Kebijakan Pemerintah Diminta Fokus pada Sisi Permintaan

08 September 2020

EKONOM Indef Aviliani mengatakan sejak pandemi Covid-19, sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) paling terdampak, dengan 48% usaha gulung tikar, 30% mengalami penurunan produksi dan 19% mengalami gangguan produksi.

Namun, dari sisi perbankan, Aviliani memandang porsi penyaluran kredit UMKM tidak semakin besar. Kalaupun pemerintah memaksakan penyaluran kredit ke UMKM 20% dari total kredit setiap bank, itu akan sulit tercapai. Alasannya karena UMKM Indonesia tidak naik kelas atau banyak yang berada pada subsistem level.

Penyaluran kredit oleh kelompok bank-bank BUMN menjadi paling banyak karena sejak adanya kredit usaha rakyat (KUR) subsidi bunga, maka nasabah bank-bank lain berpindah ke bank BUMN karena mencari kredit yang murah.

Hal ini kata dia perlu dievaluasi. Sebab semua sektor mendapat KUR. Seharusnya penyaluran KUR ini dispesifikasi untuk yang berkaitan dengan industri atau pun pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja. Kalau polanya tetap seperti sekarang, maka penyaluran kredit KUR menjadi tidak tepat sasaran.

"Sebagian besar KUR hampir kepada sektor perdagangan. Tetapi sektor yang menyerap tenaga kerja itu tidak mendapat porsi yang besar dari sisi kredit," kata Aviliani, di webinar Road to Indonesia Development Forum (IDF) 2021, Selasa (8/9).

Sejak era digital ini, UMKM khususnya di perdagangan terkena dampak karena konsumen lebih mudah mendapat informasi barang dengan harga yang murah. Akibatnya margin yang diterima UMKM perdagangan makin kecil dan tergerus. Rasio kredit macet (NPL) di UMKM perdagangan juga rendah maka KUR paling banyak penyalurannya ke sektor tersebut.

"Oleh karena itu saatnya mengubah model bisnis UMKM. Karena nilai tambah tidak banyak, pantas saja UMKMnya tidak berkembang. Maka UMKM ke depan harus diajak ke dalam sektor industri," kata Aviliani. Oleh karena itu kebijakan harus dibalik, dari yang selama ini condong ke sisi pasokan, harus dibalik menjadi dari sisi permintaan.

Dia mencoba bersama Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, menginventarisir kebutuhan permintaan dari 300 perusahaan besar, untuk kemudian dicarikan UMKMnya yang bisa dipandang bermitra. 

"Berbicara supply chain, itu sudah menjadi suatu keharusan. Maka insentif pemerintah ke depan alangkah baiknya bila insentif dari supply chain, yaitu UMKMnya yang bermitra dengan perusahaan besar, dan perusahaan besar pun diberi insentif saat bermitra dengan UMKM," kata Aviliani. 

Tujuannya agar UMKM bisa naik kelas dan menjaga konsistensi mutu kualitas dari produk. Perusahaan besar bisa mendampingi UMKM untuk kurasi produknya. Selama ini UMKM yang bergerak sendiri cenderung tidak menjaga konsistensi mutu produk sehingga setelah beberapa lama seringkali tidak lagi laku di platform digital dan tidak paham apa yang sedang menjadi tren. Ini yang membuat UMKM di platform digital baru 13%. 

"Maka menurut saya, kalau berbicara insentif dan subsidi alangkah baiknya bila langsung kepada orang atau usahanya, bukan kepada perbanknya, agar tidak salah sasaran. Skema insentif harus dikaitkan dengan supply chain,atau global value chain, agar meningkatkan nilai tambah produk," kata Aviliani.

Berdasarkan data BPS Maret 2020, kata Aviliani, kontribusi pengeluaran rumah tangga, konsumsi 40% rumah tangga dengan berpendapat rendah hanya berkontribusi 17%. Kelompok 40% kelas menengah berkontribusi sebesar 36,78%. 

Sebesar 20% kelompok ekonomi atas berkontribusi konsumsi 45,49%. Namun sekarang orang-orang yang masih menahan konsumsi justru kelas atas. Akibatnya tabungan makin banyak, mereka tidak mengkonsumsi. 

Pada tujuh klaster kelas menengah, pemerintah memberi subsidi kepada lima klaster, yaitu kepada mereka yang berpendapatan Rp 5 juta ke bawah. Ini akan menambah kontribusi konsumsi 17% itu ke 34%. 

"Model ini lebih cocok untuk meningkatkan permintaan di masa kondisi new normal ini," kata Aviliani.

Sumber: Media Indonesia
Reporter: Fetry Wuryasti


--> -->