Abstraksi
Sistem pendidikan memiliki peran penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia. Pada era globalisasi, dengan banyaknya perjanjian perdagangan antarbangsa dan tantangan era Revolusi Industri 4.0, keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi penting agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain. Dalam jangka panjang, sumber daya manusia berkualitas akan mampu mendukung pembangunan Indonesia yang berkelanjutan, sesuai target pencapaian tujuan keempat Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, serta mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua. Mengingat sumber daya manusia yang berkualitas lahir dari pendidikan yang berkualitas, Pemerintah Indonesia merancang sebuah program andalan untuk mencetak guru-guru andal yang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG). Guru dianggap sebagai agen perubahan utama dalam sistem pendidikan sehingga kualitas guru akan mencerminkan kualitas pendidikan. Pada 2017, desain dan implementasi PPG mengalami pembaruan. Program PPG, khususnya PPG Prajabatan, menjadi program pendidikan untuk calon guru yang diselenggarakan selama satu tahun sebagai tambahan dari program sarjana yang telah ditempuh sebelumnya. Mengingat pentingnya pelaksanaan PPG dalam reformasi pendidikan nasional, kajian mengenai penyusunan kurikulum serta pelaksanaan PPG sangat perlu dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Program RISE di Indonesia (RISE) ini berusaha melihat sejauh mana desain dan implementasi PPG dapat menghasilkan calon guru berkualitas dan berkompeten. Studi ini menggunakan kerangka CATE (Coherence and Assignments in Teacher Education) dan merupakan bagian dari studi longitudinal dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif terhadap Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), penyelenggara PPG (lembaga pendidikan tenaga kependidikan/LPTK), sekolah mitra, dan mahasiswa PPG. Studi dilakukan di tujuh LPTK di Pulau Jawa. Hasil awal studi menunjukkan bahwa desain kurikulum PPG belum menyasar secara spesifik penguasaan atas kompetensi utama yang harus dimiliki oleh guru, meskipun penyusunan kurikulum PPG telah melibatkan ahli pendidikan keguruan dari LPTK nasional ternama. Hasil analisis pemetaan kurikulum PPG berdasarkan kompetensi yang harus dikuasai guru menunjukkan bahwa desain PPG belum efektif dalam membentuk kualitas guru yang diharapkan. Selain itu, kurikulum PPG masih bersifat umum dan belum disertai panduan yang bersifat operasional. Akibatnya, penerjemahan desain PPG oleh LPTK selaku penyelanggara PPG belum maksimal. Pada tahap implementasi, LPTK penyelenggara PPG memiliki kualitas yang berbeda-beda. Hasil wawancara mendalam dengan LPTK menunjukkan bahwa tidak tersedianya panduan operasional PPG mengakibatkan penerjemahan desain PPG oleh LPTK menjadi sangat tergantung pada kondisi dan sumber daya di tiap-tiap LPTK. Analisis hasil wawancara juga meliputi proses seleksi mahasiswa peserta PPG, penugasan dosen, pelaksanaan kegiatan pengembangan karakter, dan kendala yang dihadapi. Berbagai hal kontekstual ini menyebabkan LPTK melakukan modifikasi terhadap desain PPG dari Kemenristekdikti. Dari segi pembentukan kualitas guru, mahasiswa peserta PPG menganggap program tersebut berkontribusi terhadap peningkatan kualitas guru, terutama dalam kemampuan pedagogis dan pemahaman terkait profesionalisme. Namun, tidak demikian halnya dalam kompetensi profesional yang berkaitan dengan penguasaan materi dan cara belajar siswa; mahasiswa merasa tetap belum menguasai komponen ini walaupun telah menyelesaikan program sarjana kependidikan dan PPG. Di sisi lain, sebagian besar mahasiswa peserta PPG menyatakan tidak ada perkembangan yang signifikan pada kompetensi sosial dan kepribadian mereka setelah mengikuti PPG. Mereka menganggap telah menguasai kedua kompetensi tersebut sejak lulus program sarjana kependidikan. Pernyataan ini juga didukung oleh hasil wawancara RISE dengan sejumlah LPTK yang mengindikasikan bahwa desain program PPG terkesan belum serius untuk meningkatkan kompetensi sosial dan kepribadian calon guru. Berdasarkan temuan tersebut, perlu adanya telaah terhadap kurikulum PPG. Sebagai program keprofesian, kurikulum PPG sebaiknya tidak parsial atau berdiri sendiri, melainkan terintegrasi secara komprehensif dengan kurikulum sarjana kependidikan sehingga dapat secara efektif menghasilkan guru berkualitas seperti yang diharapkan. Selain itu, perlu ada kajian mengenai definisi dan indikator terkait kualitas yang harus dikuasai oleh seorang guru dan dalam kaitannya dengan standar kurikulum dan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan demikian, pemerintah dapat memperbaiki dan merancang program pendidikan guru yang lebih efektif untuk meningkatkan kualitas guru. Asumsi terhadap kualitas guru ini tidak hanya akan memengaruhi reformasi pendidikan guru, tetapi juga perumusan kebijakan dan anggaran terkait pendidikan secara lebih luas.