Permintaan Obat Turun 60 Persen Karena Corona

29 Juli 2020

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) F. Tirto Koesnadi mengatakan permintaan obat-obatan mengalami penurunan 50 sampai 60 persen selama pandemi virus corona. Hal ini disebabkan rendahnya permintaan terutama dari rumah sakit yang sepi pengunjung karena Covid-19.

Turunnya permintaan tersebut, lanjut Koesnadi, turut mempengaruhi produktivitas dan utilitas industri farmasi. Padahal, biasanya industri farmasi nasional dan BUMN memproduksi sekitar 90 persen obat untuk kebutuhan pasar dalam negeri.

Di samping itu, mereka juga punya kapasitas yang memadai untuk memenuhi pertumbuhan permintaan hingga 50 persen.

"Oleh karenanya kapasitas produksi menjadi idle dan utilitas hanya tercapai kurang lebih 50 persen atau kurang dari 50 persen dalam 3 bulan terakhir," ujar Koesnadi dalam webinar yang digelar Bappenas, Rabu (29/7).

Rendahnya utilitas pabrik tersebut juga berimbas pada efisiensi jumlah pegawai oleh perusahaan. Efisiensi dilakukan mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga merumahkan karyawan dalam kurun waktu tertentu.

Ia memperkirakan hingga saat ini ada sekitar 2.000 hingga 3.000 karyawan yang dirumahkan. Meski demikian jumlah tersebut terbilang kecil dengan serapan tenaga kerja industri yang berkisar 500 ribu hingga 700 ribu orang orang. "Mungkin saat peak, di 2019 mungkin lebih (dari 700 ribu)," imbuhnya.

Selain soal produktivitas dan utilitas, perusahaan farmasi juga mengalami kesulitan arus kas akibat banyaknya rumah sakit yang masih menunggak pembayaran obat-obatan.

Koesnadi menuturkan hingga saat ini total tagihan ke fasilitas kesehatan (faskes) yang belum dibayarkan dan jatuh tempo mencapai Rp3 triliun.

"Rumah sakit-rumah sakit ini yang melakukan pemunduran pembayaran yang demikian besar, yang tadinya maaf kami selalu menganggap BPJS yang tidak bayar," terangnya.

Menurut Koesnadi, tagihan tertunggak atas biaya obat-obatan tersebut tak hanya berasal dari tahun ini melainkan juga tahun lalu. Bahkan mayoritas rumah sakit yang menunggak tersebut merupakan milik pemerintah.

Hal ini menyebabkan distributor kesulitan melayani rumah sakit yang masih mempunyai tunggakan pembayaran besar dan pembayaran ke perusahaan farmasi juga menjadi mundur.

"Kami mendengar BPJS telah membayar kepada faskes-faskes itu terutama rumah sakit pemerintah sampai dengan Juli," tandas Koesnadi.

Sumber: CNN Indonesia


--> -->