• Ilham Dary Athallah
    Ilham Dary Athallah
    Ilham Dary Athallah is a stafee (Tenaga Ahli) for Universitas Negeri Yogyakarta. Ilham has joined teams, co-wrote numerous books, and done research and development for notable publisher, companies, and government agencies. With output ranges from biographies, technicalities, devlopment project, and company profiles. Resides in Yogyakarta, Ilham is also a middler (third-year undergrad) in Universitas Gadjah Mada (UGM), majoring International Relations. Thus making Ilham has both the passion, and extensive experience in writing, research, and public relations stuffs for person on his age (currently 19 y.o). All Ilham's activities are detailed in this Linkedin profile (https://www.linkedin.com/in/ilham-dary-athallah-ba10b341) Beside his studies, Ilham dedicates…
Papers

Zonasi Sekolah sebagai Katalis Mobilitas Vertikal Era Revolusi Industri 4.0: Pengalaman Orde Baru, Kegagalan Amerika, dan Proyeksi Permendikbud 14/2018

2019

Abstraksi

Perubahan drastis dalam ekonomi politik, secara historis membawa kesempatan mobilitas vertikal yang lebih besar bagi individu dalam struktur masyarakat dibanding pada variasi temporal lainnya. Perubahan drastis tersebut bisa terjadi dalam fenomena apapun. Mulai dari perang, perubahan ideologi negara, hingga kebijakan pembangunan . Di Indonesia, salah satu momentum perubahan drastis dalam ekonomi politik tersebut dapat diidentifikasi sempat berlangsung pada era orde baru . Dimana mobilitas vertikal berlangsung karena kekosongan posisi kunci di bidang ekonomi, yang kemudian mayoritas diisi mereka yang mengenyam pendidikan (baik sekolah umum atau militer). Hal tersebut dapat berlangsung seiring adanya variasi temporal : 1) pembukaan kesempatan penanaman modal privat, 2) berkurangnya konsentrasi kuasa pada etnis Tionghoa seiring fenomena 1965, 3) peran besar ABRI dalam kerangka dwifungsi yang memberikan kesempatan profesi tentara menjadi sarana mobilitas vertikal, dan 4) perekrutan PNS yang diiringi ketersediaan sistem promosi secara terpusat dan penguatan institusi birokrasi, yang berkontribusi dalam memunculkan mobilitas intragenerasi dan antargenerasi lewat kemunculan pengusaha baru dari etnis Tionghoa dan perwira militer , serta masyarakat biasa dari desa yang terdidik dan melakukan urbanisasi dalam jenjang karirnya sebagai teknokrat atau militer. Walaupun terbukanya kesempatan berwirausaha dan proses urbanisasi tetap berlangsung pada era kontemporer, belum berlangsungnya perubahan drastis dalam ekonomi politik membuat konsentrasi kuasa masih diwariskan secara antargenerasi. Misalnya dalam cakupan pengusaha yang telah menjalankan bisnisnya sejak lama, atau pada perwira dan PNS yang kemudian mewariskan kelas sosial yang bersangkutan kepada keturunannya. Beberapa studi empiris (Haveman dan Smeeding 2006; Pattinasarany 2012; Triventi 2013) telah menegaskan hubungan yang positif atas warisan antargenerasi tersebut lewat menilik kolerasi diantara status sosial-ekonomi, peluang pendidikan, dan mobilitas sosial . Hasil studi yang dilakukan oleh Pattinasarany (2012) di wilayah perkotaan di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur misalnya, menggambarkan bahwa mobilitas sosial vertikal lebih banyak dinikmati oleh kelompok individu yang berasal dari kelas menengah ke atas dengan tingkat keberhasilan 46,1% , dibanding kelas pra-sejahtera (21,3%), dan menengah ke bawah (25,2%). Fenomena bagaimana pendidikan melanggengkan struktur yang menghambat mobilitas vertikal tersebut, memiliki pola serupa dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Dimana akses dan performa pendidikan cenderung lebih baik bagi kelompok individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Karena mereka memperoleh fasilitas pendidikan yang baik dari orang tuanya, tinggal di lingkungan urban yang relatif lebih elit, sehingga cenderung lebih mudah memperoleh akses ke institusi pendidikan negeri (public school), mereka secara tradisional lebih prestisius . Status sebagai sekolah unggulan tersebutpun hadir sebagai vicious cycle, yang berlangsung karena konsentrasi orang kaya dan pintar di sekolah tersebut, lalu guru terbaik juga mendaftar untuk ditempatkan di daerah tersebut. Fenomena variasi spasial dalam satu zona (distrik) yang pada umumnya hanya memiliki satu sekolah secara terpusat, memperparah karena keberadaan segregasi rasial dan kelas yang secara historis berlangsung di Amerika Serikat. Orang kulit hitam dan berpendapatan rendah yang dulunya terpaksa tinggal di downtown, dan orang kulit putih tinggal di suburb. Sekolah di distrik suburb akhirnya lebih maju, sedangkan di downtown relatif berprestasi rendah dengan kualitas pembelajaran dan keamanan dari kasus penembakan yang relatif kurang baik . Di Indonesia pada era orde baru, pola segregasi sedemikian rupa relatif belum muncul secara signifikan karena adanya kekosongan di kelas elit. Mereka yang cerdas dan berekonomi kurang mapan, berkesempatan sekolah di lembaga prestisius tersebut karena anak-anak dengan karakteristik meritokratis tersebut cenderung punya kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh mobilitas vertikal . Walaupun demikian, kesuksesan secara finansial lewat akumulasi kekayaan (wealth) sebagai akibat dari kesempatan belajar tersebut, menutup kesempatan kelompok lain yang belum sempat memperoleh mobilitas vertikal di saat ini karena kapital yang mereka peroleh secara sadar atau tidak sadar diutilisasi untuk melanggengkan kelas yang mereka peroleh secara antargenerasi. Mereka memiliki tempat tinggal yang berada di daerah elit dengan sekolah unggulan tersebut, sehingga anak mereka akan bersekolah di sekolah unggulan tersebut dan menghasilan keluaran berupa terhambatnya mobilitas vertikal pada saat ini . *Mendalami Mobilitas Vertikal* Merefleksikan fenomena tersebut, saya melalui proposal ini ingin mengusulkan penelitian berkenaan dengan bagaimana zonasi sekolah yang dicanangkan Kemdikbud melalui Permendikbud 14/2018 dapat menghasilkan keluaran efektif berupa pelaksanaan pencerdasan secara merata layaknya diejawantahkan dari Nawacita. Guna mendalami bagaimana rencana zonasi sekolah dalam rezim Permendikbud 14/2018 dapat berkontribusi meningkatkan mobilitas vertikal di era Revolusi Industri 4.0. Penelitian kemudian dilakukan secara kualitatif, lewat mengkomparasikan konteks variasi temporal dan rincian kebijakan zonasi sekolah yang berlangsung di era orde baru, dimana zonasi dilakukan dengan kuota dalam kota-luar kota, di Amerika Serikat yang berbasis distrik, dan dalam rezim Permendikbud 14/2018 yang berbasis pembentukan "zona" berdasarkan usulan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan pemerataan guru melalui mekanisme zonasi guru (Arifin, 2013). Struktur kebijakan dalam zonasi rezim Permendikbud 14/2018 mendistribusikan siswa cerdas dan guru terbaik agar tidak terkumpul hanya di satu sekolah unggulan, namun diratakan ke lebih banyak sekolah. Makin banyak sekolah yang berkualitas, maka cakupan kemampuan negara melalui sekolah negerinya untuk menghadirkan pendidikan berkualitas guna memfasilitasi mobilitas vertikal akan lebih luas lagi. Dari upaya studi komparatif tersebut, akan ditemukan berbasis data kajian pembangunan korelasi ekonomi dan pendidikan yang telah tersedia sekaligus akan didalami lebih lanjut oleh peneliti, bahwa mobilitas vertikal dapat lebih terfasilitasi dengan adanya zonasi dalam rezim Permendikbud 14/2018 sebagai katalisnya. Kemampuan untuk mengantarkan mobilitas vertikal tersebut menjadi penting karena bertepatan dengan momentum kehadiran Revolusi Industri 4.0. Yang walaupun belum terinfiltrasi sepenuhnya ke Indonesia, namun kedepan akan mampu merubah lansekap pekerjaan secara drastis yang berarti membuka kesempatan untuk berlangsungnya mobilitas vertikal secara lebih besar. Jika masyarakat dari kelas ekonomi yang lebih luas dapat memperoleh pendidikan berkualitas, maka revolusi industri 4.0 sebagai kesempatan dalam kerangka perubahan drastis ekonomi politik, dapat dinikmati masyarakat lebih luas. Alih-alih seperti saat ini dimana pendana, pemilik, dan karyawan dari perusahaan rintisan masih didominasi kaum terdidik yang datang dari kelompok elit. Melalui runtutan berpikir tersebut, penelitian yang akan dibawakan dalam sesi imagine ini akan menghadirkan proyeksi dampak dari Permendikbud 14/2018 dan proyeksi lansekap mobilitas vertikal untuk menjadi masukan dalam pengambilan, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan lebih lanjut di bidang pembangunan ekonomi secara terintegrasi, dalam kerangka mengurangi gini ratio sebagai indikator kesenjangan dan menyiasati fenomena Middle Income Trap.

Komentar
--> -->