Abstraksi
Tanaman kopi sudah mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1696 saat Belanda membawa biji kopi dari Malabar ke Jawa. Penanaman dan budidaya pertama di Kedawung, perkebunan dekat Batavia. Selanjutnya pada tahun 1706 sampel kopi yang sudah ditanam di Jawa diteliti di Belanda, hasilnya menunjukkan bahwa kopi di Jawa memiliki kualitas yang sangat baik. Berbagai jenis kopi ditanam hingga tahun 1907 Belanda berhasil menanam kopi dengan jenis robusta. Pasca merdeka, perkebunan kopi Belanda dinasionalisasikan, dan sepenuhnya dimiliki oleh rakyat dan pemerintah Indonesia. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya Kopi yang Baik dianggap belum menjelaskan tentang pengolahan dan pemasaran produk kopi yang sudah ditanam di beberapa wilayah (termasuk Temanggung). Pokok permasalahan di masyarakat Kabupaten Temanggung ialah tidak adanya sistem pengelolaan bersifat bottom-up yang dimulai dari masyarakat sebagai penanam kopi, penghasil dan kemudian pengelolannya menjadi serbuk kopi dan tidak hanya berbentuk biji mentah. Masyarakat sejauh ini terkesan menunggu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengelola kopi mentah di Temanggung, padahal negara dalam artian modern seharusnya memiliki partisipasi dari berbagai organisasi non pemerintah (NGO) yang didalamnya termasuk pihak swasta dan kelompok-kelompok LSM di bidang pertanian dan membantu masyarakat dalam pengelolan serta pengolahan biji kopi. Pada penelitian kali ini digunakan pendekatan sosio-legal sehingga ditemukan regulasi dari pemerintah untuk menyelesaikan rendahnya kesejahteraan petani kopi. Metode penelitian ini bersifat implementatif dengan menggunakan data sekunder dan primer sebagai pengamatan fenomena di lapangan. Inovasi SCID (Supply Chain Integrated District) diharapkan menjadi percontohan dalam pengelolaan kegiatan operasi dan produksi jenis kopi di Indonesia yang dimulai dari lapisan masyarakat.