Abstraksi
Perusahaan yang memiliki fokus pada sektor produksi barang akan berusaha untuk memaksimalkan output yang dihasilkan dari faktor produksinya, termasuk dengan melakukan kontrol proses kerja terhadap buruhnya. Di negara berkembang seperti Indonesia, para buruh--sebagai bagian dari faktor produksi--dikontrol melalui berbagai tindakan yang, seringkali, menyalahi aturan ketenagakerjaan dan menjadikan para buruh tersebut tereksploitasi. Hal tersebut berdampak pada berkurangnya hak-hak dan kesempatan sosial yang dimiliki oleh para buruh. Eksploitasi di tempat kerja sangatlah erat dengan aspek-aspek dari proses kerja yang tidak dipenuhi oleh perusahaan. Maka dari itu, Politics of Production dalam bentuk saling respon antara buruh dan manajemen perusahaan dapat terjadi dengan maksud mengubah proses kerja yang lebih inklusif. Penelitian ini menggunakan studi kasus proses kerja yang terjadi di PT. Alpen Food Industry (PT. AFI) sebagai produsen dari Es Krim AICE untuk melihat bagaimana aspek dari proses kerja buruh untuk kemudian mengumpulkan kekuatan dalam merespon eksploitasi yang dilakukan oleh PT. AFI. Tim penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data berbasis observasi dan studi literatur terkait. Tinjauan sementara menunjukkan bahwa adanya eksploitasi yang dilakukan oleh PT. AFI terhadap para pekerja melalui dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang tertera di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti jam kerja melebihi batas 8 jam per hari dan upah dibawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2017 sebesar Rp3.530.438 (Surjaya, 2016). Keseluruhan buruh AICE merupakan buruh kontrak yang diberi upah pokok sebesar Rp3.500.000,- perbulan untuk kemudian dipotong dengan perhitungan upah pokok dibagi dengan jumlah hari kerja pada satu bulan (FSEDAR, 2017). Proses kerja juga diperparah dengan status para pekerja produksi, dimana status outsourcing menimbulkan efek fleksibilitas status kerja yang membuat perusahaan juga fleksibel terhadap pemenuhan hak dan kewajiban pekerja. Kondisi ini telah dialami oleh para buruh, setidaknya, selama 4 tahun--sejak tahun 2013 hingga tahun 2017. Setelah sekian lama bekerja di tempat yang sama, para buruh di PT AFI pun mulai berani untuk mengungkapkan keresahannya kepada pihak manajemen perusahaan pada tanggal 7 dan 16 Oktober 2017. Tetapi, keresahan ini diabaikan oleh pihak manajemen yang mengakibatkan bertambahnya kekecewaan yang dialami oleh para buruh. Kekecewaan ini pun berujung pada pemogokan kerja yang dilakukan oleh para buruh selama 15 hari (FSEDAR, 2017). Akan tetapi, kemajuan juga sudah mulai terlihat ketika pihak perusahaan mengabulkan permintaan buruh untuk melakukan pengangkatan status 665 buruh kontrak menjadi karyawan tetap melalui Surat Keputusan Nomor 022/SK-KARTAP/AFI/XII/2017 (FSEDAR, 2017). Penelitian ini menggunakan kerangka teori Politics of Production yang ditulis oleh Michael Burawoy (1985). Burawoy menjelaskan bahwa didalam proses kerja terdapat beberapa aspek yang menjadi sumber kesadaran kelas pekerja untuk memperjuangkan hak yang telah tereskploitasi. Bagi Burawoy, factory regime terdiri dari berbagai efek politik. Seperangkat politik aspek produksi dan berbagai institusi yang membentuk dan mengatur perjuangan di tempat kerja adalah kunci dalam memahami proses kerja. Dengan kata lain, Politics of Production ialah pengertian dari “perjuangan di dalam tempat kerja” dari pergulatan di dalam hubungan dominasi yang terstruktur (Burawoy, 1985: 253). Gagasan factory regime diperkenalkan untuk menggambarkan serangkaian pengaturan yang berkembang yang ada antara pekerja, pengusaha, dan negara pada satu waktu dan tempat. Dalam menjelaskan mengenai factory regime, Burawoy mengeksplorasi dari aspek historis factory regime, faktor yang paling penting untuk menentukan dari factory regime adalah efek pada aspek politik dari setiap tipe factory regime terhadap kelas pekerja. Gagasan ini dirancang untuk melihat dua dimensi dalam Politics of Production, yaitu efek politik dan ideologi dari upaya pengusaha untuk menyusun sistem pekerjaan, serta melihat aparatur politik dan ideologi yang mengatur hubungan produksi di tempat kerja. Permasalahan outsourcing dan upah yang rendah yang diperjuangkan merupakan sebuah bentuk proses Politics of Production. Dalam dunia kerja, interaksi antara manajemen dan buruh termasuk ke dalam bagian proses kerja yang berbeda di tiap perusahaan. Berawal dari tersedianya lapangan pekerjaan bagi para buruh, perusahaan berusaha menuntut timbal balik atas apa yang telah diberikan. Mengingat perusahaan adalah bagian dari sistem kapitalis, tentu saja pihak yang berkuasa menginginkan keuntungan yang lebih dari apa yang telah dikeluarkan. Adanya kesadaran buruh PT AFI untuk melakukan gerakan resistensi, terhadap kontrol yang dilakukan perusahaan, demi mendapatkan haknya perlu kita pahami sebagai perjuangan demokrasi di tempat kerja. Usaha ini bertujuan untuk menciptakan kondisi kerja yang inklusif, di mana kedua pihak memiliki kesepakatan atas standar proses kerja. Sedangkan, perusahaan berusaha merespon gerakan resistansi buruh dengan cara memainkan fleksibilitas status buruh Dipertimbangkannya tuntutan buruh PT AFI oleh perusahaan pada tahun 2017 lalu menunjukkan bahwa kondisi kerja yang layak dan inklusif dapat diciptakan. Adanya proses yang panjang dalam pembentukan kesadaran kolektif yang juga membawa kepentingan bersama oleh buruh PT AFI merupakan peristiwa yang perlu kita pahami bersama sebagai pentingnya demokrasi di tempat kerja. Berkaca dari kesuksesan buruh PT. AFI, penting untuk digarisbawahi bahwa kondisi kerja layak yang dibangun dengan nilai-nilai kolektif akan berdampak baik pula terhadap kesejahteraan pekerja di bidang industri. Tetapi, satu hal lain yang perlu kita ingat, bahwa transformasi proses kerja di tempat kerja menjadi demokratis bukanlah sebuah tujuan akhir, melainkan sebuah gerbang menuju kepemilikan yang berpihak untuk mengurangi ketidaksetaraan buruh. Dengan demikian, para buruh dapat bekerja sesuai dengan kondisi yang mereka ciptakan sendiri secara inklusif. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia ilmu pengetahuan. Secara implisit, penelitian ini memiliki implikasi terhadap kebijakan dan praktik yang diberlakukan, baik di tingkat perusahaan maupun negara. Penelitian ini secara garis besar merupakan rangkuman historis dari perjuangan buruh yang menuntut proses kerja yang lebih manusiawi agar dipertimbangkan oleh perusahaan. Kemudian, tulisan ini juga menawarkan pemahaman bagaimana kekuatan buruh dapat melakukan negosiasi bersama perusahaan demi terciptanya kondisi kerja yang inklusif, dengan tetap memperhatikan aspek kemanusiaan dan melibatkan para buruh dalam pengambilan kebijakan. DAFTAR REFERENSI: Burawoy, Michael. (1985). The Politics of Production: Factory Regimes Under Capitalism and Socialism. London: Verso Books. Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR). (2017, November 2). Siaran Pers: Mendukung Pemogokan Buruh Pabrik Es Krim Aice. Diakses dari https://fsedar.org/posisi/siaran-pers -mendukung-pemogokan-buruh-pabrik-es-krim-aice/ pada Minggu, 24 Maret 2019 pukul 20.41 WIB. Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR). (2017, Desember 11). Siaran Pers: Mengapreasiasi Pengangkatan 665 Buruh Es Krim AICE. Diakses dari https://fsedar.org/posisi/siaran-pers-mengapreasiasi-pengangkatan-665-buruh-es-krim-aice/ pada Jumat, 29 Maret 2019 pukul 20.53 Surjaya, A. M. (2016, November 24). UMK Kabupaten Bekasi 2017 Rp3,5 Juta. Sindonews.com. Diakses dari https://metro.sindonews.com/read/1157679/171/umk-kabupaten-bekasi-2017- rp35-juta-1479898421 pada Minggu, 25 Maret pukul 17.08 WIB.