Abstraksi
Rumah adalah tempat suatu keluarga berkumpul dimana baik pendidikan, akhlak budaya, agama, perilaku hidup sehat terbentuk mulai dari ajaran orang tua ke anak-anak. Tetapi jika rumah yang diharapkan untuk dijadikan tempat berinteraksi tidak dapat memadai dan tidak ada fasilitas layaknya rumah sederhana, bagaimana tujuan dari memiliki kehidupan yang layak dapat tercipta. Contohnya yang terjadi dikalangan pekerja yang upah mereka masih dihitung berdasarkan jam kerja, dimana ketika mereka pulang dari tempat kerja ke rumah tempat mereka tinggal masih berupa rumah kos atau sewa bulanan, ‘rumah mertua indah’, ataupun rumah kontrak tahunan dengan ukuran bangunan secukupnya. Bagaimana anak-anak mereka dapat belajar dengan baik sepulang dari sekolah dan istri mereka dapat mencari pendapatan tambahan jika rumah milik sendiri saja tidak punya. Selain itu jika sewaktu-waktu rumah sewa mereka harus berpindah karena pemilik lahan dan bangunan hendak menjual ke investor lain. Masalah tersebut bukan hanya terjadi bagi para pekerja yang posisi golongan mereka berada pada tingkat paling bawah disuatu perusahaan yang berlokasi di kota-kota besar namun juga terjadi bagi para pekerja yang berlokasi kerja di daerah kabupaten, contohnya adalah pekerja yang mengadu nasib di daerah perantauan di kabupaten Mimika. Kabupaten Mimika, Propinsi Papua adalah kabupaten yang berdampak langsung atas kehadiran operasional PT Freeport Indonesia (PTFI). Menurut Kajian LPEM Universitas Indonesia pada dampak multiplier effect dari operasi PTFI di Papua dan Indonesia tahun 2013, salah satunya adalah 91% dari PDRB Kab. Mimika, 37.5% PDRB Prov. Papua, 0.8% PDB Indonesia. Data BPS Mimika tahun 2018 menunjukan jumlah penduduk kabupaten Mimika sebanyak 201.667 jiwa, dimana berdasarkan data kepemilikan tempat tingal 49.20% milik sendiri dan 50.80% bukan milik sendiri. Dari data tersebut berarti sekitar 100.000 jiwa di kabupaten Mimika tidak memiliki aset seperti rumah milik sendiri bahkan rumah dengan status legal yang sah dengan memiliki asli sertifikat hak milik. Ide ini berawal dari salah satu pekerjaan saya terkait meninjau pengajuan dokumen program bantuan pinjaman perumahan bagi karyawan PTFI. Dimana pekerjaan ini kurang lebih 1-2 tahun saya lakukan dan saya berkeinginan keras untuk mengetahui dan menanyakan langsung ke beberapa karyawan yang datang ke saya ketika mereka menyerahkan dokumen yang dibutuhkan. Diskusi kami sampai pada titik dimana saya harus menanyakan kalimat: kenapa bisa pak, sudah 10-15 tahun bekerja di PTFI tapi bapak belum punya rumah? Terus selama ini bapak dan keluarga tinggal dimana?. Variasi jawaban yang saya terima, ada karyawan yang menjawab: kami sekeluarga kos di Timika, saya istri dan anak-anak sewa petakan rumah, ada juga yang menjawab istri dan anak-anak tinggal dengan mertua di kampung asal. Jika contoh diatas adalah pekerja penerima upah setiap bulan yang belum memiliki rumah bersertifikat, bagaimana dengan para penduduk lokal khususnya masyarakat di daerah pegunungan dan daerah pantai yang tidak memiliki rumah milik pribadi. Selain itu juga bagaimana dengan status kepemilikan rumah bagi pekerja yang persentasi jumlah mereka adalah golongan yang terbanyak di suatu perusahaan, mereka yang berada pada lini kompetensi paling bawah, yang tersebar diseluruh Indonesia baik yang bekerja di pabrik-pabrik, industri, maupun non-industri. Salah satu program inisiatif strategis tahun 2016 BPJS Ketenagakerjaan adalah fasilitas pembiayaan perumahan pekerja, sampai dengan data tahun 2017 yaitu 31.580 rumah. Untuk Timika data yang saya terima dari BPJS Ketenagakerjaan Mimika dalam tahun 2017 – 2018 berkisar 20 pekerja saja yang menggunakan fasilitas tersebut. Dengan kehadiran program bantuan pinjaman perumahan oleh PTFI sekitar 2.373 pekerja mulai dari tahun 2000 sampai tahun ini sudah menerima pinjaman tanpa bunga, cicilan dipotong dari gaji pokok, dan mendapatkan 10% subsidi dari pinjaman yang diberikan. Dampak langsung bagi perusahaan terkait program ini adalah retention program bagi potential employees yang dengan penilaian kinerja mereka diatas rata-rata dan masa kerja lebih dari 5 tahun untuk tetap memberikan kontribusi yang unggul bagi perusahaan. Tentunya didasari atas pemahaman bagaimana pekerja dapat memberikan kontribusi yang maksimal jika mereka masih harus memikirkan kebutuhan mendasar pribadi dan keluarga seperti biaya hidup, tempat tinggal, bahkan yang terutama adalah pendidikan anak-anak mereka untuk dapat belajar dengan baik diluar sekolah jika tidak ada fasilitas yang memadai. Selain itu PTFI dapat merasakan nilai tambah dari manfaat yang diberikan dimana karyawan merasakan diberikan apresiasi yang berarti dari pekerjaan yang mereka lakukan sehingga ada employee engagement dengan perusahaan yang tentunya mempengaruhi produktifitas kinerja mereka. Sejak tahun 1996, PTFI telah berkomitmen untuk menyisihkan satu persen dari pendapatan kotor untuk kepentingan masyarakat setempat pemilik hak ulayat melalui Dana Kemitraan untuk pengembangan masyarakat yang dikelola oleh LPMAK. (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) yaitu lembaga yang didirikan atas dasar keberpihakan pada masyarakat Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan (Dani, Damal, Moni, Mee dan Nduga) di Kabupaten Mimika. Bagi penduduk lokal mereka masih bergantung pada perumahan dan fasilitas yang dibangun oleh PTFI termasuk juga dari yayasan LPMAK. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan para pekerja tersebut tidak memiliki status kepemilikan rumah yang sah: 1. Tidak ada modal awal atau dana yang cukup untuk membeli tanah ataupun rumah 2. Birokrasi dan lamanya proses balik nama sertifikat 3. Ketidak-mampuan dalam mengatur baiaya hidup sehari-hari 4. Kurang mengerti akan pentingnya punya asset rumah dengan legalitas kepemilikan asli sertifikat. PTFI dan beberapa perusahaan lain yang sudah menerapkan program bantuan pinjaman perumahan bagi karyawan mereka merupakan hal yang patut dijadikan contoh bagi perusahaan-perusahaan lainnya. Karena dampak dari kepemilikan rumah bukan hanya bagi para pekerja dan meningkatnya produktifitas perusahaan, tetapi juga memberikan kontribusi yang positif bagi bangsa Indonesia dalam meningkatkan modal warga Negara Indonesia. Dengan hanya menyicil sekitar Rp. 900.000,- setiap bulan selama 10 tahun seorang pekerja sudah dapat memiliki rumah idaman milik sendiri. Dimana putra-putri mereka dapat belajar dirumah dengan baik dan juga istri pekerja dapat melakukan usaha tambahan dengan membuka warung kecil misalnya yang dapat menambah modal keluarga. Selain itu pemerintah dalam hal ini dapat mendukung program peningkatan modal manusia dengan penerapan yang maksimal terkait sosialisasi program perumahan dari BPJS Ketenagakerjaan, dan juga memonitor dan mengevaluasi proses pembuatan SHM di BPN, termasuk juga keterlibatan tim pengawas Kementrian Ketenagakerjaan untuk menerapkan bantuan pinjaman perumahan bagi para pemberi kerja, Dan yang juga penting perlu disiapkan adalah media-media yang memberikan panduan bagi pekerja khususnya tentang bagaimana mengurus sertifkat rumah dengan mudah termasuk panduan bagaimana mengelola keuangan kebutuhan rumah tangga.