“Raksasa yang sedang tidur itu bernama Indonesia”
Indonesia merupakan tanah surga yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), Budaya, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Gempuran teknologi dan globalisasi terus menggerus budaya dan kearifan lokal serta eksploitasi besar – besaran membuat berkurangnya SDA sejak adanya revolusi industri. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan sumber daya yang jumlahnya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. BAPPENAS dan BPS memproyeksikan bahwa penduduk Indonesia tahun 2030 akan mencapai 300 juta penduduk dengan komposisi penduduk usia produktif lebih dari 68%. Penyumbang usia produktif tahun 2030 adalah anak – anak dan para remaja yang hidup saat ini. Pemanfaatan SDM dengan optimal tentunya dapat membangunkan Sang Raksasa yang sedang tidur itu. Indonesia di tahun 2045 memiliki “bonus” demografi yang terus berlanjut dan akan menjadi peluang atau tantangan pada berbagai sektor. Bonus demografi di tahun 2045 akan berkontribusi atau berbencana menjadi semakin nyata, tergantung bagaimana persiapan generasi saat ini yang sekitar 30 tahun lagi akan memiliki peran besar pada era tersebut.
Transparency International menunjukkan bahwa tingkat korupsi pada sektor publik berada pada ranking 114 dari 177 negara. Sekretariat revolusi mental dalam nawacita Presiden Indonesia telah melaksanakan FGD dengan melibatkan 300 budayawan, seniman, tokoh agama/adat, akademisi menyimpulkan bahwa krisis mental sedang menggerogoti bangsa karena telah timbul gejala: krisis nilai dan karakter; krisis pemerintahan; krisis relasi sosial dengan apatisme dan intoleransi.
Visi misi Presiden Indonesia mengenai pendidikan Indonesia yang tertuang dalam nawacita yaitu meningkatkan mutu hidup manusia Indonesia melalui peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan serta melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Permasalahan pendidikan di Indonesia adalah adanya kesenjangan kualitas pendidikan akibat adanya disparitas pembangunan wilayah. Sampai saat ini, kualitas dan penyelenggara pendidikan yang bermutu masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini seringkali membuat siswa tidak mengerti alasan dari mempelajari berbagai materi pelajaran dengan kaitannya dalam kehidupan nyata, yang mengakibatkan siswa belajar hanya sekadar untuk mendapatkan nilai atau naik ke jenjang selanjutnya. Sehingga diperlukan sebuah solusi transformasi pendidikan di Indonesia. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pendidikan adalah metode pendidikan kontekstual, dimana guru atau pengajar berusaha untuk mengaitkan pembelajaran semirip mungkin dengan situasi pada “dunia nyata”, sehingga dapat membantu siswa untuk memahami materi pelajaran.
Suprijono (2011) menjelaskan bahwa pendidikan kontekstual atau biasa disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan sebuah metode yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, kemudian mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.Menurut Nurman (2017), pendidikan kontekstual selalu berakar dari nilai lokal utama yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Kemudian dikembangkan menjadi sebuah pengayaan dalam kerangka kurikulum. Nurman menjelaskan, kerangka kurikulum tersebut kemudian digunakan untuk pengembangan karakter dan keterampilan kehidupan yang diperlukan dalam mengatasi masalah-masalah masyarakat. Pendidikan kontekstual juga meningkatkan kompetensi guru untuk mengeksplorasi nilai-nilai lokal sehingga siswa dapat belajar dari alam sekitarnya.
Pendidikan kontekstual mampu mendorong terciptanya suasana belajar-mengajar yang menyenangkan, serta meningkatkan kreativitas dan kompetensi peserta didik dalam rangka mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045 dengan dibekali keterampilan abad 21. Selain itu, pendidikan kontekstual dapat digunakan tidak hanya di dalam kelas, namun juga di luar kelas. Pendidikan kontekstual jika diterapkan dengan baik dapat membuat desa-desa yang ada di Indonesia maju dan berkembang menjadi sustainable village. Penduduk desa tidak perlu lagi berbondong-bondong ke ibukota untuk mencari pekerjaan, karena mereka telah mendapatkan pembelajaran bagaimana mengolah sumber daya yang ada di sekitar menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan mereka sendiri. Pendidikan kontekstual juga akan memberikan kesadaran bahwa pembangunan desa merupakan tanggung jawab bersama penduduk desa.
Radio Magno dan Spedagi (Sepedaan Pagi-Pagi) yang digagas oleh Singgih Kartono merupakan gagasan yang berhasil merevitalisasi desa. Kedua gagasan tersebut mampu mengembalikan desa sebagaimana potensi dasarnya. Dengan mengembangkan pendidikan kontekstual yang tepat, masyarakat desa dapat berproses dengan sumber daya yang dimiliki serta membuat lapangan pekerjaan sendiri. Transformasi pendidikan Indonesia saat ini menuju pendidikan kontekstual sedikit demi sedikit akan menghapuskan kesenjangan kualitas pendidikan akibat adanya disparitas pembangunan wilayah. Hal ini dikarenakan meningkatnya kesadaran penduduk desa akan berimbas pada pembangunan desa yang biasanya identik dengan wilayah tertinggal. Sehingga, pendidikan kontekstual mampu mengatasi krisis kepemimpinan serta memandirikan Indonesia dari desa.
Referensi: