• Jose Segitya Hutabarat
    Jose Segitya Hutabarat
    -
Ideas

Memacu Budaya Literasi Kritis

2019

Tantangan yang dihadapi bangsa ini bukan cuma angka buta aksara yang masih tinggi, melainkan juga rendahnya minat baca masyarakat di berbagai lapisan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2004 masih ada 15,4 juta penduduk yang buta aksara atau 10,2 persen dari jumlah penduduk, sedangkan pada 2010 jumlahnya turun menjadi 7,54 juta jiwa atau 5,02 persen dari jumlah penduduk. Pada tahun 2017, jumlah ini turun lagi menjadi 3,4 juta jiwa atau 2,07 persen dari jumlah penduduk. Selain itu, kemampuan membaca saja tidaklah cukup, tetapi juga harus disertai dengan kegemaran membaca di masyarakat. Hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 menunjukkan, frekuensi membaca orang Indonesia hanya 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari hanya 30-59 menit. Tidak sampai satu jam.

Waktu membaca ini jauh di bawah standar UNESCO, yakni 4-6 jam per hari. Adapun jumlah buku yang ditamatkan masyarakat Indonesia hanya 5-9 buku per tahun (Harian Kompas, 2018). Uji tiga tahunan Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) untuk siswa usia 15 tahun atau di bidang sains, membaca, dan matematika menunjukkan, nilai siswa Indonesia pada 2015 hanya 403, jauh lebih rendah daripada nilai rata-rata global 493. Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan mutu siswa Indonesia lemah dalam bernalar serta berargumentasi lisan dan tulisan. Namun, di era industri 4.0 yang mengedepankan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong inovasi, kemampuan itu jauh dari memadai (Arika, 2018). Pendidikan abad ini seyogianya mampu membentuk insan muda yang teliti, kritis, dan etis, mampu mengenali dan menganalisis masalah, memberikan solusi bagi pemecahan masalah, dan lebih lanjut mampu membuat keputusan secara tepat (Abidin, 2015).

Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk transformasi sosial yang diperlukan untuk menyesuaikan ke revolusi industri 4.0 (4IR). Tetapi pendidikan hari ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan revolusi industri masa lalu dengan produksi massal yang ditenagai oleh listrik. Sistem-sistem itu tidak cocok untuk ekonomi otomasi. Siswa hari ini (dari segala usia) dihadapkan dengan tantangan utama dalam demografi, populasi (baik yang tumbuh dan menyusut), kesehatan global, melek huruf, kemiskinan, pengangguran dan banyak lagi. Sejauh ini perubahan pendidikan lambat dan tidak memadai, tapi ada pula yang mencoba beradaptasi. Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan umumnya mengalami hanya peningkatan bertahap kecil. Seperti penambahan ruang kelas yang lebih baik, gonta-ganti kurikulum, dan perpustakaan serta infrastruktur lainnya (Gleason, 2018). Untuk mengembangkan keterampilan, pembelajaran harus melampaui sekadar transfer informasi.

Pendidikan perlu menekankan pedagogi yang berpusat pada siswa dan kerja tim yang sangat membantu dalam mengembangkan keterampilan emosional yang diperlukan untuk kesuksesan abad 21. Melalui penguasaan kompetensi ini pula, siswa akan dapat menyampaikan berbagai pandangan kritisnya kepada orang lain dan juga mampu mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain sehingga ia akan senantiasa mampu berguna bagi lingkungannya. Intinya adalah bahwa kreativitas menjadi kunci memungkinkan siswa untuk menciptakan pengetahuan baru dan mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui (Lewis, 2018). Sistem pendidikan yang adaptif bermakna perlunya sinergitas antara rancangan proses pendidikan dengan perkembangan pengetahuan terkini. Perubahan pendekatan pola penyelenggaraan pembelajaran dari yang berorientasi pada diseminasi materi mata pelajaran menjadi pembelajaran dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan (Afandi, Junanto dan Afriani, 2016). Oleh karenanya, paradigma baru pendidikan haruslah diwujudkan guna mampu menempatkan pendidikan pada tempat yang penting dalam mengembangkan kompetensi siswa.

Untuk menumbuhkan kemampuan tersebut, sistem pendidikan nasional perlu memiliki program “literacy education” dalam kurikulum sekolah mulai dari literasi dasar  pada pendidikan dasar sampai dengan literasi yang lebih tinggi tingkatannya pada pendidikan tinggi dan pendidikan profesional (Suryadi, 2014). Paradigma ini selanjutnya dikenal dengan istilah paradigma pendidikan literasi. Paradigma literasi kritis menekankan kritik teks atau informasi yang berkaitan dengan isu-isu kekuasaan, dominasi, dan hubungan antar kelompok. Dalam praktiknya, pembelajaran literasi harus secara eksplisit dikembangkan secara bervariasi bergantung pada apa yang harus dipelajari siswa dan bagaimana konteks proses pembelajarannya. Upaya mengembangkan pembelajaran literasi kritis hendaknya dilakukan secara integratif. Dilakukan secara terpadu (lintas disiplin ilmu) dan mempertimbangkan keberagaman siswa serta dijiwai daya kritis (Abidin, 2015). 

Dengan demikian, literasi kritis memberikan potensi alat pemberdayaan bagi siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis. Secara historis, literasi sering dianggap sebagai kemampuan membaca dan menulis dengan benar. Ini menyiratkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan itu memungkinkan seseorang untuk membaca buku dan menulis kalimat. Literasi sebagai dasar untuk mendukung keterampilan berpikir kritis pelajar abad 21 yang hidup dalam masyarakat yang kompleks dan global. Literasi juga dapat dipahami sebagai proses kritis dan reflektif itu mensyaratkan mengetahui posisi seseorang di dunia dan realitas. Literasi kritis menawarkan potensi untuk berfungsi sebagai alat yang memungkinkan siswa untuk menginterpretasikan beragam pesan dan informasi, membuat keputusan berdasarkan informasi, dan bertindak untuk mengubah masyarakat dan dunia secara positif yang bermanfaat untuk orang lain (Pohl jr dan Beaudry, 2015). Literasi sangat memengaruhi kualitas hidup masyarakat dan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan menjadi cara yang menentukan mutu dari literasi tersebut.

Pembinaan literasi dengan berpikir kritis ini, siswa diharapkan akan mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat berdasarkan penggunaan berbagai sudut pandang dan bukan hanya berdasar pada sudut pandang tertentu. Siswa harus mampu menyikapi sebuah fenomena tertentu berdasarkan konsep pengetahuan yang terintegrasi bukan pengetahuan secara fragmentaris. Oleh sebab itu, desain pembelajaran integratif yang berdiferensiasi menjadi desain pembelajaran yang harus diterapkan sejak anak belajar formal sebab melalui pembelajaran integratif yang berdiferensiasi ini siswa akan beroleh sejumlah pemahaman akhir (enduring understanding) yang bersifat interdisiplin ilmu dan sekaligus beroleh keterampilan kecakapan hidup (life skill).

Pembelajaran integratif biasanya dikembangkan berdasarkan pengalaman, perhatian dan kehidupan sehari-hari siswa (relevan dan kontekstual). Dalam aplikasinya, pembelajaran integrasi interdisiplin diwujudkan dalam model pembelajaran berbasis proyek, model pembelajaran berbasis masalah, dan model pembelajaran berbasis desain. Melalui pembelajaran ini diharapkan siswa benar-benar memiliki berbagai kecakapan autentik yang bukan hanya berfungsi di dunia sekolah melainkan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh pembelajaran ini diharapkan mampu melahirkan insan cerdas, komunikatif, dan berkarakter di masa yang akan datang.

 


Komentar
--> -->