Abstraksi
Sekarang ini, sektor industri media dan kreatif sedang digencarkan dalam pasar persaingan global. Dalam upaya mengembangkan strategi pemanfaatan peluang yang dihadirkan era ekonomi digital atau revolusi industri 4.0, pemerintahan Indonesia pun sudah mulai mempromosikan sektor industri media dan kreatif sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Sektor manufaktur sendiri dianggap belum menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi utama setidaknya dalam hal penciptaan lapangan kerja (IDF, 2019). Kendati demikian, upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi padat pekerja di sektor-sektor yang bernilai tambah tinggi dan sumber-sumber pertumbuhan baru seperti ekonomi kreatif dan ekonomi digital perlu diiringi dengan perbaikan iklim ketenagakerjaan terutama pekerja di industri media dan kreatif agar dapat mendorong produktivitas tenaga kerja. Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kami berupaya membangun narasi inklusif, progresif dan berkelanjutan melalui perspektif pekerja. Sebab, upaya Indonesia dalam mempercepat transformasi struktural perlu diiringi dengan kesejahteraan pekerja dengan mereformasi aturan ketenagakerjaan untuk mendorong produktivitas, khususnya di era industri 4.0 ini. Kesejahteraan pekerja kognitif sebagai motor perkembangan ekonomi digital nyatanya masih belum terpenuhi akibat pola relasi kerja yang fleksibel. Dengan melihat permasalahan ini diperlukan adanya narasi yang dibangun dari perspektif pekerja melalui gerakan pekerja kognitif industri media dan kreatif yang pada akhirnya dapat membantu terciptanya percepatan transformasi struktural dalam menciptakan lapangan kerja baru dan layak. Seiring dengan perkembangannya pun kebijakan yang menekankan pada sektor digital dan kreatif lebih dapat mendorong terciptanya lapangan kerja serta keuntungan apabila dibandingkan dengan sektor manufaktur (Howkins, 2002). Karena tingginya potensi dan peluang ekonomi tersebut maka diperlukan pekerja dengan jumlah yang sangat banyak sebagai komoditas utama dari industri media dan kreatif di era ekonomi digital. Dalam melihat pola relasi kerja, perlu ditekankan bahwa kelas pekerja tidak sekadar merujuk pada pekerja pabrik manufaktur. Mereka yang bekerja di sektor industri media dan kreatif juga diklasifikasikan sebagai kelas pekerja. Munculnya gerakan kelas pekerja tidak terlepas dari adanya proses kerja dan pola relasi kerja yang dianggap bermasalah. Pekerja kognitif sebagai pekerja di industri media dan kreatif tetap menjadi kelompok subordinat dalam pola relasi kerja yang ada. Cepatnya alat kerja teknologi digital dalam melakukan distribusi komoditas dan rendahnya modal produksi membuat pemberi kerja dan juga konsumen tetap memiliki posisi daya tawar yang lebih besar daripada pekerja kognitif. Konsep kreatif yang berkualitas tinggi milik pekerja lepas—sebagai pekerja kognitif—ini akan cenderung tidak diterima oleh penerima jasa atau pemberi kerja apabila harga yang ditawarkan terlalu tinggi. Pemberi kerja akan mencari pekerja kognitif lain yang dinilai mampu memenuhi kebutuhan pemberi kerja (Pitts, 2018: 94). Di sisi lain, atas dasar kebutuhan para pekerja lepas untuk bertahan hidup, pekerja lepas pada akhirnya memasang harga sesuai permintaan pemberi kerja. Pola hubungan kerja yang fleksibel ini juga dinilai lebih baik bagi para pekerja kognitif karena konsep yang ditawarkan oleh fleksibilitas kerja adalah liberalisasi kerja. Bahwa pekerja lah yang memiliki otonomi atas pilihan kerjanya lain halnya dengan pekerja manufaktur ataupun pegawai (Alacovska, 2018). Adanya pola relasi kerja fleksibel membuat semakin intensnya proses kerja yang berimplikasi pada ketidakjelasan jam kerja (Koroma dan Vartiainen, 2018). Dengan pola kerja baru semacam ini terdapat kecenderungan represif kepada pekerja yang pada akhirnya membuat alienasi dan atomisasi dari pekerjanya tidak dapat terhindarkan, pola kerja yang ada bukan lagi fleksibilitas melainkan kerentanan. ndustri media dan kreatif sendiri menjadi salah satu sektor potensial di Indonesia terutama dalam segi pekerjanya. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah pekerja industri kreatif di tahun 2016 berjumlah 16,91 juta pekerja kreatif (Bekraf, p. 19). Banyaknya jumlah pekerja kreatif di Indonesia berada pada usia yang produktif menjadi potensi tersendiri sehingga pada tahun 2015 melalui Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2015 dibentuklah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) oleh Presiden Joko Widodo sebagai payung dari kebijakan ekonomi kreatif. Secara umum, kebijakan industri kreatif bertujuan menjadikan sektor kebudayaan dan media menjadi sektor industri baru dalam bersaing pada pasar persaingan global di era Pasca-Industri. Dibentuknya peraturan Presiden No. 72 Tahun 2015 membuat pemaknaan ekonomi kreatif sebagai penciptaan nilai tambah yang berbasis kreativitas dengan mengklasifikasikan produk-produk ekonomi kreatif kedalam 16 subsektor. Ekonomi kreatif menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global (Bekraf.go.id). Urgensi dari adanya ekonomi kreatif itu sendiri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan karena ide dan kreativitas merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui. Ekonomi kreatif merupakan sektor yang dapat menciptakan produk dan karya dengan nilai tambah yang tinggi dengan sumber daya yang terbatas (Bekraf, p. 10). Dalam merespon pola relasi kerja yang fleksibilitas menghadapkan para pekerja kognitif terhadap kerentanan, pekerja kreatif pun membentuk satu rangkaian program atau kegiatan pengorganisasian kerja di bawah SINDIKASI sebagai organisasi pekerja kognitif di industri media dan kreatif. SINDIKASI sendiri telah secara resmi terbentuk pada tahun 2017. SINDIKASI merujuk dirinya sebagai sebuah wadah kolektif yang salah satunya dibentuk untuk menjadi suara bersama dalam menciptakan ekosistem kerja yang manusiawi dan berkeadilan. SINDIKASI berupaya menyelenggarakan serangkaian kegiatan seperti Kelas Akhir Pekan, Duduk-Duduk di Taman dan #infoSINDIKASI serta melakukan advokasi terhadap isu-isu di tempat kerja. Beberapa program yang digaungkan oleh SINDIKASI merupakan suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan reproduksi yang dibutuhkan oleh pekerja kognitif. Tim peneliti meyakini bahwa serikat pekerja industri media dan kreatif serta gerakan yang mendemokratiskan hubungan kerja bagi para pekerja terutama dalam Revolusi Industri 4.0 ini sangatlah penting karena dapat membantu memberikan solusi peningkatan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang berkualitas, dan mempersiapkan pasar kerja di era industri 4.0 yang semuanya dimulai dengan reformasi aturan ketenagakerjaan yang baik dan tepat. Oleh karenanya, tim peneliti berupaya menjawab pertanyaan: bagaimana respon SINDIKASI sebagai gerakan pekerja kognitif industri media dan kreatif terhadap revolusi industri 4.0 dan isu fleksibilitas kerja di Indonesia?