Bappenas Luncurkan Buku “Kajian Sektor Manufaktur 2021”

December 15, 2021

JAKARTA – Industri manufaktur Indonesia masih mengalami berbagai tantangan, antara lain ketergantungan pada impor bahan baku dan bahan penolong,  tenaga kerja industri manufaktur masih didominasi tenaga kerja dengan keterampilan rendah, kurangnya infrastruktur dan fasilitas pendukung industri yang sesuai dengan kebutuhan industri manufaktur, tumpang tindihnya kebijakan dan regulasi, serta belum optimalnya penerapan praktik keberlanjutan. Untuk itu, pemerintah berupaya mengatasi berbagai tantangan ini, salah satunya melalui pemberlakuan Undang-undang Cipta Kerja dan 49 peraturan pelaksanaannya.

Dalam rangka mendukung perencanaan dan penganggaran berbasis bukti (evidence based planning and budgeting) khususnya di sektor industri manufaktur, Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan the Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) meluncurkan buku yang berjudul “Kajian Sektor Manufaktur Indonesia 2021”. Strategi industrialisasi yang menjadi bagian dari redesain transformasi ekonomi akan diarahkan untuk melanjutkan dan memperkuat inisiatif yang ada, serta pada saat yang bersamaan memperkenalkan kebijakan baru yang memungkinkan kinerja yang lebih baik. Beberapa opsi penguatan kebijakan industri manufaktur yang sudah ada dan direkomendasikan melalui kajian ini telah diadopsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

“Kajian ini merekomendasikan strategi untuk mendorong transformasi struktural di industri manufaktur, di antaranya pertama, peningkatan investasi di sumber daya manusia untuk dapat mengampu teknologi maju, termasuk teknologi Industri 4.0. Kedua, pengembangan industri baru termasuk yang terkait dengan produksi alat/perangkat kesehatan atau farmasi. Ketiga, penguatan teknologi produk dan proses bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) sebagai industri penunjang,” tutur Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam peluncuran buku berjudul “Kajian Sektor Manufaktur Indonesia 2021”, pada Rabu (17/11).

Selain itu, Menteri Suharso menjelaskan rekomendasi dari hasil kajian ini juga relevan untuk mendorong pemulihan dan peningkatan daya saing industri, utamanya yang berkaitan dengan (i) peningkatan hilirisasi sumber daya alam; (ii) peningkatan partisipasi dalam rantai pasok global termasuk melalui perluasan ekspor; (iii) peningkatan ketersediaan dan kualitas infrastruktur industri; (iv) peningkatan pemanfaatan pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai pendorong permintaan produk industri; (v) penyiapan calon-calon eksportir dengan meningkatkan peran mereka di pasar domestik sebagai training ground untuk keterlibatan dalam ekspor; serta (vi) berbagai kebijakan untuk perbaikan iklim usaha. Berbagai rekomendasi juga selaras dengan arah kebijakan dan strategi yang akan diterapkan pada 2022 yang difokuskan pada percepatan pemulihan dan transformasi struktural.

“Ulasan terkait dampak pandemi Covid-19 di bidang industri juga menjadi salah satu basis analisis untuk memastikan berbagai strategi yang disusun cermat untuk mendukung percepatan reindustrialisasi termasuk di dalamnya percepatan pemulihan ekonomi. Kami berharap menjadi awalan yang baik sebagai upaya Bappenas dan pemerintah Indonesia di mana reindustrialisasi menjadi bagian penting dari upaya keenam strategi besar transformasi ekonomi Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti.

Strategi yang direkomendasikan dalam buku ini mencakup peningkatan inovasi dan adaptasi teknologi, peningkatan kualitas tenaga kerja dan sumber daya manusia, peningkatan partisipasi dalam rantai nilai tambah global, peningkatan daya saing melalui aglomerasi, pendalaman sub-sektor, dan penguatan jasa-jasa pendukung. Berbagai strategi tersebut juga dilengkapi dengan strategi untuk menguatkan ekosistem yang memampukan industri untuk lebih produktif dan berdaya saing, termasuk yang berkaitan dengan pemanfaatan peluang pasar ekspor dan domestik sebagai pulling factor, akses kepada energi yang kompetitif, dan dukungan sektor keuangan untuk penguatan kapasitas industri manufaktur.

“Indonesia harus menjual lingkungan bisnis yang stabil, mudah diprediksi dan responsif sebagai nilai tambahan bagi pemain domestik dan asing. Dalam konteks seluruh Asia, inilah saatnya Indonesia menjadi pemain utama di Factory Asia. Ia harus mampu membentuk basis industri yang tebal dalam lingkungan terbuka, agar memungkinkan tingkat kebebasan yang cukup untuk sektor swasta. Indonesia juga harus mengejar dan melakukan metode inovasi yang dikombinasikan dengan cara incremental dan cara disrupsi,” kata Chief Economics ERIA dan Professor Faculty of Economics Keio University Fukunari Kimura.

“Buku ini masih relevan untuk perbaikan industri manufaktur pasca pandemi, namun juga perlu didorong beberapa sektor dalam jangka pendek. Sementara itu, dalam jangka panjang perlu memperhatikan tren global yang baru, seperti digitalisasi makin cepat, kesadaran dunia dalam revolusi hijau, dan perjanjian ekonomi multilateral,” jelas Senior Economist ERIA Dionisius A. Narjoko.

“Kita menghadapi transisi dari mass production, ke mass customization, dan ke arah collaborative manufacturing. Ini adalah transisi yang kita petakan. Industri kita masih banyak di level mass production, baru sedikit yang mass customization dan collaborative manufacturing. Industri kita mix,” tutur Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Dradjad Irianto.

“Tiga poin penting terkait dengan partisipasi Indonesia dalam Global Value Chains (GVC) yaitu pertama, keterlibatan dalam GVC dapat meningkatkan daya saing global dan domestik. Kedua, sektor manufaktur yang terlibat dalam GVC dapat mempengaruhi sektor jasa yang digunakan oleh sektor manufaktur seperti keuangan. Ketiga, bagi negara berkembang, GVC penting karena mengundang investasi asing,” jelas Dosen dan Peneliti Universitas Padjadjaran Prof Maman Setiawan.

“Beberapa hal yang diperhatikan dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, pertama keseimbangan kebutuhan industri sedang dan besar dengan industri kecil. Kedua, keseimbangan antara fokus pendidikan formal dengan pendidikan informal. Keseimbangan technical skill dan soft skill, keseimbangan antara fokus ke pelatihan pemerintah dan pelatihan swasta, keseimbangan gender, dan keseimbangan antara pekerja muda dan pekerja dewasa. Pengembang SDM harus bermanfaat bagi semua,” tutup CEO Asakreativita Vivi Alatas.


--> -->