• Eva Rahmi Kasim
    Eva Rahmi Kasim
    CURICULUM VITAE EVA RAHMI KASIM Personal Identity: N a m e: Eva Rahmi Kasim Sex: Female Date of Birth : 23 July Disability: Physically disable since 1979 (use wheel chair for long distance walk more than 100 Metres, and walk with the aids of crutches for short distance) Nationality: Indonesia Occupation: : Senior Policy Analyst of Government Official of Ministry Social Affairs Work Address: !. Jl. Salemba Raya No.28 Jakarta 10430, Indonesia Home Address: Komp. Depsos, Jl. XI/14, Bintaro Jakarta 12330 Indonesia Tel (work): +62 21 3100 309 , /fax + 62 21 3100 309 Mobile : +62 821 1407…
Papers

PENGEMBANGAN SHELTERED WORKSHOP ) KE ARAH BISNIS INKLUSIF (DISABILITY ENTERPRSISE) Alternatif Perluasan Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas

2019

Abstraksi

ABSTRAK PENGEMBANGAN SHELTERED WORKSHOP ) KE ARAH BISNIS INKLUSIF (DISABILITY ENTERPRSISE) Alternatif Perluasan Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas Oleh : Eva Rahmi Kasim* Kata Kunci : Penyandang Disabilitas, Kesempatan Kerja, Bisnis Inklusif Kewajiban Pemerintah untuk menyediakan kesempatan kerja bagi Penyandang Disabilitas, baik dalam bentuk kerja mandiri, ataupun kerja sector formal lainnya, dimandatkan dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang diratifikasi Pemerintah melalui Undang-Undang No.19 Tahun 2011. Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 juga menjamin kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Meskipun begitu, hingga tahun 2016, partisipasi Penyandang Disabilitas yang memiliki tingkat kedisabilitasan ringan dan sedang, dalam sector ketenagakerjaan masih rendah, yaitu hanya 51,12 % dari total populasi usia produktif Penyandang Disabilitas Untuk Penyandang Disabilitas berat, malah lebih rendah , yaitu 26 per sen. ((LPEM-UI: 2017). Lebih lanjut penelitian LPEM-UI ini menyebutkan bahwa dari keseluruhan lapangan pekerjaan, hanya 0,24 per sen pekerja formal yang merupakan Penyandang Disabilitas (PD) berat, Dijelaskan pula bahwa, peluang Penyandang Disabilitas untuk dapat bekerja di sector frormal hanya 1,9 per sen dibandingkan dengan pencari kerja non-Penyandang Disabilitas. Terbatasnya kesempatan kerja di sector formal bagi Penyandang Disabilitas juga terjadi di berbagai negara. Penelitian di Kanada menyebutkan bahwa pada kasus tertentu Penyandang Disabilitas hanya mampu bekerja dalam waktu tertentu, karena kondisi kedisabilitasannya, selain itu, juga terdapat Penyandang Disabilitas yang karena ragam disabilitas yang dialaminya, selalu memerlukan dukungan dan bimbingan di tempat kerja. Hal ini tentunya membuat mereka tersisih dari pasar kerja yang menuntut laba tinggi dengan pengorbanan yang seminimal mungkin (Broad and Saunders :2008).. Tambahan lagi, ketersediaan aksesibilitas transportasi serta lingkungan tempat kerja di Indonesia juga belum memadai. Konvensi ILO No. 158 dan Konvensi ILO No.169 tentang Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas, merekomendasikan Seltered workshop (bengkel kerja), karena dianggap dapat memberikan perlindungan khusus kepada Penyandang Disabilitas yang memiliki keterbatasan fungsi fisik, mental, intelektual dan sensorik, sekaligus menyediakan aktivitas yang bernilai ekonomi. Di Sheltered Worksjop pelatihan kerja diberikan secara berkelompok, peserta umumnya memiliki karakteristik ragam disabilitas sejenis, difasilitasi dengan alat bantu yang memudahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebagian sheltered workshop juga menyediakan akomodasi dan transportasi untuk memudahkan mobilitas Penyandang Disabilitas selama pelatihan. Namun demikian, di jaman era industri 4.0 sekarang ini, sheltered workshop dihadapi pada banyak tantangan. Di Indonesia, layanan sheltered workshop yang dilakukan Pemerintah, cenderung dilakukan dalam Panti /Balai, melalui pemberian latihan kerja dengan keterampilan ringan, atau keterampilan dengan hasil produksi yang terbatas baik kuantitas maupun kualitas. Adanya tantangan, bukan berarti tidak adanya peluang untuk menjadikan shelterd workshop Penyandang Disabilitas sebagai bentuk bisnis inklusif yang memberi kesempatan kerja professional sekaligus perlindungan bagi mereka. Banyak negara saat ini melakukan transformasi dalam penyelenggaraan sheltered workshop bagi Penyandang Disabilitas. Di Indonesia, Kementerian Sosial, melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial No. 7 tahun 2015 tentang Revitalisasi Panti Sosial melalui Usaha Ekonomi Produktif, melakukan upaya pengembangan sheltered workshop untuk peluang kerja bagi Penyandang Disabilitas. Tulisan ini memuat analisis penyelenggaraan sheltered workshop dalam membuka kesempatan kerja bagi Penyandang Disabilitas. Analisis tentang bagaimana sheltered workshop melakukan bisnis inklusif dan beradaptasi terhadap lingkunngannya? Apa peluang dan tantangan yang dihadapi serta praktik baik yang dapat dijadikan pembelajaran dalam pengembangan sheltered workshop bagi Penyandang Disabilitas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis melakukan penelitian pada salah satu sheltered workshop di bawah binaan Kementerian Sosial, yaitu Kampung Peduli, di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Data dan innformasi diperoleh dengan metode wawancara serta study literatur. Analisis data dan informasi dilakukan secara deskriptif. Analisis lebih difokuskan pada pendekatan Twin Track Appproach , yaitu dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik disabilitas dan dalam konteks pengarusutamaan disabilitas dalam masyarakat. Temuan penelitian mendapati bahwa shelterd workshop berbasis masyarakat/komunitas dapat menjadi alternative kesempatan kerja bagi Penyandang Disabilitas, sekaligus bisnis inklusif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam operasinalisasinya. Penyandang Disabilitas Intelektual dapat menjadi pekerja dengan pembayaran gaji sesuai standar upah setempat.. Menarik, karena Penyandang Disabilitas Intelektual dianggap tidak produktif sebelumnya. Hasil produksi berupa Batik Ciprat juga menjadi icon produk Penyandang Disabilitas yang dipakai PNS di Kabupaten Magetan. Praktik baik dari pembentukan dan pengelolaan Sheltered workshop ini ditandai adanya dukungan positif dari keluarga penyandang disabilitas, pemerintah daerah serta komunitas setempat. Selain itu juga adanya pendampingan dari professional dalam hal penciptaan disain dan strategi pemasaran. Tantangan yang dihadapi adalah profesionalitas pengelola workshop yang semula relawan. Selain itu keberlanjutan operasionalisasi sheltered workshop bila dukungan pemerintah daerah terhenti. Rekomendasi yang disampaikan adalah perlunya penguatan regulasi untuk menjamin bahwa sheltered workshop merupakan kegiatan usaha dengan orientasi ekonomi (bisnis), dan juga sebagai layanan social, termasuk pengaturan yang terintegrasi dari aspek ketenagakerjaan, perdagangan/industri, dan perlindungan sosial penyandang disabilitas yang tidak dapat berkompetisi dalam pasar kerja umum. Untuk keberlangsungan sheltered workshop juga diperlukan dukungan pendanaan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, termasuk upaya peningkatan kemampuan manajerial serta teknis dari pengelola melalui berbagai pelatihan. *Eva Rahmi Kasim, adalah Analis Kebijakan Madya Kementerian Sosial dan juga seorang Penyandang Disabilitas.

Komentar
--> -->