• Eta Rahayu
    Eta Rahayu
    Alumni Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Ideas

Optimalisasi Pengembangan Growth Pole dengan Konsep One Village One Product

2018
Optimalisasi Pengembangan Growth Pole dengan Konsep One Village One Product

Tidak meratanya kontribusi PDB di Indonesia/ Sumber: Paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Indonesia Development Forum (IDF) 2017 di Jakarta, 9 Agustus 2017

Kesenjangan wilayah adalah fenomena universal (Ernan Rustiadi, dkk, 2009). Hal senada disampaikan pula oleh Guru Besar IPB, Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi dalam orasi ilmiahnya tahun 2013 lalu. Bahwa dunia belahan selatan dianggap lebih tertinggal dari belahan utara. Beberapa negara seperti Amerika, Cina, serta Thailand juga menghadapi kesenjangan berupa pembangunan wilayah bagian barat lebih tertinggal dibandingkan bagian timur.

Tak dapat dipungkiri, Indonesia juga tak luput dari permasalahan kesenjangan ini. Seperti yang terlihat pada gambar diatas, konsentrasi ekonomi di Pulau Jawa sangat mendominasi. Di sisi lain, persentase PDB Maluku dan Papua tidak sampai 10 persen dari sumbangan PDB Pulau Jawa untuk PDB Nasional. Kesenjangan antara wilayah barat dan timur terlihat begitu mencolok. Bahkan, kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan di Indonesia juga cukup tinggi. Mengapa demikian? Menurut Sjafrizal (2012) ketimpangan ekonomi wilayah dikarenakan terkonsentrasinya kegiatan pada wilayah tertentu.

Bagaimana mengatasi kesenjangan ini?

Ada banyak indikator yang mendefinisikan kemajuan suatu daerah. Maka, akar masalah dari kesenjangan wilayah ini begitu kompleks dan tidak mungkin diselesaikan dengan sekali tebas. Diperlukan strategi menyeluruh dari seluruh aspek yang menjadi penyebab kesenjangan wilayah ini. Salah satunya dari aspek pengembangan wilayah.

Menurut Mulyanto (2008) pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan untuk memanfaatkan potensi wilayah yang ada. Dan tujuannya adalah untuk memeratakan pertumbuhan wilayah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah (Adisasmita, 2008). Salah satu strategi untuk mengurangi ketimpangan pengembangan wilayah menurut Sjafrizal (2012) adalah dengan mengembangkan wilayah tertentu menjadi pusat pertumbuhan (growth pole) secara menyebar. Karena growth pole menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sekaligus. Pusat-pusat pertumbuhan baru ini dapat dipacu dan berkembang dengan cepat dan signifikan (Ernan Rustiadi, dkk, 2009).

RPJPN Tahun 2005 – 2025 yang diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2007, salah satunya menjabarkan arah pembangunan jangka panjang Indonesia. Visi pembangunan daerah diarahkan pada terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat (quality of life) di seluruh wilayah, berkurangnya kesenjangan antar wilayah, dan peningkatan keserasian pemanfaatan ruang. Dan pada RPJMN Tahun 2015 – 2019, sebagai tahapan prioritas ke-3 RPJPN, salah satu arah pembangunannya berkaitan dengan keserasian pemanfaatan ruang. Di mana strateginya adalah dengan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan. Hingga kini, Indonesia telah melakukan praktik pengembangan pusat pertumbuhan regional dengan berbagai tema. Seperti KAPET, KEK, KI, KPBPB, dan KSPN, namun tak seluruhnya menunjukkan hasil yang optimal. 

RPJM ke-4 ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang, dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Salah satu prinsip dasar dalam pengembangan wilayah menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) adalah sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

Bila konsentrasi hanya terjadi pada titik tertentu, perkembangan wilayah menjadi kurang efektif dan pusat pertumbuhan yang ada tidak dapat manjangkau keseluruhan wilayah. Hal ini justru akan menciptakan kesenjangan baru. Terlebih jika terdapat eksploitasi sumber daya oleh daerah yang lebih maju serta penduduk usia produktif banyak yang berpindah ke daerah pusat pertumbuhan karena kurangnya pekerjaan di daerah hinterland. Maka, optimalisasi daerah hinterland juga harus dilakukan, di samping terus mengembangkan wilayah pusat pertumbuhan.

Lantas kebijakan dan strategi apa yang bisa diterapkan untuk mendukung pengembangan growth pole di Indonesia?

One Village One Product (OVOP) adalah salah satu konsep pengembangan ekonomi wilayah. Dan konsep ini bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak tahun 2008, konsep yang dicetuskan di Jepang ini sudah dilakukan oleh Kementerian Koperasi Dan UKM. Selain di Indonesia, konsep ini banyak diadopsi oleh negara lain dengan berbagai nama yang berbeda. Berdasarkan Buku OVOP Guidelines (2014), OVOP di Brunei disebut One Kampung One Product (1K1P) dan di Filipina disebut One Town One Product. Di negara kita, OVOP sudah mewadahi beberapa produk lokal, seperti bawang goreng khas Palu, carica khas Wonosobo, serta kerupuk kemplang dan pempek khas Palembang. Beberapa produk sudah sukses go internasional.

OVOP memiliki misi untuk meningkatkan, mengembangkan dan mempromosikan suatu produk sehingga masyarakat dapat merasa bangga. Pada titik tersebut, kemandirian, kreativitas dan inisiatif masyarakat hinterland melalui pemanfaatan sumber daya lokal akan meningkat. Ekonomi lokalpun berjalan tanpa bergantung sepenuhnya pada kawasan pusat pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan 3 prinsip OVOP yang dinilai mampu mengembangkan hinterland yaitu lokal tapi global, kemandirian dan kreativitas, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Bila OVOP dilakukan pada setiap daerah hingga satuan terkecil (kelompok RT, dusun, desa atau kecamatan) maka produk yang memiliki nilai ekonomi pada setiap daerah akan mengangkat ekonomi daerah tersebut. Dengan demikian keunggulan komparatif antar daerah dapat tercipta. Daya saing antar wilayah dapat memacu pertumbuhan pada cakupan wilayah yang lebih kecil, dan berimbas pada ekonomi nasional.

Wilayah Indonesia Timur begitu kaya dengan sumber daya alam. Terutama potensi alam, kelautan juga pertanian. Potensi ini yang perlu dikembangkan dengan kerangka OVOP. Termasuk di dalamnya adalah potensi wisata. Pengembangan ekonomi lokal dengan konsep OVOP ini dapat dikaitkan dengan dana desa. Dana desa yang digulirkan bisa digunakan sebagai support pendanaan OVOP. Karena salah satu harapan digelontorkannya dana desa adalah pemberdayaan ekonomi lokal. Hingga semua tujuan pembangunan kawasan pedesaan seperti mewujudkan kemandirian masyarakat dan menciptakan desa-desa mandiri dan berkelanjutan bisa menjadi kenyataan sehingga martabat, kehidupan dan perekonomian masyarakat desa menjadi lebih baik dan terangkat.

Dalam pelaksanaannya, sudah tentu masyarakat tidak akan bisa berjalan sendiri. Kolaborasi antar stakeholder wajib dilakukan agar keterpaduan program dapat terwujud. Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan, Kementerian Perdagangan, ritel sebagai sarana pemasaran produk, swasta sebagai investor, aparat tingkat kabupaten hingga tingkat desa dan masyarakat sebagai pelaku harus saling bergandeng tangan untuk menghasilkan minimal satu produk di setiap wilayah hinterland. Bahkan, kalangan akademisi juga dapat dilibatkan dalam pengembangannya. Misal, ada kewajiban awardee LPDP untuk mengabdi di daerah timur dengan membina masyarakat agar mandiri secara ekonomi, layaknya dokter muda yang mengabdi di daerah pelosok.

Dengan penerapan OVOP, pedesaan/ hinterland akan lebih berdaya. Sehingga angka ketergantungan pada pusat pertumbuhan akan menurun. Hal ini juga akan menjamin pengolahan sumber daya lokal, sehingga eksploitasi sumber daya oleh daerah yang lebih maju dapat ditekan. Potensi-potensi di wilayah timur harus didorong untuk dikembangkan sebagai pondasi ekonomi lokal melalui OVOP. 


Komentar
  • Generic placeholder image
    Mustika Sari Virginia - 10 Jun 2018 21:05
    Memang betul sekali, di Indonesia msh terdapat kesenjangan yg mesti dikejar agar seluruh rakyat merasakan kesejahteraan yg merata. Program OVOP menurut sy sangat bagus krn mengatifkan potensi masyarakat di masing2 desa, ujung2nya akan menciptakan peluang kerja. Tp diperlukan edukasi yg baik dan continue dalam pengembangan produk di masing2 daerah, serta Pemerintah harus membantu dlm memasarkan produk. Mudah2an seluruh wilayah Indonesia semakin sejahtera!! Makmur rakyatnya! Aamiin!!!! Nice artikel Eta Rahayu, thank you for sharing!!
  • Generic placeholder image
    Kifayah Jauhari - 10 Jun 2018 22:17
    Beberapa daerah mungkin tidak seberuntung Palembang dg pempeknya, dan Wonosobo dg caricanya yg endemik kawasan dieng. Jika demikian, maka daya saing produk dan pemasaran menjadi PR krusial. Dalam salah satu fgd dg pemerintah tingkat provinsi mengenai produk unggul wilayah, beberapa kendala dalam pengembangan produk adalah belum adanya dukungan regulasi tata niaga yg dapat memposisikan produk lokal lebih unggul dari produk pesaing non lokal, keterbatasan biaya dan kemampuan pemasaran, lemahnya standarisasi produk, dan kurang sikronnya kebijakan pemanfaatan ruang-tuntutan peningkatan ekonomi-keterbatasan dana daerah yg menjadi lingkaran setan dan mengganjal gerak pengembangan produk unggul daerah. Mungkin beberapa poin ini bersifat sedikit teknis, namun ada baiknya kebijakan nasional yg dihasilkan untuk RPJMN 4 mampu mengakomodasi kebutuhan ini, sehingga bottom-up regulation bisa diwujudkan. Nice start, semoga semangat ovop menyebar ke setiap daerah, dan ekonomi lokal dapat berdaya
  • Generic placeholder image
    Eta Rahayu - 11 Jun 2018 8:14
    Terima kasih Mbak Mustika. Betul mbak, saya setuju, bahwa tidak ada proses yg instan, sama seperti dalam pengembangan produk unggulan. Dalam prosesnya dibutuhkan edukasi, pendampingan, kesabaran yg tidak sedikit serta harus berkelanjutan. Itu mengapa seluruh stakeholder harus bergandengan tangan dalam membantu daerah hinterland mengembangkan produk sendiri.
  • Generic placeholder image
    Eta Rahayu - 11 Jun 2018 8:30
    Terimakasih juga Mbak Kifayah Jauhari sudah menambahkan informasinya. Saya setuju sekali bahwa pengembangan produk bukanlah sesuatu yg mudah. Terutama dalam proses pemasaran. Itu mengapa saya juga menyampaikan bahwa seluruh stakeholder terkait harus berkolaborasi. Jika kaitannya dengan pemasaran kementerian koperasi dan ukm, kementerian perdagangan bahkan kementerian pariwisata seharusnya punya semacam kebijakan bagaimana mengakomodasi produk2 baru untuk dikenalkan secara luas. Mungkin bisa memanfaatkan pemasaran secara digital, pemasaran dg menggandeng ritel-ritel, dan proses pemasaran kreatif lainnya. Terkait dg tidak seluruh daerah memiliki sesuatu yg khas seperti carica di dieng, atau bisa saya tambahkan ikan Lemuru di Muncar Banyuwangi, sesuatu yg seperti itu justru saya memandangnya sebagai tantangan. Seorang bupati termuda pernah berkata, bahwa sekarang ini, di era milenial ini, sudah bukan waktunya bicara sumber daya alam. Tetapi sudah pada tahapan bagaimana kita bisa mengolah sesuatu menjadi barang jadi. Dan saya sependapat dg pernyataan beliau. Kita perlu melangkah dg kreatif, tidak lagi selali terpaku dg SDA. Dan intinya ketika kebijakan dan strategi ini dilakukan, masyarakat tidak dibiarkan berjalan sendiri, pendampingan sangat diperlukan dalam prosesnya. Terlebih ketika bicara kapabilitas dan karakteristik masyarakat di wilayah timur yg tentu berbeda dg wilayah barat.
  • Generic placeholder image
    Medhiansyah Putra Prawira - 11 Jun 2018 10:06
    Konsep pengembangan wilayah melalui OVOP merupakan salah satu alternatif yang menarik dalam mengatasi kesenjangan. Namun terkadang tidak semua wilayah mampu menemukan potensi ekonomi lokalnya masing - masing tanpa ada pemberdayaan masyarakatnya terlebih dahulu. Peran akademisi maupun pemerintah disini sangatlah penting, sebagai pendamping serta mitra untuk memberikan wawasan, inovasi dan dorongan agar masyarakat memiliki mindset yang sama untuk memajukan wilayahnya. Banyak kasus di Indonesia, wilayah yang kaya akan sumber daya alam namun tidak didukung dengan sumber daya manusianya. Semoga kedepannya dalam mengurangi kesenjangan wilayah melalui OVOP ini, pemerintah tidak hanya fokus pada "product" namun juga fokus akan "subject" dimana dalam hal ini adalah masyarakatnya. Artikel yang menarik, lanjutkan!
  • Generic placeholder image
    Eta Rahayu - 11 Jun 2018 10:57
    Thankyou Mas Mediansyah. Terimakasih sudah menambahkan. Setuju, kebijakan yg bagus kalau SDM gak bisa mengimplementasikan juga sama saja hasil tidak akan optimal. Anyway, semoga harapannya nanti bisa terwujud ya. Karena selain aspek pengembangan wilayah, aspek SDM yg berkualitas jg menjadi kunci dalam mengatasi kesenjangan.
  • Generic placeholder image
    Rusyidi Huda Prasetyo - 11 Jun 2018 20:39
    Sangat menarik dalam menjabarkan konsep Teori Pengembangan Wilayah "Growth Pole" yang lalu dikolaborasikan dengan One Village One Product serta membahas implementasinya terhadap kebijakan pemerintah dalam skala nasional. Pembahasan tentang Growth Pole memang terlihat sederhana namun benar benar harus tuntas antara rantai nilai dari hulu hingga hilirnya. Saya pernah membaca sebuah artikel tentang sebuah desa yang miskin di Cina bernama Huaxi yang menjelma menjadi desa yang sangat maju dan mandiri. Kemandirian yang tidak bergantung pada kebijakan/bantuan yang bersifat top down namun sangat baik dalam menjalankan kebijakan lokalnya. Kemandirian yang tidak mengekang terhadap kerjasama antar daerah sehingga distribusi supply and demand dengan wilayah pusat pertumbuhannya serta wilayah sekitarnya yang menjadi kesatuan rantai nilai tetap terjalin dengan baik. Saya sepakat dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa dalam perjalanannya konsep pusat pertumbuhan justru menjadi boomerang menciptakan 2 hal, kesenjangan baru dan/atau urbanisasi pada wilayah hinterland yang tidak siap terhadap perkembangan pusat pertumbuhannya. Adapun ketika berhasil dan tumbuh menjadi Kawasan satelit bagi Kawasan pusat pertumbuhannya, justru menjadikan semakin jenuh sistem perkotannya akibat mobilitas yang tidak terduga dan terkendali. Saya sependapat bahwa OVOP merupakan embrio untuk memicu pengembangan wilayah terhadap kawasan pusat pertumbuhannya. Dengan begitu maka dapat terwujud kemandirian dan daya saing sebagai upaya penanggulangan kesenjangan antar wilayah. Sepakat juga bahwa yang harus diperangi terlebih dahulu adalah ketidaktahuan masyarakat terhadap potensi potensi yang dimilikinya. (pembodohan dan pemiskinan adalah penjajahan era modern). Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah pusat maupaun daerah, mungkin ada baiknya dibentuk kerjasama dengan pihak swasta yang berperan sebagai supervise bagi masyarakat secara professional dalam menggali potensi serta bagaimana menghubungkannya terhadap rantai nilai yang sudah berjalan dengan sistem pada kawasan pusat pertumbuhan sehingga produk produk yang dihasilkan tidak menyimpang dari sistim rantai nilai yang sudah ada atau yang akan direncanakan. Tentunya dari sini tidak hanya dapat mengangkat pengembangan ekonomi lokal akan tetapi juga daya saing terhadap produk luar. Nah saya yakin dengan begitu kemandirian yang kuat dapat terwujud dan ketergantungan negara terhadap produk luar dapat dikurangi, tentunya hal ini juga akan menjadi multiplyer effect bagi pengentasan kesenjangan yang ada. Terimakasih Eta atas inspirasinya...
  • Generic placeholder image
    Eta Rahayu - 12 Jun 2018 4:37
    Terimakasih Rusyidi sudah mampir di blog ini. :) Suka sekali dengan komentar positif pamungkasnya, "Saya yakin dengan begitu kemandirian yang kuat dapat terwujud dan ketergantungan negara terhadap produk luar dapat dikurangi, tentunya hal ini juga akan menjadi multiplyer effect bagi pengentasan kesenjangan yang ada". Saya bahkan belum berfikir sampai ke ketergantung produk yang menurut Bank Indonesia semakin kecil ketergantungan produk luar (baca: impor) maka rupiah akan semakin menguat. Seperti langkah kecil yang berimbas pada sesuatu yang besar. Semoga kebijakan/strategi ini nanti bisa dimasukkan RPJMN terbaru kita dan bisa digunakan acuan untuk pelaksanaannya.
  • Success!
    Failed!
--> -->