Abstraksi
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin melalui Program Indonesia Pintar sejak tahun 2014 (Kemendikbud, 2016). Salah satu kelompok anak-anak yang miskin dan rentan putus sekolah adalah anak-anak pemulung yang bekerja di TPST Bantar Gebang. Studi dari Save the Children (2018) menunjukkan bahwa anak-anak pemulung yang bekerja di TPST Bantar Gebang rentan putus sekolah di tingkat kelas 4 SD. Program Indonesia Pintar yang bertujuan untuk mencegah anak putus sekolah (Kemendikbud, 2016) ternyata tidak dapat mencegah anak-anak tersebut putus sekolah. Dari 396 siswa yang diajukan oleh sekolah untuk ikut serta dalam Program Indonesia Pintar, hanya 17 anak yang mendapatkan program tersebut (Save the Children, 2018). Meskipun Program Indonesia Pintar tidak mensyaratkan calon penerima untuk menyertakan dokumen identitas hukum seperti akta kelahiran, KTP, dan KK (Kemendikbud, 2016), penyebab tertolaknya pengajuan Program Indonesia Pintar diduga karena KTP dan KK orang tua anak-anak tersebut yang merupakan pendatang dan masih beralamat di kampung halaman mereka (Save The Children, 2018). Dokumen identitas hukum diperlukan untuk mengakses program-program bantuan sosial di Indonesia (PUSKAPA, 2014). Makalah ini bertujuan untuk mengekplorasi sistem pemberian bantuan dalam Program Indonesia Pintar dan kaitannya dengan identitas hukum. Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah desk review dan wawancara. Hasil dari makalah ini menunjukkan bahwa terdapat dua kemungkinan advokasi dalam kasus anak-anak di Bantar Gebang untuk mendapatkan bantuan Program Indonesia Pintar, yaitu dengan menyosialisasikan kepada orang tua anak untuk mengganti KTP mereka sesuai domisili atau mengubah sistem pemberian bantuan.