Pemerintah Edukasi Peluang ke Pasar Arab Saudi dan UEA

December 27, 2021

JAKARTA – Pemerintah terus mendorong pasar ekspor ke kawasan Timur Tengah. Salah satunya melalui edukasi peluang ekspor untuk negara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Pada 2020, Arab Saudi merupakan negara peringkat ke-21 sebagai negara tujuan ekspor Indonesia dengan nilai USD 1,34 miliar. Sedangkan, sebagai negara asal impor Indonesia, Arab Saudi menempati posisi ke 14 dengan nilai USD 2,61 miliar. Produk ekspor utama Indonesia ke Arab Saudi di antaranya adalah mobil penumpang, minyak kelapa sawit, ikan, kayu lapis, dan kain. Sedangkan impor utama Indonesia dari Arab Saudi di antaranya plastik, kimia organik, kacang-kacangan, produk kimia, dan produk susu.

Arab Saudi mempunyai jumlah penduduk sebanyak 34,71 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, terbagi dalam tiga sasaran pasar yaitu, pasar reguler sebesar 21 juta jiwa atau 70 persen, pasar ekspatriat sebanyak 14 juta jiwa, serta pasar haji dan umrah. “Pasar reguler merupakan penduduk asli, tujuan utama produk Indonesia. Artinya, ketika produk Indonesia diterima di pasar reguler, konsumsi produk Indonesia akan berjalan stabil dan berkesinambungan,” tutur Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Jeddah Arab Saudi Muhammad Rivai Abbas dalam keterangan tertulis, Kamis (11/11).

Namun, lanjut Rivai, yang tidak kalah penting adalah pasar haji dan umrah. Pasar haji dan umrah menjadi peluang untuk memperkenalkan produk Indonesia. Pada 2020, telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Agama, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kadin. MoU tersebut terkait optimalisasi pemenuhan kebutuhan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Dalam MoU ini, penyedia produk atau jasa terkait kebutuhan haji dan umrah jemaah Indonesia diwajibkan menggunakan produk Indonesia, khususnya produk UMKM.

“Kita dorong pelaku UMKM untuk terlibat dan ini peluang pasar yang sangat besar. Produk Indonesia yang memiliki potensi untuk kebutuhan haji dan umrah di antaranya adalah pakaian, perhotelan, makanan, kosmetik, tas, dan sepatu,” jelas Rivai. Secara umum produk, yang masuk ke Arab Saudi harus terdaftar. Untuk produk makanan dan obat-obatan harus melalui sertifikasi Saudi Food and Drugs Authority (SFDA) sedangkan di luar produk tersebut harus teregistrasi Saudi Arabian Standards Organization (SASO).

“Produk yang memasuki pasar Arab Saudi harus didaftarkan oleh importir atau buyer Arab Saudi. Selain itu, perlu diperhatikan juga ketika memasuki pasar Arab Saudi, yaitu mengenai hak kekayaan intelektual tentang merek dagang sehingga tidak terjadi sengketa di negara tersebut,” terang Rivai. Rivai menambahkan, saat ini Arab Saudi sedang menjalankan program Saudi Vision 2030. Kebijakan ini merupakan kerangka strategis untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada minyak, mendiversifikasi ekonominya, dan mengembangkan sektor layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.

“Pasar Arab Saudi merupakan pasar yang terbuka, artinya produk harus berkompetisi dari segi harga, kualitas, dan keberlanjutan karena seluruh negara di dunia mencoba memasuki pasar Arab Saudi. Untuk itu, para eksportir Indonesia harus mempersiapkan produknya agar dapat bersaing di pasar Arab Saudi untuk jangka panjang,” terang Rivai.

Sementara itu, Kepala ITPC Dubai UEA Muhammad Khomaini menyampaikan UEA memiliki penduduk sekitar 9,83 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 11 persen di antaranya adalah penduduk asli UEA yang disebut emirati sementara sisanya adalah penduduk pendatang. Secara umum perdagangan di UEA masih dikenakan bea masuk sekitar 5 persen. Saat ini, Indonesia dan UEA sedang melakukan perundingan Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUAE-CEPA). Salah satu dari perundingan tersebut, mengenai pengurangan hambatan tarif.

“Kedua negara berkomitmen perundingan IUAE-CEPA dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun sejak diluncurkan di Bogor September lalu. Diharapkan dengan adanya perundingan ini, neraca perdagangan Indonesia dengan UEA dapat naik dua hingga tiga kali lipat,” ujar Khomaini.

Khomaini mengungkapkan, di UEA terdapat lembaga standardisasi nasional yaitu, Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA). Lembaga ini berfungsi untuk mengembangkan dan mengadopsi standar yang disiapkan komite teknis sesuai standar internasional dan regional. Pada 2018, lembaga ini telah membuat MoU dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN). Dalam MoU tersebut, setiap lembaga yang menerbitkan sertifikat halal yang diakui oleh KAN seperti MUI, sertifikat tersebut juga akan diakui oleh ESMA. Artinya produk yang telah mendapat sertifikat halal oleh MUI dapat dengan mudah memasuki pasar UEA.

“Produk tersebut hanya perlu memenuhi syarat-syarat registrasi dari UEA. Produk yang memasuki pasar UEA juga harus menggunakan dua bahasa yaitu inggris dan arab karena kedua bahasa tersebut yang digunakan sehari-hari,” tandas Khomaini. Khomaini menambahkan, UEA, khususnya Dubai, merupakan hub wilayah timur tengah dan Afrika bagian utara. Pada Januari-April 2021 data perdagangan UEA menunjukkan nilai re-ekspor hampir 50 persen dibanding impor. “Hal ini menggambarkan besarnya potensi UEA, khususnya Dubai sebagai hub kawasan,” katanya. Produk ekspor utama Indonesia ke UEA di antaranya adalah minyak kelapa sawit, perhiasan, monitor, kendaraan, dan papan kertas. Sementara impor utama Indonesia dari UEA di antaranya bensin, besi, aluminium tidak ditempa, kimia organik, dan plastik.


--> -->