• Ni Wayan Padmayoni
    Ni Wayan Padmayoni
    Saya adalah seorang perempuan asal Karangasem, Bali, yang kini merantau untuk menempuh pendidikan di Universitas Prasetiya Mulya. Saya adalah salah satu penerima beasiswa penuh di Universitas Prasetiya Mulya, yakni Beasiswa Bakti Indonesia.
Papers

Pendidikan Inklusi: Ciptakan Lapangan Kerja yang Inklusif

2019

Abstraksi

Indonesia terus menerus berupaya dalam meningkatkan kesetaraan antara seluruh warga negaranya, termasuk kaum-kaum rentan seperti penyandang disabilitas. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari membentuk undang-undang, hingga membangun sarana dan prasarana yang akan menunjang kehidupan penyandang disabilitas. Undang-undang terbaru yang telah dibuat pemerintah untuk mengupayakan kesetaraan terhadap penyandang disabilitas adalah UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Tujuan dari pembentukan undang-undang ini tentu saja untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas. Fasilitas publik yang telah diberikan kepada penyandang disabilitas pun kini sudah mulai bertebaran di berbagai wilayah Indonesia. Akan tetapi, dari berbagai usaha yang telah dilakukan pemerintah, masih banyak pula penyandang disabilitas yang mendapat perlakuan tidak adil, baik itu dalam dunia kerja atau pun dunia sosial (pergaulan) mereka. Berdasarkan laporan akhir yang telah dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, beberapa penyebab sulitnya penyandang disabilitas memasuki dunia kerja adalah adanya diskriminasi lembaga, diskriminasi lingkungan fisik, dan diskriminasi sosial. Dalam laporan ini juga dijelaskan bahwa penyandang disabilitas sangat sulit untuk memasuki pasar tenaga kerja. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor informal, seperti wiraswasta, wiraswasta pekerja sementara, dan pekerja keluarga. Laporan akhir ini juga menjelaskan bahwa salah satu penyebab tidak seimbangnya pekerjaan yang diperoleh penyandang disabilitas dengan non penyandang disabilitas adalah faktor pendidikan. Di Indonesia, penyandang disabilitas cenderung disekolahkan di Sekolah Luar Biasa, yang merupakan sekolah khusus untuk penyandang disabilitas. Hal ini bukanlah sesuatu yang buruk, namun mengumpulkan penyandang disabilitas di suatu institusi khusus seperti sekolah luar biasa tidak selalu akan berdampak baik bagi kehidupan sosial penyandang disabilitas. Pengelompokan yang dilakukan terhadap penyandang disabilitas justru bisa saja mempersulit kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan non penyandang disabilitas. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Sutanto Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Penyandang disabilitas tidak harus disekolahkan di Sekolah Luar Biasa. Mereka juga memiliki hak yang sama dengan non penyandang disabilitas untuk bersekolah di sekolah reguler. Untuk menangani hal tersebut, sebenarnya Indonesia telah memiliki beberapa sekolah inklusif, yang menggabungkan penyandang disabilitas dengan non penyandang disabilitas di sekolah yang sama dan mendapatkan kurikulum yang sama. Namun, kata Doni Koesoema, seorang pengamat pendidikan, masalah yang ada di sekolah inklusif adalah tenaga pendidiknya yang belum terlalu memadai dan sarana yang disediakan di sekolah terkadang belum dapat mengakomodasi penyandang disabilitas secara penuh. Perbaikan terhadap sekolah inklusif yang sebenarnya merupakan upaya yang sangat bagus untuk menyetarakan hak penyandang disabilitas sebenarnya adalah tanggung jawab seluruh pihak, terutama pemerintah. Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan penyandang disabilitas, utamanya yang mengenyam pendidikan di sekolah inklusif. Indonesia juga dapat bercermin dari negara Slovakia dan Italia yang meniadakan sekolah khusus penyandang disabilitas, namun semua penyandang disabilitas di negara tersebut sangat berhak untuk mengenyam pendidikan di sekolah reguler. Di Italia dan Slovakia, penyandang disabilitas mengenyam pendidikannya di sekolah reguler bersama dengan non penyandang disabilitas. Hal ini utamanya bertujuan untuk melatih penyandang disabilitas untuk terbiasa berinteraksi dengan non penyandang disabilitas dan menanamkan sikap toleransi yang tinggi pada diri non penyandang disabilitas terhadap penyandang disabilitas. Pendidikan inklusif di Slovakia dan Italia tersebut sangat mengutamakan tenaga pengajar mereka. Keberadaan penyandang disabilitas di sekolah-sekolah reguler diimbangi dengan diadakannya tenaga-tenaga pendidik yang mampu memfasilitasi penyandang disabilitas di sekolah reguler. Menurut penuturan Ramadhan Zulfikar, mahasiswa Hukum UGM yang menjalani program AISEC di sekolah-sekolah di Slovakia, setiap tenaga pendidik di sana, ketika terjun ke dunia kerja sebagai pendidik, harus bisa memfasilitasi penyandang disabilitas. Baik itu dalam membaca huruf braille maupun dalam bahasa isyarat. Di Slovakia, kemampuan memfasilitasi penyandang disabilitas seperti yang telah disebutkan tersebut adalah suatu hal yang wajib. Di Italia sendiri, menurut Gordi (alumni STF Driyarkara Jakarta) yang mengalami pengalaman menyaksikan pendidikan inklusif di Italia, setiap sekolah reguler di Italia memiliki guru-guru atau tenaga pendidik khusus yang bertugas mendampingi penyandang disabilitas dalam proses belajar dan mengajar di dalam kelas. Penerapan beberapa sekolah-sekolah inklusi di Indonesia dapat diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya dengan cara menyediakan beberapa guru-guru khusus yang menjadi pendamping penyandang disabilitas di sekolah inklusi. Selain itu, masih menjadi PR besar untuk pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendukung penyediaan sarana dan prasarana yang lebih lengkap untuk penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah inklusi. Dengan sekolah yang sama dan kurikulum yang sama dengan non penyandang disabilitas, serta dengan dukungan sarana dan prasarana serta guru pendamping yang telah memiliki kemampuan khusus yang akan membantu penyandang disabilitas, penyandang disabilitas akan lebih mudah memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena persyaratan yang harus dipenuhi akan lebih mudah terpenuhi. Dengan pendidikan yang tinggi, toleransi yang terbentuk di kalangan non penyandang disabilitas, penyandang disabilitas akan lebih mudah menjalani kehidupan sosialnya. Dengan pendidikan yang lebih tinggi, kesempatan bekerja serta kesempatan mengembangkan bisnis sendiri juga terbuka lebih luas untuk penyandang disabilitas.

Komentar
--> -->