Abstraksi
Persoalan Pembangunan. Selama 20 tahun terakhir gap antara volume ekspor dan impor daging sapi cenderung semakin lebar. Situasi ini berdampak pada terjadinya defisit neraca perdagangan daging sapi yang cukup besar dan tertinggi terjadi pada tahun 2016, mencapai 528,34 juta US$ atau naik 118,29% dari besaran defisit tahun sebelumnya. Meskipun keragaan produksi daging sapi di Indonesia secara umum menunjukkan tren peningkatan, namun peningkatan rata-rata 2,85% per tahun tersebut tidak mampu memenuhi laju konsumsi yang terus meningkat juga sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi per kapita. Proyeksi lima tahun ke depan, untuk menutupi defisir kebutuhan daging, Indonesia masih membutuhkan impor sapi bakalan sekitar 300.000 ekor per tahun (Outlook, 2017). Tantangan bagi Indonesia adalah menurunkan impor daging maupun sapi potong dan mandiri mencukupi kebutuhan domestik. Tantangan yang sangat berat ini harus dijawab dengan sumber daya manusia (SDM) yang bertumpu pada peternak pelaksana utama. Para peternak ini tinggal di pedesaan dengan sebagian besar berlatar belakang pendidikan Sekolah dasar dengan usia di atas 40 tahun. Dengan karakteristik kualitas SDM seperti ini, diperlukan strategi pemberdayaan untuk peningkatan kompetensi peternak agar mampu berkontribusi signifikan menjawab tantangan pembangunan ini. Strategi ini juga harus mampu menjawab tantangan peningkatan produktivitas peternakan di wilayah perdesaan. Pertanyaan penelitian. (1) Bagaimana kelembagaan di wilayah perdesaan sebagai ekosistem pendukung keberhasilan pembangunan peternakan?; (2) Bagaimana meningkatkan kompetensi peternak sebagi aktor utama penggerak usaha peternakan? Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, maka dilakukan action-research formulasi model kebijakan pembangunan daerah di bidang peternakan sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Formulasi yang dimaksud menitikberatkan pada partisipasi subyek atau pelaku utama dalam bidang peternakan (termasuk kelompok warga miskin desa), kelembagaan produksi di tingkat peternak sebagai pelaku utama dan kelembagaan penyangga produksi di tingkat daerah, pola pengorganisasian produksi dan pengolahan, pola kerjasama dengan para pihak, penguatan kapasitas dan pengembangan ekonomi solidaritas. Metodologi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Pelaksanaan FGD dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama dilakukan FGD dengan peternak di wilayah penelitian sebagai pendekatan partisipatif. Wilayah penelitian yang dimaksud yaitu Kab. Malang dan Kab. Musi Banyuasin untuk menghasilkan gambaran keterkaitan antar lembaga yang disajikan dalam bentuk diagram Venn. Tahap kedua, FGD dilakukan dengan para pakar dan wawancara terstruktur untuk memformulasikan alternatif strategi menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Temuan dan argumen. Memadukan Pendekatan partisipatif dan pendekatan kawasan, dinilai mampu meletakkan humanisme dalam pembangunan. Orientasi pengembangan kawasan perdesaan difokuskan untuk membangun desa-desa, mendorong kemampuan penyerapan tenaga kerja, mendorong kemampuan ekonomi lokal, dan mendorong kemampuan membangun keberdayaan warga desa. Hasil penelitian di Kab. Malang, yang belum dibentuk Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), keterkaitan antar lembaga pada wilayah perdesaan masih lemah. Dukungan kepada peternak hanya diberikan oleh penyuluh, petani tanaman pangan dan blantik (pedagang pengumpul) tingkat desa. Hal ini berbeda dengan temuan di Kab. Musi Banyuasin yang telah terbentuk SPR. Dengan adanya SPR mendorong sinergi antar lembaga yang ada di wilayah tersebut, yaitu lembaga keuangan bank dan non-bank, universitas, Dinas-dinas terkait. Tujuan dibentuknya SPR adalah wadah bagi peternak berskala kecil untuk mendapat ilmu pengetahuan tentang berbagai aspek teknis peternakan dan manajemen usaha secara sistematis dari perguruan tinggi (dalam hal ini Institut Pertanian Bogor). Sekolah Peternakan Rakyat yang telah dinyatakan lulus, dibimbing menjadi entitas bisnis ang dikelola secara kolektif dalam satu manajemen (satu manajer) dalam rangka meningkatkan daya saing usahanya melalui pendampingan, pengawalan, aplikasi teknologi dan informasi, serta transfer ilmu pengetahuan untuk meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan peternak. Model SPR untuk sapi potong adalah model SPR 1111 dengan penjelasan, dalam satu SPR terdapat minimal 1000 indukan, maksimal 100 pejantan, 10 strategi untuk mencapai 1 visi, yaitu peternak berdaulat. Pada tahun 2017, IPB telah meluluskan enam SPR, yaitu empat SPR di pulau Jawa dan dua SPR di pulau Sumatra. Sampai tahun 2019, terdapat 30 SPR dalam binaan IPB bekerjasama dengan Pemda di Sumtar, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Kesimpulan dan rekomendasi Pada Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Perdesaan Melalui SPR (Sekolah Peternakan Rakyat), diperoleh faktor yang paling berpengaruh terhadap fokus tersebut yaitu kompetensi peternak. Aktor yang dianggap paling berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan ini adalah peternak. Adapun tujuan yang paling diprioritaskan melalui pembentukan SPR ini adalah untuk membangun bisnis kolektif. Alternatif strategi yang dapat diambil untuk menciptakan model SPR yang tepat adalah melalui penggemukan sapi potong. Maka pembentukan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) di tingkat wilayah satu desa atau kecamatan merupakan model kebijakan pembangunan daerah merupakan rekomendasi strategi pengentasan kemiskinan di kawasan perdesaan di bidang peternakan, meningkatkan kompetensi peternak untuk membangun bisnis kolektif dengan alternatif usaha penggemukan sapi potong. Implikasi kebijakan dan praktik Peningkatan kompetensi peternak memerlukan dukungan kebijakan pemerintah daerah yang mendukung dibentuknya Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) di kawasan pemukiman peternak berskala kecil yang dapat berupa satu desa atau satu kecamatan. Pembentukan SPR berdasarkan komoditas, tidak terbatas sapi potong saja tetapi memungkinkan ternak yang lain sesuai dengan keunggulan potensi daerah. Perlu diperluas peluang kerjasama, tidak hanya universitas dengan Pemda, tetapi dapat disinergikan dengan BUMN dan swasta.