Laju perkembangan Financial Technology (Fintech) sangat pesat. Hal ini disebabkan kebutuhan pembiayaan secara cepat sangat signifikan dibutuhkan dalam era digital. Luasnya Indonesia disertai kondisi paduan geografis daratan dan lautan serta belum optimalnya infrastuktur di pelosok negeri menjadi tantangan pembangunan. Teknologi informasi adalah salah satu media untuk menjawab tantangan ini. Di sisi lain, tidak sedikit elemen masyarakat seperti nelayan, petani, peternak hingga UMKM belum dapat terakses dalam sektor formal jasa keuangan seperti Bank atau pasar modal. Hal ini menyebabkan mereka terjebak dengan rentenir atau tengkulak. Inilah yang menjadi alasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong inovasi dalam sektor jasa keuangan, salah satunya berupa Financial Technology (Fintech).
OJK sebagai regulator sigap merespon kondisi dengan mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang merupakan penerapan Financial Technology (Fintech). Terbitnya regulasi ini diharapkan dapat membentuk ekosistem yang kondusif agar Fintech dapat tumbuh dengan baik dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan konsumen di dalamnya. Secara sederhana, Fintech adalah suatu konsep yang menghubungkan antara pemberi pinjaman (lender) dengan penerima pinjaman (borrower) secara langsung melalui teknologi informasi (platform/aplikasi). Hasilnya, per Maret 2018, Fintech telah menyalurkan pinjaman dengan nilai Rp4,47 Triliun (meningkat 74,45%) kepada 1.032.776 entitas (meningkat 297,78%) dari 145.965 entitas penyedia dana (meningkat 44,61%). Kehadiran Fintech memperbesar peluang siapa saja untuk memperoleh modal dalam berwirausaha dan berinovasi.
Mekanisme Fintech ini dapat diterapkan dalam mekanisme keuangan negara/daerah dalam rangka optimalisasi pembangunan daerah.
Dalam konsepsi Fintech, lender/pemberi pinjaman adalah pihak yang kelebihan dana/memiliki idle cash yang dapat digunakan oleh borrower/peminjam sebagai pihak yang kekurangan/butuh dana untuk suatu kebutuhan atau berbagai aktivitas ekonomi dalam meningkatkan kesejahterannya. Kondisi ini tampak pada keuangan negara/daerah, di mana kapasitas penyerapan anggaran (APBN/D) dari masing-masing entitas negara/daerah berbeda satu dengan yang lain, ada yang memiliki kelebihan atau kekurangan anggaran.
Otonomi daerah menyebabkan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah daerah dapat mengunakan alokasi APBN dalam kemandirian melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Tidak dapat dipungkiri, daerah dengan penduduk yang banyak akan mendapat DAU yang banyak. Di sisi lain, daerah yang sudah berkembang pesat memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Kedua hal ini menjadi penyebab surplus dana di daerah-daerah tertentu. Kondisi ini dapat dijadikan kesempatan dalam optimalisasi pembangunan di Indonesia dengan cara mempertemukan daerah surplus dana (Daplus) dengan daerah yang kekurangan (minus) dana (Damin) untuk melakukan pembangunan, misalnya pembangunan infrastuktur atau pemberdayaan masyarakat. Pertemuan ini dapat dilakukan dengan mengunakan aplikasi seperti financial technology (Fintech) tadi yang “diakulturasikan” dalam keuangan negara/daerah, yang disebut sebagai Government Financial Technology (Go-inch).
Sudah saatnya, segala entitas negara dapat saling bahu-membahu/ berkolaborasi untuk membangun Indonesia dengan segala sumber daya yang dimiliki. Go-inch dapat menyediakan berbagai produk “penyaluran dana” seperti berbentuk pinjaman antar daerah atau hibah. Produk ini sebagai bentuk investasi antardaerah baik secara langsung dan tidak langsung, sehingga dana rakyat yang “menganggur” di Bank dapat diminimalkan. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, menyatakan per akhir Desember terdapat dana pemerintah daerah yang menganggur di Bank sebesar Rp129,8 triliun.
Dapat dibayangkan ratusan triliun dana begitu dibutuhkan daerah-daerah yang kekurangan dana untuk membangun daerahnya. Di sisi lain, Go-inch tentu bukan sekedar menyajikan nominal dana akan tetap rincian program/kegiatan yang perlu dibiayai termasuk risiko dan benefit yang akan diterima dari pengguna dana. Tentu saja, akuntabilitas segala bentuk belanja daerah tetap dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku seperti telah direncanakan/ masuk APBN, namun dokumen pencairan dana ini dapat disederhanakan terkait adanya penggunaan teknologi informasi. Pengaturan lanjutan mengenai kehadiran aplikasi ini tentu memerlukan kolaborasi berbagai elemen kementerian/lembaga negara seperti Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dan institusi terkait lainnya.
Selain itu, ada potensi kolaborasi antara Go-inch dengan Fintech, di mana beberapa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) pada Fintech memfokuskan diri dalam beberapa sektor produktif terkait pemberdayaan masyarakat pada bidang pertanian (TaniHub, Crowde, Growpal, iGrow, Eragano, 8Villages), perikanan dan kelautan (Mekar, Fintag Maritim, Iwak.Me), peternakan (Angon), UMKM (Modalku, Amartha, Investree), dan sebagainya. Beberapa PUJK Fintech bukan hanya memerankan sebagai penyedia aplikasi, tetapi juga memiliki divisi yang langsung terjun ke lapangan untuk melakukan pembinaan dan monitoring proges usaha dari peminjam. Kolaborasi ini dapat menempatkan Pemda/Pemdes sebagai lender baik langsung atau tidak langsung, misalnya melalui Bank Pemerintah Daerah atau Bank Perkreditan Daerah miliknya, bahkan yang lebih penting lagi sebagai sumber informasi/penghubung antara Fintech dengan masyarakat binaan daerah untuk terkases dengan sektor jasa keuangan.
Besar harapan Go-inch dapat mendekatkan jarak setiap daerah di wilayah NKRI dari ratusan kilometer menjadi hanya sejengkal/satu inci sehingga antarentitas penyelenggara negara serta sektor jasa keuangan terus mengedepankan gotong royong dalam pembangunan Indonesia demi mencapai kesejahteraan bersama.