Abstraksi
Karya tulis ini menawarkan sebuah gagasan bahwa peluang kerja inklusif di Indonesia secara fundamental hanya dapat diciptakan melalui revitalisasi sistem pendidikan inklusif. Fenomena pasar tenaga kerja yang tidak seimbang di Indonesia sebenarnya bukan disebabkan oleh lapangan kerja yang tidak inklusif. Permasalahan tersebut justru dihasilkan dari sistem pendidikan yang belum cukup inklusif. Redefinisi konsep inklusif dan pendidikan inklusif serta revitalisasi sistem pendidikan inklusif sebagai solusi untuk menciptakan peluang kerja yang lebih terbuka akan diuraikan dalam karya tulis ini. Memasuki era masyarakat industri, jenis-jenis pekerjaan semakin berkembang dan terdeferensiasi menjadi sangat spesifik. Fakta tersebut seharusnya menjadi peluang dalam mewujudkan dunia kerja yang semakin inklusif. Pemahaman ini muncul karena berbagai jenis pekerjaan membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kompetensi yang semakin terspesialisasi. Peluang ini sayangnya belum dapat dimanfaatkan oleh Indonesia karena terdapat fenomena kesenjangan pasar tenaga kerja. Tren jenis pekerjaan yang semakin spesifik belum cukup terdukung oleh ketersediaan tenaga kerja dengan kompetensi khusus. Berdasarkan pemikiran tersebut, permasalahan bahwa inklusivitas peluang kerja yang masih rendah sebenarnya disebabkan oleh sistem pendidikan yang kurang tepat. Secara mendasar, sistem pendidikan di Indonesia bahkan belum diselenggarakan dengan berwawasan inklusif. Pendidikan inklusif tidak hanya terbatas pada upaya untuk melibatkan peserta didik difabel dan berkebutuhan khusus. Lebih dari itu, sistem pendidikan inklusif seharusnya memberikan ruang bagi seluruh siswa untuk mengembangkan minat, bakat dan kemampuan yang dimiliki. Pemahaman dasar mengenai konsep pendidikan inklusif tersebut belum didukung dengan sistem pendidikan serta kurikulum yang tepat. Sistem pendidikan formal di Indonesia masih difokuskan pada upaya penyeragaman kompetensi. Peserta didik belum cukup memiliki ruang untuk mengembangkan minat, bakat dan kemampuan secara personal. Mereka dipaksa untuk memiliki kemampuan pada semua bidang yang ditetapkan dalam kurikulum. Mekanisme pendidikan ini kemudian menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang tidak terspesialisasi. Pada akhirnya dunia kerja menjadi kurang inklusif karena tidak mampu menyerap ketersediaan tenaga kerja. Praktik penyelenggaraan pendidikan tersebut tentu belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 yang menjelaskan bahwa pendidikan inklusif tidak hanya diselenggarakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan namun juga “memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa”. Praktik pendidikan tersebut sangat berbeda dengan negara lain yang sudah lebih inklusif dengan mengapresiasi setiap bakat dan minat peserta didik. Korea Selatan misalnya telah melakukan upaya penjurusan siswa sejak mereka berada di bangku pendidikan menengah pertama. Langkah ini berhasil menekan angka pengangguran menjadi sebesar 1,06 juta jiwa pada tahun 2018. Angka ini tentu sangat kecil dibandingkan angka pengangguran di Indonesia yaitu 6,8 juta jiwa pada tahun 2018. Merujuk pada permasalahan tersebut, dibutuhkan langkah revitalisasi sistem pendidikan di Indonesia. Pemerintah perlu menginisiasi kurikulum berdasarkan orientasi untuk menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang terspesialisasi. Perlu dilakukan upaya diagnosis pada peserta didik untuk mengetahui minat, bakat dan kemampuan yang mereka miliki. Langkah penting yang selanjutnya perlu dilakukan adalah percepatan penempatan masing-masing peserta didik pada bidang kejuruan yang spesifik.