Dianggap ‘Murahan’, Sakdiyah Ma’ruf Tepis Lawan Stigma Negatif Komedian Tunggal Perempuan

April 04, 2019

Sakdiyah Ma'ruf (Dokumen Pribadi)

“Pihak televisi pernah bilang ‘Kami lihat Mbak Sakdiyah sering salah kostum’, kemudian mereka mengirimkan foto baju apa saja yang mestinya saya pakai,” kata komedian tunggal perempuan, Sakdiyah Ma’ruf saat ditemui di kediamannya, pertengahan Maret 2019. 

Sakdiyah yakin masalah seperti ini tak dialami oleh komedian tunggal laki-laki. Komedian laki-laki juga bisa lebih bebas menyampaikan lelucon. Sementara komedian perempuan dianggap kurang lucu. Bahkan, perempuan yang tertawa terlalu lebar dianggap kurang sopan.

Tak mudah menjadi pelawak tunggal perempuan di Indonesia. Sakdiyah Ma’ruf merasakan stigma buruk yang jarang diterima komedian tunggal laki-laki. Dia melihat komedian tunggal perempuan sering dianggap murahan ketika melawak karena ekspresif di depan publik. Komedian perempuan dituntut berpenampilan menarik.

Menurut Sakdiyah, inilah yang menyebabkan jumlah komika perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki.  Bahkan, dalam acara yang menghadirkan 60 komedian tunggal pada Maret 2019, jumlah komika perempuan tak lebih dari 10 orang. 

Stigma dan tanggapan buruk terhadap komedian perempuan tak membuat Sakdiyah gentar. Dia justru semakin tertantang menyampaikan lawakannya dengan isu-isu sensitif seperti kritik terhadap perilaku umat beragama, tindakan intoleransi, serta pembelaan terhadap kelompok minoritas dan perempuan. 

“Karena komedi menjadi salah satu bentuk penyaluran aspirasi, tanpa berteriak-teriak atau menggurui,” ujar Sakdiyah. 

Kepiawaian Sakdiyah mengolah isu sensitif hak asasi manusia menjadi tema komedi diganjar berbagai penghargaan internasional. Pada 2015, dia sempat menerima penghargaan Vaclav Havel International Prize for Creative Dissent untuk kategori stand up comedy di Oslo Freedom Forum, Norwegia. Namanya sejajar dengan penerima penghargaan sebelumnya yakni aktivis seni China, Ai Wei Wei hingga band rock perempuan Rusia, Pussy Riot. Pada November 2018, namanya masuk urutan ke-54 dari 100 daftar wanita inspiratif dunia versi BBC.

Topik yang Sakdiyah angkat saat melawak adalah kisah keseharian, baik pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain yang dia lihat. Lewat komedi, dia ingin mengajak diskusi dan membuka pikiran.  

“Saya melihat anak perempuan menikah di usia sangat muda, 15 tahun. Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi. Ketika kuliah S1 dan S2, masalah lingkungan saya itu ternyata juga dialami di daerah lain. Karena itulah, saya merasa perlu bicara soal ini,” kata Sakdiyah.

Sakdiyah memilih komedi sebagai perlawanan karena cara ini sudah menjadi budaya dan kebiasaan sejak kecil. Ketika kanak-kanak, dia sering mengundang teman-teman datang ke rumah hanya untuk mendengar Sakdiyah bercerita. Orang tuanya sering mengajak menonton Warkop DKI dan film komedi lain di bioskop. 

Sewaktu mahasiswa, Sakdiyah ikut dalam pergerakan dan mulai bersentuhan dengan program pendampingan masyarakat. Ilham datang pada 2009, Sakdiyah menemukan DVD Robin Williams’s Live on Broadway – sebuah pertunjukkan akbar komedian tunggal yang dibawakan oleh Robin Williams. Terpukau, Sakdiyah menontonnya beberapa kali. Dari sinilah, Sakdiyah menemukan renjananya hingga memutuskan komedi menjadi alat menyampaikan pendapat. 

Berbagi Tugas dengan Suami

Sebagai pekerja perempuan, Sakdiyah Ma’ruf mempunyai kiat khusus mengatur urusan domestik dan publik. Dia berbagi tugas dengan sang suami, Muhammad Shobar Al Amin, dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh putranya yang berusia 10 bulan. Suaminya sampai memilih keluar pekerjaan dari perusahaan konstruksi dan membuka usaha sendiri agar karier mereka berdua bisa seiring.

Saat Sakdiyah open mic, suaminya bertugas menjaga si buah hati. Sebaliknya, dia yang bertugas mengasuh anak ketika suaminya bertemu klien atau mengurus bisnisnya ke luar kota. 

“Bahkan, kalau tidak memungkinkan, saya atau suami sering membawa anak ke tempat kerja. Kami saling berbagi peran dalam mengurus rumah dan anak,” kata pembicara inspiratif TEDxUbud ini. 

Menurut Sakdiyah, banyak ibu yang menarik diri dari partisipasi ekonomi karena tidak ada sistem yang mendukung perempuan berkarya di ranah publik. Padahal keterlibatan perempuan dalam hal ekonomi berkontribusi dalam pembangunan.

Dukungan untuk pekerja perempuan tidak hanya penting berasal dari pasangan, tetapi juga lingkungan tempat bekerja atau beraktivitas. Misalnya, dengan penyediaan tempat penitipan anak maupun ruang menyusui. Sakdiyah menuturkan belum banyak perkantoran di Indonesia yang menyediakan fasilitas tersebut. 

“Di Australia, tidak hanya tempat kerja yang ada ruang penitipan anak gratis. Bahkan, di kampus-kampus juga disediakan,” kata komedian berhijab pertama dari Indonesia yang menjadi pembicara Chaser Lecture dan Sydney Ideas di University of Sydney, Australia. 

Selain permasalahan fasilitas, Sakdiyah menyebutkan pekerja perempuan di Indonesia masih banyak yang mengalami pelecehan seksual. Inilah yang menyebabkan perempuan menarik diri dari peran publik. Sakdiyah berharap permasalahan perempuan Indonesia ini segera diatasi sehingga tercipta peluang kerja yang lebih inklusif.

Peluang kerja inklusif bagi perempuan yang diidamkan Sakdiyah sejalan dengan tema Indonesia Development Forum (IDF) tahun ini. IDF 2019 mengambil tajuk “Mission Possible:  Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Forum yang digelar oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative (KSI). IDF 2019 akan mempertemukan para pemangku kepentingan untuk mencari solusi berdasarkan riset dan praktik baik.** 
 


--> -->