• Gelar Riksa Abdillah
    Gelar Riksa Abdillah
    Pengajar sekaligus peneliti lepas, berfokus pada isu-isu pendidikan kontemporer. Memiliki minat tinggi dalam pendidikan non-formal, pendidikan individual, dan self-development. Mendirikan Yayasan Negeri Senyum yang berfokus pada pendidikan alternatif dan lembaga pengembangan potensi individual.
Ideas

Industri Tidak Berhak Memerangkap Pendidikan Kita

2019

Pada abad ke 17 sampai ke 18 mesin uap menggantikan otot-otot di Inggris, segalanya berjalan menjadi begitu cepat, butuh lebih banyak orang untuk mengoperasikan mesin-mesin dan menjalankan segala tugas administrasi termasuk menulis surat dan menghitung pemasukan. Akibatnya, sekolah atau pendidikan memiliki sebuah tujuan yang sangat pragmatis, yaitu mencetak manusia-manusia yang siap pakai untuk memutar roda-roda industri.

Maka dibuatlah sebuah sistem di mana setiap anak yang pergi ke sekolah akan mampu berhitung cepat dan menulis bagus ketika mereka lulus. Semua bentuk pendidikan dilaksanakan dalam suasana yang seperti pabrik, di mana guru sebagai mandornya dan para murid sebagai pekerjanya. Sayangnya, bahkan ketika industri sudah berevolusi dan pemenuhan kebutuhan ekonomi telah hadir dalam beragam pilihan yang nyaris tak terbatas, sekolah dan pendidikan masih saja sama seperti itu, termasuk di Indonesia.

Mengutip Noam Chomsky, dalam sebuah wawancara ia menyampaikan bahwa pendidikan sekarang adalah sebuah proses indoktrinasi secara dalam terhadap alam pikiran manusia. Hal ini menyimpang jauh dari apa yang pernah ia sebut ‘kebebasan dan kesetaraan’ sebagai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Senada dengan hal tersebut, Ki Hajar Dewantara—yang kita sebut—bapak pendidikan kita juga menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah merawat kemampuan kodrati anak untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dengan menyediakan ruang untuk berpikir seluas-luasnya. Makna yang dalam tersebut direduksi menjadi pemenuhan kebutuhan ekonomi seseorang.

Secara singkat, pendidikan sekarang tidak lebih dari sebuah komoditas untuk bisa memenuhi hasrat perindustrian. Pameo “memanusiakan manusia” dalam pendidikan seolah sudah kalah oleh pertanyaan “kalau saya sekolah di sana saya bisa jadi apa?”

Hal ini ditambah pelik dengan ungkapan dari beberapa petinggi kita tentang mengintegrasikan pendidikan dan industri. Seperti yang dikatakan oleh Mendagri, Hanif Dhakiri, tentang universitas yang harus menyiapkan mahasiswa siap bergabung dengan industri karena kebutuhan SDM kian spesifik. Sayangnya, yang dimaksud dengan industri di sini bukanlah industri secara luas, melainkan secara khusus industri yang bersifat manufaktur dan membutuhkan produksi besar-besaran. Artinya para lulusan universitas harus bersiap-siap untuk menjadi sekrup dan mur sebuah sistem besar yang menghidupi kapitalis.

Semua itu ditengarai karena cabang ilmu non-eksakta diperkirakan tidak akan bisa memenuhi jumlah SDM yang dibutuhkan dalam proses perkembangan industri ke depannya. Hal tersebut didukung dengan data dari Kementerian tenaga kerja yang mencantumkan lulusan jurusan IPS mengalami tingkat pengangguran sebesar 21%. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi kedua setelah jurusan peternakan (2010).

Tentu saja naif bila kita mengatakan bahwa pendidikan dan industri tidak berhubungan sama sekali, yang menjadi masalah adalah pragmatisme pendidikan itu sendiri. Pendidikan dimaksudkan membekali manusia untuk bisa berpikir secara mandiri dan kritis, setidaknya itu yang sedang diupayakan dalam praktik penerapan kurikulum 2013 di sekolah-sekolah. Kesulitan yang dihadapi adalah mindset orang tentang kerja itu sendiri, sampai saat ini setidaknya menjadi PNS, pegawai BUMN, atau karyawan perusahaan multinasional masih menjadi pilihan favorit. Padahal, dengan kemajuan teknologi dan revolusi industri ini tentu saja akan menghilangkan beberapa slot pekerjaan lama. Sesuai hukum Darwin, yang bertahan bukanlah yang kuat, melainkan yang mampu beradaptasi.

Dahulu kita harus punya modal besar untuk mendirikan sebuah hotel, sekarang dengan satu buah kamar tak terpakai kita bisa mendaftarkan akun di situs bed and breakfast untuk disewakan. Contoh lain, dahulu tidak pernah ada yang namanya profesi youtuber, sekarang semua orang berlomba-lomba untuk membuat konten di Youtube dan mengumpulkan rupiah dari adsense. Artinya, industri harus dimaknai bukan hanya sebatas pabrik dan manufaktur, melainkan juga gig-economy dan industri kreatif.

Peran Pendidikan Vokasional

Belakangan, pemerintah mulai lebih memprioritaskan sekolah vokasional (SMK), tujuannya tidak lain adalah untuk mendukung kesiapan tenaga kerja dan mengurangi tingkat pengangguran. Hal ini tentu saja harus dibarengi dengan kepekaan terhadap perubahan arah industri yang ada, sehingga anak-anak SMK yang sejak awal berniat untuk bekerja selepas sekolah tidak kebingungan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, arah industri sekarang tidak hanya berpusat pada mesin-mesin dan produksi kasar, melainkan juga pada industri yang mengandalkan kemampuan berpikir manusia. Laporan pemerintah mengenai kebijakan pendidikan vokasional Indonesia (2017) mengemukakan empat industri teratas yang akan sangat membutuhkan SDM di masa depan adalah; agro industri, pariwisata, kelautan, dan industri kreatif. Pertanyaannya adalah apakah banyak SMK yang mengarah kepada industri tersebut?

Pendidikan vokasional seharusnya mampu menekan angka pengangguran di Indonesia, lebih jauh dari itu, mereka diharapkan menjadi para praktisi andal yang benar-benar memahami keadaan lapangan. Dalam menghadapi perubahan zaman yang benar-benar berlari, lulusan SMK justru harus lebih adaptif, di sinilah peran para guru SMK sangat berpengaruh untuk menyiapkan para manusia yang tidak hanya pandai bekerja, tetapi juga dibarengi dengan kemampuan non teknis dan cara berpikir yang kritis.

Meneladani Jerman, yang dianggap sebagai pemilik sistem SMK terbaik, integrasi antara perusahaan dan sekolah harus berjalan dengan baik. Dalam konteks Indonesia, artinya menyediakan lahan berkarya bagi sektor prioritas di atas. Terutama dalam sektor industri kreatif, karena para pelaku industri kreatif mungkin akan menjadi golongan yang perannya sangat sulit digantikan oleh mesin atau pun robot.

Pendidikan Berbasis Komunitas

Meski tanpa sokongan dana maksimal atau pun fasilitas yang mumpuni, beberapa komunitas secara mandiri menggelar pendidikan non-formal yang lebih esensial. Mereka secara berdikari mulai membuat pelatihan-pelatihan yang bersifat praktis dan tepat sasaran. Namun di atas semua itu, sesungguhnya mereka sedang membuat sebuah arus baru yang membuat setiap anggotanya tidak menjadi buruh industri, melainkan hadir sebagai pemain dan pemilik keahlian.

Sebagai contoh, ada komunitas yang menggelar pelatihan barista secara independen, sedang naiknya tren kopi membuat para peracik kopi menjadi semakin laris di pasaran. Tetapi komunitas tersebut tidak hanya membekali pesertanya dengan teknik dan skill, melainkan juga dengan pengetahuan untuk memulai usaha kopinya sendiri.

Atau misalnya, ada sebuah komunitas yang melaksanakan pelatihan koding untuk anak, tujuan sederhananya tentu saja untuk memperkenalkan koding dan melatih mereka untuk mampu melakukannya. Namun tidak berhenti di sana, mereka mengharapkan setiap anak yang belajar bisa membuat gamenya sendiri. Sehingga pendidikan tidak berhenti pada pemberian pengetahuan, tetapi juga mengolah pengetahuan menjadi sebuah produk yang menjadi milik mereka.

Komunitas seperti ini akan semakin banyak dan berkembang, alasannya sederhana, orang-orang yang memiliki kesamaan visi akan lebih mudah untuk berserikat dan berkumpul. Kita sudah tidak bisa lagi mengandalkan sekolah formal saja atau peraturan pemerintah, memulai gerakan di masyarakat secara sukarela merupakan bentuk kepedulian untuk mendidik masyarakat agar tidak hanya memutar roda industri, tetapi juga memilikinya secara utuh.


Komentar
--> -->