• Hastuti Saptorini
    Hastuti Saptorini
    Tempat/Tanggal Lahir: Pati/24 Mei 1960 S1: Jurusan Arsitektur UGM Yogyakarta, Lulus 1987 S2: Master of Architecture in Housing Studies, Newcastle upon Tyne, United Kingdom
Papers

PENGEMBANGAN OBYEK WISATA BLUE LAGOON YOGYAKARTA. Komunitas Sebagai Indikator Pembangunan Inklusif.

2019

Abstraksi

Blue Lagoon merupakan sepenggal Sungai Tepus yang tumbuh dan berkembang sebagai obyek wisata air di tengah permukiman Dusun Dalem, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Obyek air ini memiliki sejumlah sendang dengan air yang jernih, berwarna biru, bermata air yang terus memancar, sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dan sekitar untuk beraktivitas. Mandi, renang, memancing, lomba keli keli (sejenis berdayung), teater air, dan sebagainya merupakan aktivitas rekreasi air yang dilakukan masyarakat secara rutin. Atas respons positif ini, komunitas setempat telah mengelola dan mengembangkannya secara spontan dan bertahap. Pengelolaan komunitas diinisiasi oleh key persons yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat. Diawali oleh pengaturan masalah parkir pengunjung, key persons yang terdiri atas Aparat Dusun dan Tokoh berpengaruh telah melibatkan Pemuda setempat untuk mengelola parkir dan pintu masuk Pengunjung. Dengan retribusi yang ditetapkan Pengelola, dana dapat terkumpul dan dimanfaatkan untuk menginisiasi pembangunan fisik. Infrastruktur menuju sendang utama merupakan awal pembangunan fisik untuk memperlancar pergerakan Pengunjung menuju pusat rekreasi air tersebut. Pembangunan infrastruktur diawali oleh pembersihan lahan ruang pergerakan berlebar 2 meter, dilanjutkan dengan pekerjaan pengerasan jalan berbahan batu kali yang dipanen dari sekitar sungai setempat. Pekerjaan ini melibatkan komunitas Bapak Bapak dan Remaja dalam bentuk gotong royong dan melibatkan beberapa Tukang berbayar untuk menjamin pekerjaan dapat berjalan kontinum. Komunitas ibu ibu juga dilibatkan untuk menyiapkan logistik dan konsumsinya agar pelaku pekerjaan terjaga semangat dan staminanya. Pembangunan jalan tersebut telah mengakselerasi dan memudahkan pergerakan Pengunjung dalam mengakses sendang. Layanan ini ternyata memicu peningkatan jumlah Pengunjung, khususnya di hari hari libur/besar. Tahun 2018 akhir, jumlah Pengunjung tercatat rata rata 350 orang dalam seminggu. Semakin banyak Pengunjung, semakin besar pendapatan retribusinya. Pembangunan fisik pun berkembang secara bertahap, baik dalam lingkup spasial (luas/kuantitas), juga dalam hal kualitas. Tidak hanya pembangunan konstruksi jalan dan kelengkapannya, juga telah dibangun beberapa gubuk/gazebo yang digunakan kaum Ibu untuk berjualan makanan dan tempat beristirahat atau merawat kesehatan/keselamatan Pengunjung. Aktivitas rekreasi ini semakin berkembang karena Komunitas Dusun ini juga memiliki atraksi budaya yang dirawat secara berkelanjutan. Acara “merti sumber” sebagai rangkaian melekat dalam merawat sumber mata air, merupakan atraksi kultural tahunan yang menarik perhatian Pengunjung. Atraksi ini diperkaya pula oleh aktivitas komunitas Ibu Ibu PKK yang menunjukkan kemampuan membatik, memproduksi jamur, memasak kuliner tradisional, dll. Kondisi ini menggugah para Petinggi Pemerintahan untuk meluangkan hadir atas undangan yang dikirimkan Pengelola acara. Kehadiran sejumlah Petinggi pemerintahan ini mengindikasikan bahwa Blue Lagoon telah “diakui” eksistensinya dalam konstelasi wilayah kepariwisataan DIY. Peresmian Blue Lagoon sebagai obyek wisata air oleh Bapak Bupati Sleman pada 22 Maret 2015, kunjungan Gubernur dan wakil Gubernur DIY di tahun 2016 dan 2017 dalam menghadiri atraksi “merti sumber”, telah berhasil membangun semangat dan rasa bangga komunitas. Dampak positifnya, mereka dengan sadar menghargai potensi alam dan warisan budaya ini sebagai aset wisata yang perlu dirawat dan dikembangkan. Semuanya merupakan proses pembangunan menuju masa depan yang berkelanjutan karena bertumpu pada komunitas secara inklusif. Pertanyaan makalah ini dirunut atas dasar sintesis/rajutan sejumlah temuan hasil penelitian kecil yang telah dilakukan Penulis di lokasi ini. Dari tahun 2016-2018, Penulis telah melakukan beberapa kali pengamatan dan wawancara mendalam khususnya perihal Perilaku Pengguna dan proses pembangunan di Kawasan Wisata ini. Dengan demikian, rumusan pertanyaannya adalah sebagai berikut. “Bagaimana tingkat inklusivitas komunitas Dusun Dalem dalam proses pembangunan Blue Lagoon Sebagai Kawasan Rekreasi?” Tingkat inklusivitas diukur melalui kajian 3 poin pertanyaan sebagai berikut. 1. Siapa aktor pembangunan yang sesungguhnya? 2. Bagaimana keterlibatan Pemerintah sebagai akselerator/pemicu/partnership proses pembangunan? 3. Bagaimana komunitas mempertahankan nilai nilai pembangunan yang sustainable, yaitu dalam 4 hal: soliditas Sosial? Konsistensi Budaya?, ketahanan Ekonomi?, dan pelestarian Lingkungan?. Metode kajian makalah ini disusun berdasarkan peta/alur pikir sbb. 1. Data yang digunakan dalam kajian makalah ini merupakan temuan dari hasil beberapa penelitian kecil di Blue Lagoon yang telah dilakukan pada 2016-2018. 2. Data tersebut dikaji/dianalisis berdasarkan parameter parameter yang diperoleh dari kajian teori teori yang bertema "Community Development" dan Sustainable Development". 3. Hasil análisis tersebut (poin 2) menyimpulkan hal hal yang mengindikasikan Komunitas Blue Lagoon berperan sebagai Pelaku Pembangunan Inklusif Terhadap Pengembangan Obyek Wisata Blue Lagoon. Dari kesimpulan ini akan mengungkapkan 3 poin: 1. Key persons yang berperan sebagai actor pembangunan, 2. Keterlibatan stakeholders eksternal: Pemerintah/Swasta sebagai akselerator/pemicu/partnership pembangunan 3. Sustainabilitas soliditas sosial, konsistensi budaya, ketahanan ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Inisiatif, keterlibatan, dan kemandirian komunitas dusun Dalem dalam mengelola Blue Lagoon dapat diindikasikan sebagai potensi pembangunan berbasis komunitas secara inklusif. Hal ini diindikasikan oleh adanya peningkatan pembangunan secara bertahap dari tahun ke tahun, baik fisik maupun non fisik. Pembangunan fisik diindikasikan oleh penambahan jumlah gubuk gubuk/gazebo, gedung pertemuan, dan infrastruktur untuk menampung aktivitas Pelaku Wisata. Pembangunan non fisik ditunjukkan oleh peningkatan keterlibatan/kontribusi komunitas dalam memikirkan pengembangan Blue Lagoon di masa depan, baik berupa waktu, tenaga, maupun pikiran. Sebagai kesimpulan dalam kajian ini adalah pembangunan obyek Wisata Blue Lagoon masih membutuhkan pendampingan dan pengarahan dari Pihak Eksternal. Semangat dan antusiasme membangun lingkungan permukiman berada di kawasan wisata secara mandiri memang relatif tinggi. Namun ketajaman dan keluasan berpikir dalam membangun keberlanjutan pembangunan kawasan wisata, masih membutuhkan keterlibatan Institusi dan Pemerintah sebagai partnership pembangunan. Pelibatan akademisi yang berkompeten sebagai pendamping aktualisasi dan inovasi pemikiran merupakan kontribusi Institusi dalam mendampingi komunitas menuju masa depan yang solutif, inovatif, dan futuristik. Kehadiran Pemerintah baik dalam bentuk kebijakan maupun sedikit pendanaan merupakan “Payung Pengendali Pembangunan” menuju pembangunan kawasan wisata yang terarah, komprehensif, dan sistemik. Kontribusi Pemerintah dalam pembangunan Blue Lagoon melalui beberapa kali pemberian bantuan baik dalam bentuk arahan dan suntikan dana dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dan apresiasi atas kontribusi warga, namun masih dalam batas “alat kendali sistemik” dalam memantau kelestarian soliditas sosial, konsistensi budaya, ketahanan ekonomi komunitas, dan kelestarian lingkungannya.

Komentar
--> -->