Abstraksi
Pendahuluan Pasar rakyat menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan proses jual beli Barang melalui tawar-menawar. Istilah pasar rakyat muncul menggantikan pasar tradisional dengan tujuan memberikan narasi bahwa pasar rakyat memiliki kemampuan untuk melakukan modernisasi dalam aspek infrastruktur fisik, tata kelola, bisnis, dan lain-lain. Penyebutan pasar rakyat dalam UU Perdagangan tersebut sekaligus menunjukkan pengakuan dari negara bahwa pasar rakyat memiliki posisi strategis di Indonesia. Badan Pusat Statistik pada tahun 2018 merilis publikasi berjudul Profil Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang menyebutkan data-data mengenai tiga sarana perdagangan yakni pasar rakyat, pusat perbelanjaan, dan toko modern. Pasar rakyat berjumlah 14.182 unit, pusat perbelanjaan sebanyak 708 unit dan toko swalayan sebanyak 1.131 unit. Jumlah pedagang pada tiga sarana perdagangan tersebut adalah 2.541.222 di pasar rakyat, 172.968 di pusat perbelanjaan, dan 32.035 di toko modern. Data-data ini semakin meneguhkan bahwa pasar rakyat memiliki peran penting di Indonesia. Peran strategis pasar rakyat antara lain adalah (1) sebagai tumpuan hidup bagi jutaan pedagang; (2) sebagai jalur distribusi barang khususnya kebutuhan pokok; (3) salah satu tempat rujukan dalam menentukan tingkat harga; dan (4) sebagai tempat untuk melakukan dan melestarikan interaksi sosial budaya dalam masyarakat. Pasar rakyat yang memiliki posisi penting tersebut sedang menghadapi tantangan baik dari luar maupun dari dalam. Tantangan dari luar pasar antara lain berupa kebijakan pemerintah dan maraknya sarana perdagangan lain seperti pusat perbelanjaan, toko swalayan (toko modern), dan online shop. Tantangan dari dalam berupa infrastruktur, jejaring, model bisnis, kelembagaan, dan kualitas sumber daya manusia. Makalah ini secara khusus membahas tentang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di pasar rakyat. Modal manusia merupakan faktor utama dalam upaya pengembangan pasar rakyat baik secara individu maupun kolektif. Penulis dan lembaga tempat penulis bekerja telah berkecimpung dalam kegiatan pengembangan modal manusia di pasar rakyat sejak tahun 2011 melalui program Sekolah Pasar Rakyat. Kondisi Umum Modal Manusia di Pasar Rakyat Tingkat pendidikan pedagang pasar rakyat adalah 32% berpendidikan kurang dari SMA; 59% SMA/SMK; 2% Diploma I/II/III; dan 7% Diploma IV/S1 ke atas (BPS, 2018). Kondisi tersebut selaras dengan hasil studi yang dilakukan Awan Santosa, dkk (2011). Di Provinsi DIY, tingkat pendidikan pedagang pasar rakyat di DIY berturut-turut adalah 10% tidak sekolah; 24 % Sekolah Dasar; 18% SMP; 46% SMA; dan 2% perguruan tinggi. Data-data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang pasar rakyat berpendidikan hingga tingkat SMA. Kondisi ini berdampak pada lemahnya inovasi yang dilakukan. 67% pedagang mengaku melakukan inovasi. Namun inovasi yang dilakukan masih sangat terbatas berupa menambah barang dagangan, memasang spanduk, dan pindah lokasi. Inovasi berupa promosi hanya dilakukan oleh 6% pedagang. Salah satu penyebab kurangnya inovasi adalah penguasaan teknologi. Dua teknologi terbesar yang digunakan oleh pedagang adalah kalkulator (38%) dan timbangan (28%). Pemerintah melalui program revitalisasi pasar rakyat menyadari kondisi tersebut. Revitalisasi pasar rakyat dilaksanan bukan semata pada pembenahan infrastruktur fisik namun juga melalui pengembangan manusia. Kegiatan-kegiatan pelatihan telah dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) dalam upaya mengembangkan kapasitas pedagang. Namun upaya ini masih belum mampu mencapai hasil yang optimal. Di Provinsi DIY, 91% pedagang dan 90% pengecer mengaku belum pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan (Awan Santosa, dkk, 2011). Kurang optimalnya kegiatan pelatihan dari pemerintah setidaknya disebabkan oleh dua alasan. Pertama, kegiatan bersifat jangka pendek (hanya dilakukan dua sampai tiga hari). Kedua, pelatihan kurang melibatkan partisipasi dari pedagang (bersifat top down). Hal ini menyebabkan tidak adanya keberlanjutan setelah pelatihan dilakukan. Pelatihan pada akhirnya sekedar menjadi kegiatan rutin dari pemerintah tanpa disertai perluasan capaian. Partisipasi aktif pedagang seharusnya menjadi bagian penting dalam program pelatihan (pemberdayaan). Uji coba pemberdayaan dengan pendekatan partisipatif telah dilakukan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PSEK UGM) melalui program Sekolah Pasar Rakyat. Sekolah Pasar Rakyat: dari Pasar Rakyat Merebut Kedaulatan (PSEK UGM, 2013) memaparkan pengalaman melakukan pemberdayaan di tiga pasar rakyat. Diskusi, pendampingan teknis, perbincangan informal yang dijalankan dalam waktu panjang dan intensitas tinggi dengan keterlibatan aktif pedagang mampu memunculkan kesadaran dari pedagang terkait kebutuhan peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas modal manusia menjadi modal awal untuk masuk ke tahapan berikutnya yakni kelembagaan pedagang. Program Sekolah Pasar Rakyat sampai saat ini telah diujicobakan di 10 pasar rakyat. Hempri Suyatna, dkk (2013) menyebutkan bahwa kapasitas modal manusia sangat menentukan kualitas pasar rakyat. Pasar Imogiri di Kabupaten Bantul Provinsi DIY menjadi salah satu contoh tentang peran modal manusia di pasar rakyat. Pedagang di Pasar Imogiri mampu melakukan berbagai perencanaan pengembangan yang berujung pada peningkatan kualitas pasar. Upaya peningkatan kapasitas modal manusia perlu diletakkan dalam rencana besar model tata kelola pasar rakyat. Hal ini penting dilakukan agar terjadi keberlanjutan dalam proses peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas modal manusia juga harus mempertimbangkan aspek nilai dan budaya lokal. Samodra Wibawa, dkk (2018) memaparkan bahwa nilai dan budaya lokal memberikan pengaruh besar terhadap cara pandang dan cara pikir pedagang pasar. Menihilkan aspek ini akan menyebabkan pedagang dan pasar tercerabut dari masyarakat yang dalam jangka panjang akan memperlemah posisi pasar rakyat. Kesimpulan dan Rekomendasi Peningkatan kapasitas modal manusia di pasar rakyat setidaknya perlu memperhatikan tiga aspek. Pertama, partisipasi aktif dari pedagang. Kedua, diletakkan dalam suatu model tata kelola pasar rakyat. Ketiga, memperhatikan nilai dan budaya lokal. Dengan demikian dibutuhkan kebijakan yang komprehensif dari pemerintah pusat dan daerah dalam memandang dan mengembangkan pasar rakyat khususnya dalam hal peningkatan kapasitas modal manusia. Revitalisasi infrastruktur fisik harus disertai dengan revitalisasi modal manusia.