Abstraksi
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, marak sekali aktifitas publik yang memiliki kepedulian untuk memperbaiki kondisi dan citra Indonesia. Mulai dari gerakan cinta lingkungan, gerakan mendukung pendidikan, pelestarian kebudayaan, pencinta sejarah dan berbagai kegiatan sosial lainnya. Kegiatan ini sebagian besar diinisiasi masyarakat dengan keinginan membangkitkan kembali nasionalisme dan semangat ke-Indonesiaan. Semangat untuk merumuskan ulang identitas ke-Indonesiaan dan mereproduksi nasionalisme oleh masyarakat secara independen ini nampaknya juga dipicu adanya krisis identitas yang disebabkan oleh kuatnya kontestasi berbagai kepentingan di era globalisasi. Batasan-batasan yang semakin kabur tentang konsep Indonesia melahirkan gagasan-gagasan kosmopolitanisme yang multi-interpretatif atas kebhinnekaan dan sejarah Indonesia. Selain itu, selama lebih dari separuh abad kekayaan budaya ini pernah sengaja dihapus dari sejarah resmi dan memori kolektif masyarakat oleh rezim yang berkuasa. Skeptisisme terhadap negara berikut aktor-aktornya menjadi alasan lain mengapa masyarakat merasa perlu mengambil peran diluar sistem negara. Masyarakat yang teralienasi dari sejarah dan budayanya sendiri ini tersesat dalam belantara kontemporer sehingga tanpa sadar menciptakan imajinasi tersendiri dalam merayakan perbedaan. Patut digarisbawahi, karena terlanjur tercerabut dari akarnya, kurangnya wawasan serta rendahnya minat membaca, mengakibatkan masyarakat yang terbagi dalam komunitas-komunitas yang beragam ini kerap memiliki imajinasi yang berbeda-beda antara satu dan lainnya bahkan menjadi hiper-nasionalis dalam membayangkan gambaran Indonesia yang ideal. Kondisi ini diperkuat dengan semakin terbukanya akses terhadap informasi, di mana kanal-kanal televisi kabel sampai media sosial di dunia maya merupakan penyedia informasi instan bagi masyarakat masa kini. Alhasil, masyarakat yang tak suka membaca ini tak terbiasa untuk mencerna dan menyaring informasi secara bijak, apalagi melakukan kritisi. Maka tradisi intelektual, yaitu tradisi untuk belajar dan saling berbagi pengetahuan, terputus. Dalam tataran empiris, reaksi publik yang riuh-rendah dan berlebihan atas adanya klaim negara asing terhadap warisan budaya Indonesia, misalnya, dapat menjadi indikator betapa terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang sejarah dan budayanya sendiri. Upaya untuk me-redefinisi nasionalisme yang semula berada di tangan pemerintah sejak negara ini berdiri hingga tumbangnya Orde Baru, kini perlu ditelaah ulang ketika ruang-ruang tersebut terbuka bagi peran-serta publik. Wacana nasionalisme yang dibingkai dalam narasi kultural-historis berpotensi untuk memperoleh pemaknaannya yang baru bagi masyarakat sebagai bagian dari tren gaya hidup kaum urban yang erat dengan budaya populer. Wacana tersebut kemudian direproduksi secara instan oleh media massa. Salah satu narasi kultural-historis yang akhir-akhir ini mengemuka adalah “Jalur Rempah”. Narasi ini menempatkan Nusantara (kini Indonesia) menjadi simpul penting pertukaran antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide/gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan, dari masa ke masa. Jalur perdagangan rempah-rempah melalui laut inilah yang menjadi sarana bagi pertukaran antarbudaya yang berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia. Dengan demikian, jalur rempah memberikan perspektif kontekstual yang unik sebagai pintu masuk untuk mendorong publik agar memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap keragaman yang telah membentuk Indonesia. Narasi kultural-historis yang romantik ini nampaknya mampu memunculkan rasa nasionalisme dan secara serentak memberikan pemaknaan baru tentang apa artinya berbangsa, meski dengan kadar yang berbeda-beda bagi setiap orang. Penelitian ini membahas dinamika relasi dan kontestasi antara masyarakat, korporasi dan negara, dalam upayanya meredefinisi identitas ke-Indonesia-an dan merekonstruksi sejarah nasional melalui rekacipta tradisi. Studi ini bertujuan untuk menguraikan proses interaksi yang terjadi di balik narasi sosio-kultural-historis “Jalur Rempah” yang direkonstruksi oleh para aktornya baik secara teoritik maupun empirik. Dalam penelitian ini, penulis memperlihatkan bahwa proses rekonstruksi sejarah nasional tidak selalu merupakan inisiasi para elit politik maupun negara sebagai pemegang otoritas tertinggi. Bila upaya merekonstruksi sejarah nasional itu sendiri merupakan sebuah tradisi yang lazim dilakukan oleh negara dalam rangka meredefinisikan identitas, tradisi tersebut kini berbalik. Keinginan masyarakat untuk merekonstruksi identitas dengan sendirinya menumbuhkan tradisi untuk memahami sejarah. Dengan kata lain, tumbuhnya sebuah tradisi untuk belajar atau tradisi intelektual. Rekacipta tradisi dirasa amat diperlukan untuk penyejajaran kembali (re-alignment) dengan visi yang telah dikonstruksi sebelumnya, ataupun mengeliminasi tradisi yang tidak adaptif dan tidak luwes terhadap perubahan yang konstan. Penulis melakukan penelitian terhadap gerakan masyarakat pengusung “Jalur Rempah” dengan metode komparasi, pengamatan langsung, pengamatan-terlibat (participant-observation), wawancara mendalam (in-depth interview), analisis deskriptif dan reflektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa, (1) demokratisasi menjadi ruang negosiasi bagi kontestasi gagasan dari masyarakat, korporasi dan negara karena adanya kesetaraan dalam otoritas dan legitimasi; (2) relatifitas mekanisme legitimasi sebagai akibat dari relasi sejajar dan ketiadaan otoritas dominan; (3) adanya siklus legitimasi dua arah (bolak-balik) sebagai konsekuensi dari demokratisasi; dan (4) terjadi pemaknaan bebas atas ideologi yang berorientasi pada pasar. Sebagai kesimpulan, proses rekacipta tradisi dalam rekonstruksi naratif kultural-historis yang terlepas sama sekali dari intervensi otoritas dominan menimbulkan pemaknaan baru yang mereduksi ideologi politis menjadi sangat berorientasi pasar. Dalam iklim demokratisasi, relasi negara dan masyarakat saling tarik-menarik dengan pasar sebagai katalisatornya. Ketika konstruksi naratif kultural-historis mengalami pemaknaan yang berorientasi pada pasar, maka ia akan mengejawantah ke dalam kebijakan populer maupun produk-produk budaya massa olahan industri kreatif yang akan terus-menerus mengalami pemaknaan baru. Alih-alih berupa ideologi yang sangat politis, sejarah nasional kini mampu bertransformasi menjadi konten branding sekaligus konten kurikulum pendidikan, ia bisa lahir kembali dalam filem layar lebar sekaligus konten pidato presiden, pun lahir kembali dalam kebijakan diplomasi budaya sekaligus tema wisata unggulan Kementerian Pariwisata. Dengan kata lain, rekonstruksi sejarah nasional dan redefnisi identitas yang berorientasi pada pasar memberikan warna baru terhadap proses reproduksi nasionalisme. Di saat bersamaan, gerakan masyarakat berbasis komunitas ini turut membangun literasi dan tradisi belajar – meski berada di luar sistem negara.