• LAODE MUHAMAD FATHUN
    LAODE MUHAMAD FATHUN
    Laode Muhamad Fathun, Lahir di Kambara 02 Januari 1989. Menyelesaikan studi S1 di Jurusan Hubungan Internasional Fisip UNHAS pada tahun 2008 dan selesai 2012. Kemudian menyelesaikan studi S2 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan menjadi koordinator asisten ketua program pascasarjana Magister Hubungan Internasional di S1 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhamadiyah Yogyakarta dengan mata kuliah filsafat ilmu dan pemikiran politik islam. Sekarang menjadi Dosen Tetap pada Prodi Hubungan Internasional UPN”Veteran”Jakarta degan Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Diplomasi dan Negosiasi, Keamanan Maritim. Menulis artikel jurnal HI UPU “ Kebijakan Poros Maritim Dalam Frame Ideologis Dan Menulis artikel Pengembangan Dan Pemanfaatan Ruang Geopolitik…
Papers

MEMPERBAIKI IKLIM INVESTASI DI DAERAH KEPULAUAN UNTUK PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA PENDEKATAN PARADIPLOMACY

2019

Abstraksi

Otonomi daerah di era globalisasi dewasa ini, sangat berpengaruh pada strategi Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan sumber daya alam daerahnya. Akibatnya, Pemerintah Daerah pun bebas melakukan kerjasama bahkan hubungan luar negeri dengan negara lain. Hubungan kerjasama tersebut harus didasari saling membutuhkan dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak baik itu aktor negara atau yang diwakili oleh Penmerintah Daerah atau aktor lainya yang bekerjasama dengan investor asing. Pemerintahan yang desentralistik dapat mendorong pelayanan yang lebih maksimal kepada masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan pihak yang mengetahui secara pasti karakter sebuah daerah adalah pemerintah daerah itu sendiri. Kinerja pemerintah daerah yang maksimal tentu berperan penting dalam pemanfaatan potensi daerah termasuk dalam melakukan kerjasama dengan pihak lainya baik domestik maupun internasional dalam level G to G, G to NGOs, G to B dan seterusnya yang erat kaitanya dengan penanaman investasi asing. Sasaran investasi di Indonesia terutama di daerah pada umumnya diarahkan pada beberapa sektor kehidupan namun fokus kajian ini adalah dalam bidang sumberdaya maritime di daerah. Oleh karena, dengan dukungan besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah dalam sektor sumberdaya maritime tersebut sehingga dapat menarik minat para investor untuk melakukan investasi. Upaya pengelolaan sumberdaya maritim di daerah dalam menciptakan konektivitas antar daerah dalam menciptakan pembangunan inklusif Indonesia sebagai negara kepulauan tertuang dalam UU/23/2014 pada pasal 1 poin 19 dan pasal 27-29 disebutkan bahwa daerah yang berbasis kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya Propinsi Maluku memiliki sekitar 4200 pulau, Propinsi Riau memiliki sekitar 800 pulau sebagai fakta perbedaan karakteristik geografis. Perbedaan karakteristik itulah, kemudian “paradigma pemerintahan harus didasarkan pada asumsi bahwa pemerintahan dalam jangkauan masyarakat menitikberatkan pada bentuk pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif serta produktif. Untuk melegalkan peran pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi di wilayahnya maka pemerintah merumuskan Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi lagi menjadi Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2014. Munculnya aturan tersebut memberikan wewenang pada sejumlah daerah secara semi‐otonom dalam rangka mendorong pembangunan di daerah. Oleh karena itu, melalui otonomi daerah kemandirian dalam menjalankan pembangunan sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan daerah diharapkan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien Namun, peraturan‐peraturan tentang otonomi daerah belum berbicara masalah teknis kerjasama yang bisa dilakukan oleh daerah. Dalam aturan lainnya untuk kembali melegalkan dan mempermudah dan menyaring diplomat‐diplomat baru (paradiplomasi) ini muncullah beberapa aturan hukum lainnya seperti Undang‐Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Tata Cara Hubungan Luar Negeri, Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Peraturan Menlu RI Nomor 09/A/KP/XII/2006, Permendag Nomor 3 Tahun 2008, Permendag Nomor 74 Tahun 2012, merupakan sejumlah aturan teknis legal bagi pemerintah daerah walaupun tidak bisa secara langsung diimplementasikan karena harus melalui Kementerian Luar Negeri sebagai koordinator hubungan luar negeri (open door policy), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, serta MPR. Akan tetapi, seberapapun besarnya wewenang pemerintah daerah (Fathun, 2016). Dengan demikian sinergi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mengelola kerjasama luar negeri pemerintah pusat – dalam hal ini Kementerian Luar Negeri – mempunyai wewenang untuk: memadukan seluruh potensi kerjasama daerah agar tercipta sinergi dalam penyelenggaraan hubungan dan kerjasama luar negeri; mencari terobosan baru (inisiator); menyediakan data yang diperlukan (informator); mencari mitra kerja di luar negeri; mempromosikan potensi daerah di luar negeri (promotor); memfasilitasi penyelenggaraan hubungan kerjasama luar negeri (fasilitator); dan memberi perlindungan kepada daerah (protector) (Arsyad, 2010). Berdasarkan pemikiran tersebutlah, divergensi adanya fenomena globalisasi menjadikan format diplomasi tingkat tinggi berubah menjadi the foreign policy and non‐central government yang mengacu pada diplomasi bukan bertumpu microdiplomacy. Artinya, aktor yang berperan berada di sub‐sistem negara yakni pemerintah daerah atau yang dikenal dengan istilah ‘paradiplomasi’ (Mukti, 2013:2). Paradiplomasi memunculkan aktor‐aktor non‐tradisonal seperti kelompok, individu, organisasi dan sub‐negara untuk mencapai kepentinganya masing‐masing (Mellisen, 1999:xv; Meerts, 2009:90; Stefan, 2009:1‐2; dan David, 2008:34). Berdasarkan pemikiran seperti itu paradiplomasi lahir sebagai legitimasi bagi munculnya aktor‐aktor baru dalam hubungan internasional. Dengan demikian, diversifikasi peran aktor diplomasi memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk terlibat langsung dalam hubungan internasional seperti investasi, perdagangan (Fathun, 2016) (Mukti, 2013). Dengan demikian, dengan kompleksitas peran pemerintah daerah baik konteks memajukan daerahnya dalam konteks lokal, nasional dan internasional ternyata tugas tersebut menuntut para kepala daerah untuk aktif menciptakan strategi-strategi produktif, inovatif, kreatif untuk mengelola potensi daerah untuk dapat bersaing dalam berbagai skala bidang. Konsekuensi sebagai negara kepulauan sesuai dengan amanat UU dan wawasan nusantara dengan domain geopolitik negara maritim, maka harus dipikirkan juga bagaimana mengelola sumberdaya negara yang berbasis ekonomi laut yang sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut dan terpisah oleh laut. Upaya untuk menciptakan konektivitas antar daerah bahkan antar negara memerlukan karakter kinerja dan kompetensi yang inovatif untuk mampu melakukan hal tersebut. Daerah yang terpisah oleh laut merupakan bagian dari keutuhan NKRI dan harus terjadi konektivitas. Upaya menciptakan konektivitas tersebut berpeluang akan memajukan ekonomi maritim nasional. Realitas ini harus dikelola dan dimanfaatkan sebagai anugerah Tuhan. Karena semua yang ada di dalam laut, di atas laut ataupun penampilan tentang laut adalah memiliki peluang sebagai potensi daerah. Sehingga, untuk memaksimalkan potensi tersebut, dibutuhkan peran Paradiplomasi yang disebut sebagai “Diplomasi Multilapis”, “Diplomasi Sub-nasional”, dan “Diplomasi Intermestik”. Paradiplomasi terbagi atas Transborder Paradiplomacy atau cross-border cooperation), Transregional Paradiplomacy, atau kerjasama dengan daerah di luar negeri dan Global Paradiplomacy, atau hubungan politik-fungsional dengan pemerintah pusat asing, organisasi internasional, industri sektor swasta, kelompok-kelompok kepentingan. Pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis paradiplomasi (Mukti, 2013). Kegiatan paradiplomasi ini diarahkan pada: 1) strategi Pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Daerah dan Nasional dengan memusatkan pengelolaan potensi daerah 2) Dukungan kebijakan yakni mengembangkan kebijakan terfokus bagi dukungan terhadap PKSDN misalnya membuat UU tentang daerah berbasis laut, 3) pembuatan agenda program prioritas baik Program Kerja Maritim Daerah maupun Program Kerja Maritim Nasional. Pengembangan harusnya diarahkan pada aspek security, prosperity, enviromentality dan humanity.

Komentar
--> -->