas di dalamnya. Dalam penelitian ini peneliti mengkaji apa yang menjadi faktor utama penghalang angkatan kerja Penyandang Disabilitas dalam bersaing di pasar tenaga kerja, dan bagaimana karakteristik dari Penyandang Disabilitas usia produktif di Indonesia. Studi ini dilakukan melalui studi literature akan penelitian-penelitan tentang tenaga kerja disabilitas, dan pemanfaatan data SAKERNAS serta hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dalam menyusun analisis Sosial Ekonomi yang lebih dalam. Hasil dari studi yang kami lakukan menunjukan bahwa pendidikan menjadi faktor utama yang menghambat penyandang disabilitas usia produktif sulit bersaing di pasar tenaga kerja. Hal tersebut didukung oleh riset LPEM FEB Universitas Indonesia (2017) yang menunjukan bahwa hampir separuh penyandang disabilitas usia produktif tidak lulus sekolah dasar (45,74 persen), jauh lebih rendah jika bandingkan dengan penduduk usia produktif yang tidak menyandang disabilitas yang 87,31 telah menempuh pendidikan diatas pendidikan dasar SD. Selain sulit untuk bersaing di pasar tenaga kerja para PD usia produktif juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan pembayaran upah yang layak . Sebanyak 36,58 persen Tenaga Kerja dengan PD ringan berpenghasilan dibawah 750 ribu rupiah, dan 42,07 persen tenaga kerja PD berat berpenghasilan kurang dari 750 ribu per bulannya. Kondisi tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tenaga kerja non penyandang disabilitas, yang mana hanya 21,65 persen yang berpenghasilan dibawah 750 ribu rupiah per bulan. Kondisi tersebut membawa PD usia produktif rentan akan kemiskinan. Tingkat pendidikan yang rendah membuat PD usia produktif tak mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja, sehingga tak heran jika tingkat partisipasi angkatan kerja pada Penyandang Disabilitas (PD) hanya 56,72 persen untuk PD ringan dan 20,27 persen untuk PD berat. Menurut Yeo dan Moore (2003) kesulitan yang dialami PD usia produktif untuk memasuki angkatan kerja disebabkan oleh beberapa diskriminasi yang dihadapi oleh PD, diantaranya diskriminasi dalam hal kelembagaan, diskriminasi lingkungan fisik dan diskriminasi sosial. Disabilitas menjadi beban bagi PD untuk memasuki pasar tenaga kerja sebagai pekerja karena kompetitifnya pasar tenaga kerja. Baik penyandang disabilitas ringan maupun berat cenderung bekerja sebagai wiraswasta, wiraswasta dengan pekerja sementara/tidak dibayar, dan pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbud, jumlah total Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia pada November 2015 mencapai 1,6 juta anak. Akan tetapi hanya sekitar 10-11 persen ABK yang mendapatkan layanan pendidikan. Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor, di antaranya anak yang tidak ingin bersekolah, orang tua yang kurang mendukung pendidikan untuk anaknya, serta akses sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggal ABK (Kemendikbud, 2016). Meskipun telah banyak sekolah inklusif di Indonesia, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak pula sekolah inklusif yang belum siap untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif tersebut. Hasil penelitian dari Ni’matuzahroh (2015) menyimpulkan bahwa beberapa kendala yang ada dalam penyelenggaraan kelas inklusif yaitu pemahaman terhadap kurikulum berdiferensiasi, sarana prasarana, pengetahuan tentang inklusif yang minim, penolakan keberadaan siswa ABK, penolakan siswa reguler belajar bersama dengan ABK, dan pengetahuan guru yang minim tentang cara memperlakukan ABK. Dimana kurikulum berdiferensiasi merupakan kurikulum nasional yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan siswa ABK, dengan adanya penekanan pada materi secara esensial sehingga dapat memacu dan memberikan wadah bagi pengembangan spiritual, logika, etika dan estetika, serta kreatifitas siswa ABK. Untuk meningkatkan daya saing para PD usia produktif dalam pasar tenaga kerja diperlukan adanya upaya peningkatan modal sumber daya manusia pada PD usia produktif. Penyelenggaran pendidikan khusus bagi anak-anak PD mutlak diperlukan agar mampu membekali mereka di masa depan dalam bersaing di pasar tenaga kerja. Namun penyelenggaran pendidikan inklusif bagi anak-anak PD bukanlah sebuah perkara yang mudah. Butuh keseriusan yang tinggi dari pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Keseriusan dalam penyiapan sarana dan prasarana pendidikan inklusif serta modal SDM pengajar pendidikan inklusif.

Komentar
--> -->