• Tadzkia Nurshafira
    Tadzkia Nurshafira
    has been working as research assistant in the Programme on Humanitarian Action, Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada since early 2017. She obtained her bachelor degree in 2017 from the Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada. Her area of interests cover political ecology, politics of global environmental change, critical development studies, international relations theory, and economic-social rights.
Papers

Melindungi yang Rentan: Evaluasi Kebijakan bagi

2019

Abstraksi

Perkembangan penggunaan teknologi informasi yang masif pada era disrupsi ekonomi atau industri 4.0 mendorong adanya perubahan bentuk bisnis konvensional menjadi bisnis-bisnis baru berbasis teknologi dengan karakteristik khas. “Efisiensi”, “fleksibilitas” dan “praktis” menjadi ciri khas utama yang menormalisasi penggunaan teknologi pada era ini. Dalam konteks ini, era perkembangan teknologi seringkali dipahami sebagai momentum yang dapat membuka berbagai peluang lapangan kerja untuk masyarakat Indonesia. Kemudahan yang diberikan oleh teknologi membuat pekerjaan semakin mudah dan cepat untuk didapatkan oleh berbagai kalangan. Hal ini sesuai dengan momentum bonus demografi dan juga Masyarakat Ekonomi ASEAN yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. Dalam arti lain, penggunaan teknologi memberikan cara bagi Indonesia untuk menyiasati tantangan-tantangan ekonomi yang muncul pada momentum tersebut. Penggunaan teknologi dan internet yang semakin intens di era ini menandai corak “ekonomi gig”. Ekonomi gig dapat dipahami sebagai bentuk perekonomian yang ditandai dengan maraknya pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya on-demand, dan dilakukan oleh pekerja-pekerja tidak tetap yang lebih fleksibel--atau yang disebut dengan pekerja gig. Pekerja gig adalah para pekerja yang diharuskan untuk menyelesaikan satu pekerjaan spesifik tertentu, pada waktu dan tempat yang telah disepakati sebelumnya. Supir-supir layanan taksi dan ojek non-konvensional berbasis daring merupakan salah satu jenis dari pekerja gig--dan akan menjadi fokus bahasan dalam makalah ini. Meski dapat memperluas kesempatan kerja secara signifikan, era ini banyak kerentanan bagi para pekerja gig. Digitalisasi dan otomatisasi sebagai ciri khas industri 4.0 tidak hanya berdampak pada perubahan cara berbisnis, namun juga pada hak dan kewajiban ketenagakerjaan, hubungan industrial, interaksi antar masyarakat, serta keberlanjutan sistem jaminan sosial. Perubahan ini memberikan akses pekerjaan yang lebih mudah dan cepat bagi masyarakat. Namun, perubahan ini tidak selalu diimbangi dengan jaminan sosial-ekonomi yang memadai, terutama karena pekerja gig seringkali tidak dapat dikategorikan sebagai “tenaga kerja” seperti yang dipahami dalam UU Ketenagakerjaan yang ada. Kenyataan tersebut menyebabkan perlindungan yang didasari pada aspek teknis saja tidak cukup memadai. Membicarakan isu terkait upah minimum dan tarif atas dan bawah tidak akan secara menyeluruh dapat mengurangi kerentanan kepada para pekerja gig, jika fitur lain seperti fleksibilitas dan relasi berbasis "kemitraan kerja" tidak ikut dibahas di dalamnya. Dengan kata lain, perlindungan di level teknis tersebut kurang sensitif terhadap relasi kuasa dan posisi tawar rendah yang dimiliki oleh pekerja. Negara harus mampu menciptakan skema perlindungan sebagai bentuk kesejahteraan bagi para pekerja gig tersebut. Merujuk pada UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi prioritas utama yang harus digunakan dalam menciptakan kebijakan publik di Indonesia. Kekeluargaan dan kemakmuran bersama seharusnya menjadi asas yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. RPJP 2005-2025 dan RPJMN 2015-2019 lebih jauh menegaskan upaya Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan berkelanjutan dengan mengurangi jumlah pekerja rentan secara berarti, terutama dari kalangan rakyat marjinal. Karenanya, keberadaan skema perlindungan yang dilembagakan menjadi penting untuk mengukur sejauh apa Indonesia berkomitmen dalam memberikan kesejahteraan bagi para masyarakatnya yang bekerja di era disrupsi ekonomi. Berdasarkan penjelasan di atas, makalah ini berupaya menjawab: sejauh mana kebijakan Indonesia saat ini mampu memberikan perlindungan atau meminimalisir kerentanan dari para pekerja gig, khususnya di sektor transportasi daring? Bagaimana bentuk kerangka kebijakan yang lebih relevan dan inklusif dan mampu melindungi pekerja gig? Guna menganalisis kebijakan yang mengatur praktik ekonomi gig di Indonesia, diperlukan kerangka konseptual yang mampu memahami mengapa suatu kebijakan dibentuk dan diberlakukan serta siapa dan apa saja yang mempengaruhi proses kebijakan. Sehubungan dengan kebutuhan ini, konsep jejaring kebijakan (policy networks), khususnya yang menggunakan pendekatan dialektis, menjadi relevan. Jejaring kebijakan merupakan serangkaian keterkaitan, baik yang bersifat formal maupun informal, antara pemerintah dan aktor-aktor lain—yang terstruktur di sekitar kepentingan dan persepsi yang terus-menerus dinegosiasikan—di dalam pembentukan dan penerapan kebijakan publik (Rhodes, 2006: 426). Jejaring kebijakan perlu dipahami secara dialektis, yakni bahwa terdapat hubungan antara dua variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain secara terus-menerus. Dalam kasus ini, terdapat dua jenis hubungan jejaring kebijakan yang akan dibahas, yakni hubungan antara: (1) struktur dan agensi, serta (2) jejaring dan konteks (Marsh dan Smith, 2000). Pada jenis hubungan yang pertama, jejaring merupakan sekumpulan struktur yang menciptakan desakan dan/atau kesempatan bagi tindakan agen-agen atau aktor di dalamnya. Jejaring kebijakan bersifat struktural karena ia mendefinisikan peran dan respon yang dilakukan oleh aktor-aktor di dalamnya; menentukan isu yang dibahas dan cara-cara pembahasannya; dan memiliki serangkaian aturan main tertentu. Dalam jejaring terjadi institusionalisasi persepsi, nilai, kebudayaan, dan bentuk-bentuk perilaku, sehingga dapat membentuk sekaligus merutinkan sikap dan perilaku tertentu. Selain itu, adanya nilai dan ideologi bersama juga mempengaruhi agenda kebijakan. Jejaring, sebagaimana institusi dan proses politik lainnya, merefleksikan relasi kekuasaan di antara berbagai agensi di dalamnya yang memiliki kepentingan yang saling berkontestasi. Relasi kekuasaan antar berbagai agen ini turut mempengaruhi hasil jejaring kebijakan. Karenanya, tindakan agen tidak hanya dipengaruhi oleh struktur jejaring, melainkan juga bergantung pada konstruksi diskursif atau persepsi yang dimiliki agen tersebut dalam memaknai desakan dan/atau kesempatan yang diciptakan struktur. Karenanya, agen juga dapat mengubah jejaring struktur. Kedua, yaitu hubungan antara jejaring dan konteks dimana jejaring tersebut berada. Jejaring kebijakan dipengaruhi, sekaligus mempengaruhi, konteks yang lebih besar di masyarakat. Konteks ini, karenanya, mempengaruhi ketersediaan dan/atau distribusi sumber daya serta kepentingan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Terdapat setidaknya empat konteks yang dapat menimbulkan perubahan ataupun mempertahankan struktur suatu jejaring, yakni konteks ekonomi, ideologis, politik, dan pengetahuan. Keempat konteks inilah yang kemudian turut menciptakan desakan, hambatan, maupun kesempatan bagi tindakan aktor di dalam struktur jejaring. Terdapat dua argumen yang berusaha dibuktikan: Pertama, kebijakan yang dimiliki pemerintah Indonesia sejauh ini belum mampu melindungi dan menjamin kesejahteraan bagi pekerja gig. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (1) belum ada aturan dan mekanisme untuk melindungi pekerja gig, maupun mengatur relasi antar berbagai pemangku kepentingan di dalam ekonomi gig supaya peka terhadap kesejahteraan pekerja gig; (2) negara memiliki logika “nasionalisme ekonomi” yang berkaitan dengan agenda pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Logika ini terlalu berfokus pada kesejahteraan di level makro/nasional. Kedua, kerangka kebijakan perlindungan terhadap pekerja gig perlu untuk memperluas dan mencairkan definisi “pekerja” agar pekerja gig bisa terdefinisi dengan baik dan juga sensitif terhadap spektrum kerentanan pekerja gig dengan memperhatikan latar belakang sosial-ekonomi, motivasi pekerjaan, dan alternatif pekerjaan lain. Kerangka kebijakan tersebut juga harus memiliki perspektif yang sensitif terhadap kesejahteraan di level mikro, bukan hanya secara agregat.

Komentar
--> -->