• Ade Marsinta Arsani
    Ade Marsinta Arsani
    Statistisi yang belajar menerjemahkan angka dalam kata-kata, membumikan statististik untuk perencanaan yang lebih baik.
Papers

Women-Friendly Policies: Raising Female Participation in Indonesia

2019

Abstraksi

Kebijakan ketenagakerjaan untuk wanita selalu menarik untuk dibicarakan. Tak hanya menyoal tentang prospek kerja dan upah, kebijakan ketenagakerjaan untuk wanita juga telah merambah ranah yang lebih pribadi, yaitu tentang peran wanita pekerja dalam rumah tangga. Tak bisa dipungkiri, wanita karir tetap harus bersentuhan dengan urusan dometik seperti pengasuhan anak. Terkadang, hal ini menimbulkan dilema bagi sebagian wanita bekerja. Bila tak ditangani dengan baik, masalah ini akan menggangu kinerja dan lambat laun akan mempengaruhi prospek karir mereka. Masalah domestik memang menjadi masalah pelik bagi sebagian besar wanita karir. Hal ini merupakan faktor penting dalam karir seorang wanita. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat untuk mendorong wanita bekerja dan memberikan rasa aman dan nyaman untuk wanita bekerja sehingga akan meningkatkan performa kerjanya. Penelitian di negara-negara OECD menunjukkan bahwa kebijakan terkait dengan pendidikan perempuan tidak secara langsung dapat mempengaruhi tingkat partisipasi angkatan kerja wanita. Di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara angka partisipasi murni pendidikan SMA menurut jenis kelamin dan angka TPAK menurut jenis kelamin. APM SMA perempuan telah setara dengan laki-laki, bahkan beberapa tahun terakhir nilai APM SMA perempuan telah lebih tinggi dari APM SMA laki-laki. Namun, fenomena di dunia pendidikan ini tidak diikuti dengan peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan yang masih bertahan di rata-rata 50% selama 20 tahun terakhir, sementara partisipasi laki-laki telah meningkat menjadi 84%. Karena masalah domestik sering dijadikan sebagai kambing hitam rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan, maka penelitian ini mencoba menguraikan masalah-masalah yang sebenarnya membebani perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia kerja serta memberikan solusi kebijakan sesuai dengan masalah yang akan dihadapi. Selain itu, karena partisipasi angkatan kerja perempuan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, maka penulis mencoba memberikan simulasi benefit pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan partisipasi perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka, analisis eksplorasi, statistik deskriptif, serta analisis time series. Adapun sumber data yang digunakan adalah data pertumbuhan ekonomi, data ketenagakerjaan menurut gender, serta data sekunder lain dari berbagai sumber. Dari hasil kajian pustaka, diperoleh bahwa terdapat poin yang membebani wanita untuk berpartisipasi aktif dalam dunia ketenagakerjaan. Masalah pertama adalah fleksibilitas waktu kerja. Bagi sebagian besar wanita, kekakuan jam kerja, atau yang lebih dikenal dengan 9-5, menghalangi mereka untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Padahal, hal ini dapat mendukung mood mereka untuk bekerja dan mendorong kreativitas para wanita bekerja. Salah satu kebijakan yang disarankan untuk mengatasi masalah ini adalah Flexible working-time arrangements. Dengan kebijakan ini, wanita bekerja dapat mengalokasikan waktunya dengan baik untuk urusan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Meskipun tidak dapat diterapkan untuk seluruh sektor, tetapi kebijakan ini diharapkan dapat dapat mengurangi beban wanita di sebagian besar sektor kerja. Tak hanya dapat diterapkan untuk wanita yang bekerja penuh waktu, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi wanita pada sektor-sektor yang mengandalkan pekerja paruh waktu. Masalah selanjutnya adalah cuti untuk perempuan yang memiliki bayi. Kebijakan cuti hamil dan melahirkan di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari ideal. Jatah cuti melahirkan di Indonesia hanya sekitar 90 hari, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 180 hari. Aturan pemakaian cuti ini pun masih terlalu kaku. Sebagian perusahaan mewajibkan wanita yang akan melahirkan mengambil cuti sejak 1 bulan sebelum melahirkan. Sisa waktu setelah melahirkan hanya tinggal 2 bulan, itu pun bila anak mereka lahir sesuai dengan tanggal perkiraan. Bila melewati tanggal perkiraan, maka waktu untuk merawat bayi akan semakin sedikit. Hal ini rentan menimbulkan stres bagi ibu yang baru melahirkan. Solusi untuk masalah ini adalah pemberian cuti melahirkan yang lebih panjang dan fleksibel. Karena pengasuhan bayi yang baru lahir juga membutuhkan tambahan biaya yang tidak sedikit, maka kebijakan pemberian subsidi untuk perawatan bayi sampai batas umur tertentu juga perlu dipertimbangkan. Subsidi ini dapat disubstitusi dengan penyediaan daycare di kantor-kantor level menengah ke atas (penentuan ini berdasarkan jumlah tenaga kerja dan rasio tenaga kerja perempuan subur). Selain itu, pemerintah juga diharapkan mewajibkan setiap kantor untuk memiliki ruangan menyusui untuk mendukung program ASI eksklusif. Masalah ketiga adalah masalah mutasi pasangan. Bagi suami istri yang dua-duanya bekerja, mutasi pasangan menjadi masalah yang cukup pelik. Mutasi memang kadang menjadi suatu yang tidak dapat dihindari. Kebijakan mutasi dengan mempertimbangkan kondisi keluarga patut dikaji lebih jauh agar tidak menjadi beban perusahaan maupun beban ekonomi negara secara umum. Karena kelurga merupakan tempat pembinaan awal generasi penerus bangsa, maka kondisi mental anak-anak yang tumbuh dengan kondisi orangtua yang tinggal terpisah karena tuntutan pekerjaan patut dipertimbangkan. Tentunya solusi kebijakan di atas mempunya keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Pengkajian lebih dalam diperlukan untuk formulasi kebijakan yang lebih adil dan realistis untuk semua pihak.

Komentar
--> -->