Kesenjangan merupakan salah satu efek samping dari pertumbuhan ekonomi. Mengukur kesejahteraan dengan berkaca pada Produk Domestik Bruto (PDB) tidak selamanya tepat sasaran. Sebagai contoh, akselerasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam 10 tahun terakhir mencapai 9,32% (yoy)/tahun. Di sisi lain, rata – rata koefisien gini pada periode yang sama berkisar 0,47.
Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir tingkat akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam rentang 5 – 6% dengan angka ketimpangan sebesar 0,4. Semakin koefisien gini mendekati angka 1 (satu), semakin tinggi ketimpangan yang terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Seiring dengan ekonomi yang tumbuh, pendapatan yang diterima oleh masyarakat juga semakin tinggi. Namun demikian, persentase peningkatan pendapatan tidak sama untuk setiap kelompok (income bracket).
Pertumbuhan golongan berpendapatan rendah lebih lambat dibandingkan golongan berpendapatan tinggi. Peningkatan ekonomi sebuah negara ditandai oleh pembangunan berbagai sarana dan prasarana, peningkatan kebutuhan untuk perumahan dan perkantoran. Akibatnya harga tanah dan sewa rumah, biaya transportasi, dan kebutuhan konsumsi meningkat. Namun demikian, peningkatan biaya hidup yang terjadi lebih tinggi dibandingkan peningkatan pendapatan sehingga golongan berpendapatan rendah tidak dapat menikmati hasil pembangunan.
Untuk memperkecil ketimpangan pendapatan antara “si kaya” dan “si miskin” berbagai cara seperti penerapan pajak progresif, pembangunan infrastruktur dari wilayah perbatasan, penyaluran dana desa, peningkatan UMP secara gradual, telah dilaksanakan. Namun demikian, hadir pertanyaan jika “si kaya” merupakan seseorang berpendidikan S2 dan “si miskin” hanya berijazah SD bukankah lumrah jika terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dihadirkan kebijakan seperti Kartu Indonesia Pintar, perbaikan infrastruktur sekolah, perbaikan akses menuju sekolah, bantuan PAUD, dan pemberian beasiswa oleh pemerintah yang seluruhnya bertujuan untuk memperkecil gap pengetahuan. Agar anak Indonesia memiliki dasar pengetahuan yang sama. Agar informasi yang diterima oleh murid Sekolah Dasar (SD) di kota Jakarta dapat juga dinikmati murid di pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Agar dalam 20 tahun yang akan datang kedua anak tersebut memiliki kualisifikasi yang sama untuk bekerja di sebuah perusahaan yang sama.
Selain melalui infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan akses keuangan juga dapat berperan besar dalam menekan angka ketimpangan di Indonesia. Berdasarkan Global Financial Index 2017, rasio orang dewasa Indonesia yang memiliki rekening di Bank mencapai 50%, meningkat dari 36% pada tahun 2014. Namun demikian angka tersebut masih rendah dibandingkan rata – rata dunia yang mencapai 69%.
Bagaimana peningkatan akses keuangan dapat memperkecil ketimpangan pendapatan? Peningkatan jumlah deposito/tabungan di bank mengindikasikan bahwa perbankan memiliki sumber pendapatan yang lebih besar sehingga dapat menyalurkan kredit dalam nominal yang jumlah besar. Dengan demikian, meminimalisir pinjaman dengan bunga tinggi yang diperoleh melalui rentenir. Semakin besar kredit yang disalurkan kepada masyarakat maka semakin besar pula kesempatan banyak rumah tangga untuk membangun rumah yang lebih layak, menyekolahkan anak hingga tingkat perguruan tinggi, serta meningkatkan gizi makanan yang di konsumsi.
Selain berdampak langsung pada kebutuhan sehari – hari, akses keuangan juga akan membantu masyarakat dalam mengembangkan bisnis. Pada tahun 2013, jumlah petani di Indonesia mencapai 46 juta orang atau 41% dari keseluruhan penduduk bekerja di periode tersebut. Pekerjaan sebagai petani erat kaitannya dengan miskin, tidak sejahtera, dan berpendidikan rendah. Paradigma tersebut tidak sepenuhnya salah karena di lapangan banyak petani Indonesia yang tidak memiliki lahan.
Keterbatasan informasi dan pengetahuan menyebabkan para petani terjerat utang dengan rentenir. Petani tidak bankable karena tidak memiliki agunan dan penghasilan yang pasti. Penetrasi inklusi keungan di Indonesia hingga masyarakat desa akan membantu para petani memperoleh modal untuk mendapatkan bibit yang lebih berkualitas, teknologi yang lebih modern, dan teknik tanam serta pengelolaan paska panen yang lebih baik sehingga produktivitas mengalami peningkatan.
Begitu pula di sektor lain seperti perikanan. Selama ini, nelayan Indonesia kurang sejahtera karena sistem melaut yang kurang menguntungkan. Kebanyakan nelayan berlayar dengan kapal kecil sehingga hanya mampu berada dilaut selama 1 malam. Biaya yang ditimbulkan untuk biaya pulang – pergi pun menjadi besar. Rangkulan perbankan akan membuat para petani tersebut mampu meminjam untuk membeli kapal dengan kapasitas yang lebih besar sehingga dapat menghasilkan tangkapan laut yang lebih besar untuk dijual.
Saat ini perkembangan inklusi keuangan pesat dengan bantuan teknologi. Term jasa keuangan tidak lagi hanya menunjuk pada perbankan dan asuransi tetapi financial technology. Namun demikian, gelombang tersebut lebih terasa di kota dibandingkan di desa. Bagaimana tidak, terdapat desa – desa di Indonesia yang belum memiliki jaringan 3G Handphone. Masyarakat desa masih bergantung pada kehadiran fisik cabang bank. Banyak diantara masyarakat desa yang baru akan membuka rekening pertamanya di bank. Dengan pengetahuan yang minim, pengarahan langsung oleh sektor perbankan masih diperlukan masyarakat ini agar bisa menanam kepercayaan untuk mem’bank’kan aset mereka.
Meyakinkan teman – teman di desa bahwa bank tidak akan membawa lari uang serta memberikan pemahaman berbahayanya menyimpan “uang di bawah bantal”. Agar teman – teman di wilayah terdalam Indonesiapun memiliki akses untuk meminjam kredit di bank dan bukan di rentenir. Meskipun biaya operasional cabang bank di wilayah terpencil besar tetapi tidak berarti tidak menguntungkan. Terbuka ruang potensi penyerapan dana – dana idle yang selama ini ada di masyarakat. Sektor perbankan juga memiliki peraturan yang rigid terkait pinjam – meminjam sehingga akan membentuk perilaku masyarakat yang lebih disiplin.
Memperkecil gap ketimpangan di Indonesia tidak hanya dilakukan melalui sektor riil seperti pembangunan infrastruktur dan SDM. Namun, sektor keuangan juga dapat membantu menurunkan kesenjangan yang terjadi. Akses keuangan yang lebih luas akan menarik lebih banyak masyarakat terlibat aktif dalam perbankan sehingga memperkecil shadow banking di Indonesia.