Abstraksi
Konsep pemerintahan desentralisasi seharusnya mendekatkan antara pemerintah dengan rakyat. Kedekatan antara pemerintah dan rakyat dalam penyediaan pelayanan publik menghadapi hambatan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya membatasi ruang gerak pembangunan. Selain masalah ketergantungan, pemerintah daerah juga kesulitan mengalokasikan belanja modal untuk pembangunan daerah. Data keseluruhan realisasi APBD Tahun 2016 mendeskripsi belanja modal hanya 22,08% atau lebih rendah dari belanja lain, khususnya belanja pegawai yang mencapai 34,93%. Makalah ini mengangkat masalah terkait kemandirian dalam pembangunan. Mengapa suatu daerah bisa mandiri sementara yang lain tidak. Apa yang bisa dipelajari dari struktur keuangan daerah-daerah yang mandiri. Bisakah daerah-daerah yang tidak mandiri menjadi mandiri?. Untuk mengurangi disparitas, menjadi daerah mandiri saja tidak cukup. Tetapi apakah suatu daerah telah mengalokasikan belanja modal yang diyakini lebih berdampak pada perbaikan disparitas? Adakah hubungan linier antara semakin mandiri suatu daerah dengan belanja modal yang dialokasikan?. Metodologi yang digunakan untuk menjawab masalah menggunakan deskripsi dan analisis kemandirian keuangan daerah berdasar data laporan keuangan pemerintahan daerah (LKPD) Tahun 2016. Berdasar data acak dari 229 Pemerintah Kabupaten/Kota, hanya 3,49% pemerintah daerah yang tingkat kemandirian keuangannya tergolong tinggi. Pemerintah daerah dengan kemandirian sedang sebesar 2,18% dan kemandirian rendah sebesar 4,37%. Mayoritas pemerintah daerah sebesar 89,52% memiliki tingkat kemampuan keuangan daerah yang rendah sekali. Implikasinya, mayoritas daerah memiliki pola hubungan yang instruktif, yaitu pemerintah pusat lebih dominan dalam keuangan pemerintah daerah. Temuan ini dapat menjadi dasar dalam memperbaiki daerah-daerah yang masih belum mandiri, apakah dibangkitkan potensinya atau digabung dengan daerah lain.