• Zulkarnaen
    Zulkarnaen
    Zulkarnaen, lahir di Jakarta, 26 Maret 1997 seorang mahasiswa semester 8 Universitas Negeri Makassar, pegiat literasi, sebagian waktunya berpikir di Komunitas Education Corner, mengabdi di Sikola Inspirasi Alam dengan kerja kolektif di jaringan Semua Murid Semua Guru
Ideas

Produksi Pengetahuan Melalui Perpustakaan Mini Angkutan Kota

2019

Ketidak nyamanan-kebencian-kecurigaan, sering kali terjadi di dalam aktivitas perjalanan transportasi umum di kota kota besar mulai dari suasana mobil roda empat (KWK), mikrolet hingga mobil busway, motifnya sangat beragam, sebut saja ketidak nyamanan itu ketika penumpang mendapatkan asap rokok, anak jalanan sedang bernyanyi riang, kecemasan perampokan, perilaku bullying, bahkan hingga pelecehan seksual. 

Pembaca boleh mengatakan hal tersebut hanyalah streotipe saja, tetapi apabila menoleh beberapa kasus, sudah berapa kasus yang ditemukan dalam pemberitaan mengenai masalah yang terjadi di angkutan kota tersebut-bukan soal banyak atau tidak banyak, tetapi yang perlu menjadi perhitungan adalah dampaknya.

Rata-rata para pengguna angkutan umum yang sering dijumpai adalah mereka para pekerja, dalam berkerja tentu memiliki ‘profesional’nya masing-masing, tetapi acap kali mental profesioanalitas tersebut tidak selalu berjalan mulus sebagaimana harapan, hingga yang terjadi muncul fenomena apa yang diistilahkan ‘post-truth’ -dengan bahasa lain, kini di dalam lingkungan yang sedemikian ada etika baku-hukum yang berlaku-tidak diperhatikan, yang ada dalam berkerja lebih menggunakan insting emosional, ketimbang rasionalitas. Seperti seorang filsuf Betrand Rusell tulis; kebencian pada akal yang umum terjadi di zaman kita sebagian besar disebabkan oleh kenyataan bahwa peran akal tidak dimengerti secara mendasar.

Pertanyaan yang menjadi pemantik selanjutnya adalah, mengapa demikian terjadi?

Dalam masyarakat perkotaan, masalah tersebut bukanlah suatu masalah individu, walaupun pelaku seringkali ditemukan adalah individu namun ini sudah menjadi masalah sistem dalam masyarakat urban, kutipan menarik dari Soetomo (2015). “individu yang perilakunya patologis merupakan akibat atau korban dari sistem yang patologis”.  Sistem yang dimaksud ialah bisa mengacu pada retakan gaya hidup orang-orang perkotaan, iklim agensi pemerintahan, sistem sosial, terutama gaya hidup, kini medium yang paling popular di masyarakat kebanyakan adalah media film.

Produksi film era kapitalistik, meminjam bahasa Jean Baudrillard adalah simulakra, ialah melampaui realita yang sesungguhnya, sehingga mulai dari anak kecil hingga orang dewasa itu kemudian bersikap meniru  dalam kesehariannya dari apa yang mereka saksikan di cuplikan adegan adegan film, tentu juga ini mengakibatkan adanya kesadaran palsu ditengah-tenagah masalah sehari-hari, tidak sedikit juga praktek kekerasan, masalah yang terjadi di angkutan umum sering diadegankan dalam beberapa film di layar kaca Indonesia.

Soenarno, Ketua Komite Selekesi Festival Sinetron Indonesia memaparkan apa adanya tentang persinetronan Indonesia; “Tidak ada kecerdasan, landasan moral begitu rapuh. Tak jelas di bumi mana mereka berpijak. Drama-drama panjang menjadi asing dan mirip telenovela-telenovela tanpa selera. Kemisikinan ini menjadi persoalan besar, terutama pada faktor sumber daya manusianya”. Memang dunia perfilman berserta iklan merupakan praktek industri yang tidak memperhitungkan gejala-gejala manusia, yang ada hanyalah demi meraup keuntungan dalam bentuk materi sebesar-besarnya.  Sehingga pada akhirnya, terjadi pembusukan budaya kreativitas.

Kreativitas, sebagaimana Mihalyi Csikszentimihalyi, mengacu pada orang yang mengekspresikan pemikiran yang bukan pada umumnya; dunia dengan cara yang baru, orisinal, segar dan mencerahkan, sehingga menuai inovasi, baik itu inovasi social, inovasi finansial, maupun inovasi pasar.

Berkaitan  dengan kreativitas, Yasraf Amir Pilliang memiliki konsep dua model berpikir dalam menciptakan inovasi, yaitu model ‘kotak hitam’ (black box), yang dibangun oleh prinsip ketakberaturan, keacakan dan ketakterdugaan, dan yang melaluinya dapat dihasilkan loncatan kreatif, menghasilkan ide-ide cemerlang, sebagaimana seorang seniman besar, penemu, yang menemukan order di dalam disorder. Kedua, model  berpikir ‘kotak kaca’ (glass box), yang dibangun prinsip rasionalitas, solusi-solusi sistemik, dan terukur, seperti cara kerja komputer, ilmuwan yang memiliki instrument analisis, sintesis dan evaluasi.

Untuk memahami konsep kreativitas, diperlukan teori yang mendukung, dengan menggunakan konsep sosiologis Bourdieu tentang ‘modal’ (capital) dan ‘ranah’ (field). Modal dimengertikan yang paling luas, meliputi, ‘modal ekonomi’, ‘model simbolik’ (prestise, status, otoritas); dan ‘modal budaya’ (bahasa, seni, pendidikan). Tentang ‘ranah’Bourdieu melanjutkan dengan mendefinisikan  “…sebuah ruang posisi terstruktur yang di dalamnya posisi-posisi dan interrelasinya ditentukan oleh distribusi jenis-jenis sumber daya atau ‘modal’ yang berbeda-beda. Maka Yasraf Amir Pilliang mengontruksi sebuah ranah kreatif pada tingkat komunitas, masyarakat, bangsa, atau bahkan keseluruhan umat manusia.

Kita dapat melihat fenomena ini dalam berbagai kelas kreatif di Bandung, Yogyakarta, yang mampu membangun ‘ranah kreatif’ komunitas: ‘sistem ekspresi (sistem informasi dan pengetahuan komunitas), ‘sistem produksi’ (independent production), ‘sistem diseminasi’ (pameran komunitas, festival, pasar rakyat) dan ‘sistem apresiasi’ (jurnal komunitas, majalah dan media lainnya).

Berdasarkan pandangan Yasraf Amir Pilliang tentang konstruksi  ranah kreatif, maka kita dapat mengusulkan sebuah ide, yakni;

Setiap elemen masyarakat memiliki kesempatan kerja kolektif dalam menciptakan budaya baca-diskusi melalui pengadaan perpustakaan mini angkutan kota. Jadi kita membayangkan setiap jenis angkutan kota terdapat rak buku yang memiliki bahan bacaan, setidaknya memiliki 5/6 jenis bacaan, seperti buku dan majalah-dengan mengangkat topik yang amat beragam-mulai dari buku resep memasak, perawatan barang-jasa, buku anak, buku filsafat. Sehingga dalam perjalanan tercipta ruang-ruang publik yang produktif; berbagi ide, bahkan hingga membentuk jaringan kerja kreatif sehingga berbagai kemungkinan dengan konotasi positif itu dapat tercipta dalam masyarakat dewasa kini.

Penulis meyakini ini bisa terjadi kita ada dukungan-gerakan kolektif bersama dalam mewujudkannya. Pada level negara, pemerintah merumuskan hingga dapat mengeluarkan regulasi berupa kebijakan publik partisipatif mengenai perpustakaan mini angkutan kota sebagai salahsatu unit dalam sistem informasi sumber daya manusia dan menyusun 'modal ekonomi'. Pada level masyarakat komunitas, seniman, musisi, memiliki sumbangan inti; buku, hingga membuka ruang komunikasi secara kontinu melalui komunitas bersama baik gerakan masif melalui dunia virtual maupun realita sesungguhnya. Kini, sudah menjamur komunitas gerakan literasi, akan tetapi akses sarana gerakan tersebut masih belum optimal, dan buku masih berada di raknya masing-masing, bahkan mungkin sudah berdebu.

Sebagai mana penjelasan Hardt dan Negri: Produksi ide, citra, dan pengetahuan tidak hanya dilangsungkan di dalam yang bersama-tidak ada orang yang benar benar berpikir sendiri, semua pikiran dihasilkan dalam kolaborasi dengan pemikiran-pemikiran orang lain di masa lalu dan  masa kini -tetapi juga setiap ide dan citra baru mengundang dan membuka ruang bagi kolaborasi baru. Produksi bahasa, pada akhirnya, baik bahasa alamiah maupun bahasa artifisial, selalu bersifat kolaboratif dan selalu menciptakan cara baru kolaborasi. Semua cara ini, di dalam produksi yang bersifat imaterial, pembentukan cara kerja koperasi sudah bersifat internal pada pekerja dan karenanya bersifat eksternal terhadap modal.

Membangun kesadaran manusia memang merupakan tugas yang berat, tetapi apabila dikerjakan secara bersama dengan mengingat kembali isu-isu masalah ekologi, masalah kemanusiaan, diperlukan pelibatan suasana musyawarah demokrasi terbuka, pembangunan secara sistematik dan komprehensif, maka saya yakin ide ini bisa terwujud. Siapa yang memulai dan di mana bukanlah soal, tetapi pembaca setidaknya memiliki gambaran yang perlu dipertimbangkan.**


Komentar
--> -->