• Bram Kushardjanto
    Bram Kushardjanto
    Lahir di Jakarta, 18 Mei 1970. Melewati masa anak-anak hingga remaja di Sumatera. Lulus Sekolah Dasar di Pangkalan Susu Sumatera Utara, lulus SMP di kota Dumai, propinsi Riau, lulus SMA di Labschool Rawamangun, Jakarta. Menyelesaikan Sarjana Teknik dan Magister Manajemen di Universitas Trisakti Jakarta. Kini baru memulai studi S3 di Culture Studies Universitas Indonesia. Menggeluti dunia seni pertunjukan secara komersial sejak 1999. Menginisiasi forum pemasaran internasional untuk seni pertunjukan Indonesia di tahun 2004 dan 2005. Menjadi anggota World Coalition of Performing Art Market tahun 2006. Saat ini sedang mencoba untuk melembagakan gagasan baru untuk pemasaran internasional seni pertunjukan bernama Showcase…
Papers

SHOWCASE INDONESIA, Sebuah gagasan sistem pengelolaan bisnis seni pertunjukan Indonesia

2019

Abstraksi

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan terluas dengan tingkat keragaman tertinggi di dunia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika amatlah tepat untuk menggambarkan sebuah negeri berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, yang memiliki 13.466 pulau (semula 17.508), 1.128 suku bangsa, 726 bahasa daerah dan dialek, sekaligus tanah air bagi ratusan kerajaan yang dahulu pernah tersebar di seantero Nusantara. Melampaui keragamannya, Indonesia mampu mengembangkan pluralisme tanpa kehilangan akar tradisinya. Kekayaan budaya yang menjadi asset tak ternilai ini menginspirasi terciptanya banyak mahakarya seni pertunjukan yang muncul baik secara individual maupun komunal sebagai karya kolektif komunitas masyarakat. Namun kesadaran masyarakat terhadap nilai tinggi seni pertunjukan Indonesia tidak dipandang sebagai melalui kacamata ekonomi, namun masih berada di tataran kebudayaan yang lebih bersifat normatif. Jelas disini bahwa pandangan tradisi bahwa seni pertunjukan Indonesia atau kesenian yang berbasiskan tradisi Nusantara ini masih didudukkan sebagai sebuah karya adiluhung yang agung. Ini sebetulnya membuat seni pertunjukan Indonesia terpenjara dalam keagungannya. Padahal, seni pertunjukan Indonesia dari masa ke masa telah mengalami pergeseran atas nilai dan fungsinya. Dari sifat ritual murni, menjadi ritual yang memiliki nilai estetis. Kemudian berangsur memiliki fungsi ganda sekaligus menjadi sarana hiburan. Pun terjadi pada masyarakat apresiatornya yang bergeser dari “jemaat” sebuah ritual menjadi penonton dengan respon apresiasi yang aktif. Dimana dari sini mulai kepuasan penonton terhadap sebuah penampilan mulai dinnilai. Selanjutnya repurchase intention tercipta dan memunculkan pula sebuah pola untuk menjadikannya menjadi sebuah presentasi yang reguler dan berbayar. Polanya kemudian bisa beragam, baik penonton yang membeli tiket untuk menyaksikan sebuah pertunjukan, ataupun seseorang “juragan” yang membayar secara profesional pelaku seni pertunjukan untuk menampilkan karya mereka di depan penonton secara gratis. Perlahan namun pasti cikal bakal industri seni pertunjukan telah muncul secara tradisional. Di masa kini, seniman merupakan salah satu dari sekian banyak profesi riil di lapangan kerja. Seniman muncul ditengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan dalam peningkatan berkelanjutan saat ini. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri musik, film dan media, seniman yang dalam hal ini adalah musisi, penyanyi, pencipta lagu, sutradara, aktor/aktris dan masih banyak lagi – menjadi salah satu pemain penting di dalam sistim industri ini. Pertanyaannya lalu demikian. Apakah seniman-seniman yang disebutkan barusan merupakan bagian dari evolusi panjang seni pertunjukan Nusantara? Ternyata tidak. Bahkan Badan Ekonomi Kreatif pun tidak menempatkan seni pertunjukan di tempat yang sama dengan film dan musik. Kalau begitu bagaimana dengan kesempatan untuk para pelaku seni pertunjukan? Bagaimana dengan kesempatan kerja yang layak dan bagi mereka? Apakah mereka tidak dapat memiliki peluang peningkatan ekonomi? Ternyata sementara ini peluang lapangan kerja yang secara nyata terbuka bagi mereka adalah di sektor pariwisata. Pertanyaan yang berikutnya saya munculkan adalah berapa besar penghasilan yang bisa didapatkan? Dari pengamatan langsung yangv saya lakukan selama 3 tahun terakhir ini panggung Wayang Orang Bharata atau panggung Teater Miss Tjitjih di Jakarta tidak dapat memberikan penghasilan yang layak bagi para seniman yang bekerja disana. Demikian juga Wayang Orang Sriwedari di Solo, dimana seniman panggungnya mendapatkan penghasilan tetap dari statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil, bukan sebagai seniman. Apalagi panggung Ludruk, Ketoprak, Wayang Orang dan Aneka Ria Srimulat di THR Surabaya yang omset perbulan dari seluruh kegiatan pementasan perbulannya jauh dibawah angka Rp. 10.000.000,-. Memang kondisi yang jauh berbeda diperoleh para seniman di Bali dan Yogyakarta. Omset yang sangat besar dinikmati oleh para operator kesenian tradisional di Bali yang menyajikan Barong di setiap pagi dan Kecak di setiap sore/malam. Begitu pula dengan pementasan Ramayana yang digelar di Yogyakarta. Namun pertanyaan berikutnya adalah kreatifitas macam apa yang muncul dari sebuah pertunjukan yang tidak pernah berubah formatnya sepanjang lebih dari 20 tahun? Sedikit sekali dari kita yang mengenal nama-nama kreator seperti Rahayu Supanggah, Sardono W. Kusumo, Eko Supriyanto, Martinus Miroto Samba Sunda, Riau Chamber, Nan Jombang, dan beberapa nama lainnya lagi. Mereka bukanlah nama populer yang sering didengar publik Indonesia. Padahal mereka telah menikmati berbagai foreign currency dengan umlah yang cukup signifikan. Dalam berbagai produksi pentas seni pertunjukan bertaraf internasional, mereka adalah para pencipta karya seni pertunjukan yang memiliki kemampuan penciptaan dengan reputasi dunia. Mereka memiliki “charm” yang mampu menyihir para penonton di pentas-pentas internasional yang sanggup “memaksa” para promotor internasional merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan penampilan mereka di atas panggung gedung-gedung seni pertunjukan bergengsi. Nama mereka berkibar di berbagai Festival Internasional dan Gedung Pertunjukan bertiket mahal. Ironisya hingga kini, masih sangat sedikit para pekerja seni dan budaya yang mengarungi area ini. Padahal dari pengalaman yang telah saya jalani, dampak ekonomi yang dirasakan para pelaku seni pertunjukan ini sangat terasa. Dari beberapa hal yang saya sampaikan, saya kira adalah sebuah keharusan bagi dunia seni pertunjukan Indonesia untuk mulai berfikir kearah sebuah pembentukan sistim pengelolaan pemasaran internasional yang dilaksanakan secara terpadu. Seni pertunjukan Indonesia memiliki kualitas artistik yang sangat tinggi nilai ekonominya. Karya-karya seni pertunjukan Indonesia, sama halnya seperti karya-karya seni rupa memiliki nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Namun permasalahannya sekarang adalah akses informasi. Bagaimana para seniman dan group seni pertunjukan mampu berhubungan dengan para produser, promotor, dan presenter internasional? Dengan adanya internet dan social media, memang kemungkinan untuk mendapatkan kontak internasional menjadi lebih mudah. Namun apakah para seniman tradisi memiliki kepekaan yang komprehensif tentang hal ini? Di beberapa bursa seni pertunjukan internasional, pendekatan dan kontak langsung malah seringkali dianggap jauh lebih efektif. Lalu darimana para pelaku seniman ini mendapatkan akses modal atau sponsor agar bisa memiliki dana yang cukup untuk mendatangi bursa-bursa tersebut? Oleh karenanya, gagasan ini adalah sebuah program bernama Showcase Indonesia, yang merupakan sebuah marketplace bagi hasil-hasil karya seni pertunjukan Indonesia, yang memiliki kualitas tinggi di pentas internasional. Program ini akan melakukan pengelolaan mulai dari proses penciptaan, pemasaran, hingga produksi, yang mana dari keseluruhan proses tersebut diperlukan pengelola yang bukan seniman atau budayawan, melainkan para pekerja manajemen yang di dunia seni pertunjukan sering disebut dengan manajer, produser atau presenter. Showcasse Indonesia akan membuka akses informasi, hingga membantu para pelaku seni pertunjukan berhubungan dengan dunia seni pertunjukan internasional. Showcase Indonesia berusaha menciptakan inovasi di dalam rangka memberikan kesempatan bagi para pelaku seni pertunjukan Indonesia untuk dapat menggapai kesempatan peningkatan ekonomi secara inkusif dan berkelanjutan melalui sebuah sistim perkembangan yang natural namun progresif dan tetap mengedepankan fairness dalam pola ethical benefit sharing.

Komentar
--> -->