Abstraksi
Selama ini fesyen dan Kosmopolitanisme menjadi istilah yang seolah bermakna hanya untuk kalangan menengah atas yang penuh privilese. Fesyen seolah hanya sebagai perpaduan mode dengan rancangan desainer yang mahal yang sulit diakses oleh sebagian masyarakat. Kosmopolitanisme tidak jauh berbeda, baik secara praktis maupun teoretis konsep kewargaan dunia ini seolah hanya bisa diakses oleh kalangan orang kaya raya; yang bisa mengunjungi berbagai negara, mencecap berbagai bahasa, menggunakan berbagai produk ekonomi-kebudayaan negara-negara di dunia. Penilaian tersebut semakin terasa kontradiktif jika kita melihat perkembangan dunia hari ini. Proses sirkulasi budaya transnasional lintas wilayah geografis dan bangsa menyentuh sampai taraf masyarakat paling bawah. Perkembangan teknologi, media, sirkulasi barang lintas wilayah nasional terjadi dan dekat dengan kehidupan siapapun hari ini. Orang bisa mengakses kejadian di New York, mengamati tren pakaian terbaru dari H&M, hanya dengan sekali ketuk di layer ponsel atau laptop. Makalah ini akan menelusuri bagaimana dokumentasi fesyen jalanan yang dilakukan oleh Jogja Street Style menghadirkan alternatif bagi orang untuk mengakses pengalaman kosmopolitan. Makalah ini berusaha menjawab pertanyaan: Bagaimanakah praktik Jogja Street Style memberi alternatif bagi akses fesyen yang kosmopolit dan terjangkau oleh berbagai kalangan? Bagaimana praktik fesyen jalanan bisa menjadi inspirasi bagi industri kreatif Indonesia? Makalah ini fokus mencermati strategi dan modifikasi fesyen jalanan yang terjadi di Yogyakarta dengan menggunakan konsep cosmopolitanisme from below dari Arjun Appadurai dan metode wawancara etnografis. Kami menemukan temuan menarik bahwa praktik dokumentasi yang dilakukan Jogja Street Style berhasil memotret moda fesyen masyarakat menengah kebawah di Jogja, seperti mencari pakaian di pasar pakaian bekas impor dan memodifikasinya untuk menjadi moda fesyen tersendiri. Proses ini menunjukkan strategi dan praktik fesyen yang di satu sisi bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah, di sisi lain produk pakaian impor bekas juga menunjukkan sirkulasi lintas kawasan geografis yang memungkinkan seorang pemakainya mengalami pengalaman kosmopolitan. Dokumentasi fesyen yang kami temukan tidak hanya menunjukkan bagaimana masyarakat memaknai fesyen dalam keseharian, tetapi juga bagaimana masyarakat beradaptasi dan berstrategi ketika dihadapkan dengan mahalnya ongkos menjadi fashionable. Temuan dalam makalah ini akan menjadi langkah awal untuk menunjukkan bahwa praktik fesyen jalanan menyediakan alternatif bagi orang-orang berbagai kalangan untuk mengalami pengalaman menjadi kosmopolitan, begitu juga sebaliknya, Kosmopolitanisme lewat sirkulasi gaya, imaji, barang transnasional menyediakan akses bagi orang untuk menjadi fashionable. Strategi dan modifikasi fesyen yang terdokumentasikan oleh Jogja Street Style bisa menjadi acuan bagaimana mengembangkan industri kreatif fesyen yang menjangkau semua kalangan, dari segi harga maupun selera, dan memberikan cita rasa fesyen kosmopolitan.