Abstraksi
Setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan yang layak tanpa melihat perbedaan status ekonomi, sosial, budaya dan politik, baik kaum mayoritas maupun baik minoritas atau marginal. Penyandang disabilitas pendengaran (tunarungu/tuli, tunawicara/bisu dan kurang dengar) merupakan salah satu minoritas di tengah masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah disabilitas pendengaran dan komunikasi di Indonesia usia diatas 10 tahun sekitar 10.060.000 jiwa. Kesempatan disabilitas pendengaran untuk mendapat pekerjaan sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat mendengar (hearing ability). Perlindungan terhadap hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi disabilitas pendengaran di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Akses terhadap pilihan pekerjaan disabilitas pendengaran masih sangat terbatas. Padahal disabilitas pendengaran merupakan aset negara bidang SDM yang mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagaimana manusia mendengar. Potensi yang dimiliki disabilitas pendengaran dapat dikembangkan sesuai talentanya. Penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Pelatihan, Sertifikasi dan Penempatan Kerja bagi penyandang disabilitas bapak Agus Gumiwang Kartasasmita Menteri Sosial RI dan bapak Airlangga Hartarto Menteri Perindustrian RI tanggal 27 Desember 2018, menyampaikan bapak Joko Widodo Presiden RI terhadap penyandang disabilitas yang jumlahnya diperkirakan hampir 9 % dengan diterbitkannya UU No. 8 tahun 2016 yang mana isinya sebagai berikut adalah : 1) minimal 1 % ( satu persen) harus dipekerjakan di sektor swasta, dan 2) minimal 2 % (dua persen) harus dipekerjakan di sektor pemerintah/negara. Seperti yang disampaikan disampaikan oleh Presiden RI kepada Menteri Sosial RI bahwa "Negara harus hadir walaupun penyandang disabilitas hanya satu orang di negara ini." Acara ini penandatanganan Nota Kesepahaman ini juga dihadiri lebih dari 10 pengusaha-pengusahanya di perusahaan termasuk yang sudah mempekerjakan disabilitas bahkan sudah ada disabilitas pendengaran yang bekerja setingkat Supervisor yang mana sudah bisa memberikan pengarahan kerja kepada rekan-rekan sekerja, baik itu disabilitas pendengaran (hearing disability) dan orang mendengar (hearing ability). Pengalaman penulis pernah memberikan cara mengakses pekerjaan bagi disabilitas pendengaran pada perusahaan yang dilakukan oleh Sehjira Foundation sebagai role model, yaitu : 1) sosialisasi dan advokasi kepada perusahaan-perusahaan yang sesuai potensi disabilitas pendengaran melalui tatap muka dan tidak langsung (email, whatsapp, sms), 2) membuat nota kesepahaman mitra kerjasama dengan perusahaan untuk merekrut pekerja disabilitas pendengaran, 3) pengadaan training cara berinteraksi etika pekerjaan disabilitas pendengaran bagi petugas perusahaan (karyawan HRD, Logistik dan sebagainya), 4) menyebarkan informasi menyalurkan lowongan kerja disabilitas pendengaran di perusahaan, dan 5) penerimaan pekerja disabilitas pendengaran diperusahaan. Kelima cara mengakses tersebut yang menjunjung dapat dilihat dari pemahaman awal perusahaan mengenai pekerja disabilitas pendengaran. Bahkan juga menjunjung asas keadilan dan kesetaraan dimana seluruh karyawan digaji berdasarkan UMP/UMR dan kinerja mereka selama bekerja. Perusahaan juga mengakui dan menghargai keuntungan potensi yang diperoleh karyawan disabilitas pendengaran seperti kepribadian yang baik, ketrampilan kerja khusus, meningkatkan penjualan produk, menciptakan lingkungan kerja yang ramah (bangunan perusahaan yang sudah diakses) dan meningkatan citra perusahaan..