Abstraksi
Latar Belakang Saat ini mantra pembangunan ekonomi yang paling populer adalah Revolusi Industri 4.0 (antaranews 2018; Aisyah, Made Yudi, and Effendi 2019). Kegairahan dan harapan terihat sangat jelas dari pihak pemerintah, media massa, dan kalangan masyarakat secara luas terkait potensi pertumbuhan dari perubahan dan inovasi yang digerakkan industri dan jenis pekerjaan baru berbasis kemajuan teknologi digital ini (Ministry-of-Industry 2018). Pada saat yang bersamaan perlahan tapi pasti juga mulai muncul berbagai upaya memahami secara akademis dan perkembangan industri dan ekonomi baru ini. Karena tidak dapat disangkal bahwa di tingkat praktis pertumbuhan jenis industri dan ekonomi baru ini juga memicu berbagai jenis respon dan reaksi dari kalangan dunia usaha dan masyarakat yang bernuansa gelisah hingga khawatir. Disrupsi (disruption) atau kekacauan dan guncangan menjadi salah satu karakter dari Industri 4.0 dan jenis kerja baru yang menyertainya (Avital et al. 2014; Cortez 2014; Martin 2016; Coccia 2018). Pada satu sisi perkembangan teknologi digital menciptakan kemungkinan cara-cara baru menghasilkan barang komoditas dan jasa. Akan tetapi pada sisi sebaliknya cara baru tersebut mendorong guncangan pada praktek produksi dan distribusi yang sudah ada sebelumnya. Salah satu contoh mengemuka yang telah kita saksikan beberapa tahun ini di Indonesia adalah konflik industrial antara pelaku usaha dan pekerja dari bisnis transportasi konvensional dengan pihak yang muncul dan tumbuh pesat karena perluasan teknologi digital online dan konsumsinya secara massal oleh masyarakat. Bahkan konflik tersebut pernah meletup secara offline di jalanan yang melibatkan kekerasan fisik antar pekerja/pelaku usaha di berbagai kota besar di Indonesia (Istianto and Maulamin 2017; www.jawapos.com 2017; tirto.id 2018). Inovasi dan disrupsi yang menyertai fenomena Revolusi Industri 4.0 dan pekerjaan baru tersebut di atas telah tampak nyata mengindikasikan adanya tantangan secara sosial dan politik untuk diantisipasi dalam konteks transformasi dan keberlanjutan pembangunan (Anggusti and Siallagan 2018) Permasalahan Secara singkat dapat kita artikan bahwa untuk menuju arah pembangunan Indonesia yang inklusif, progresif, dan berkelanjutan, salah satu masalah yang harus segera direspon adalah aspek proses dan hubungan kerja. Aspek ini dalam konteks industri pra 4.0 di Indonesia telah terus berkembang sejak 1998. Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang memiliki peraturan dan institusi perlindungan hubungan industrial yang secara de jure paling baik (Caraway 2009, 2010) Akan tetapi harus diakui secara de facto penegakan aturan dan institusi hubungan kerja hingga saat ini masih terus menghadapi tantangan dan menghasilkan celah (loopholes) bagi berbagai pelanggaran dan persoalan demokratisasi keraja yang memicu konflik industrial (Irwansyah 2012). Implikasi dari konflik industrial bagi pembangunan adalah persoalan produktivitas dan keberlanjutan perkembangan ekonomi. Harus semakin dicermati ketika kita mengaitkan kedua persoalan tersebut dengan dinamis dan disruptifnya Industri 4.0 yang saat ini sedang kencang bertumbuh. Akan tetapi konflik industrial juga harus dipahami sebagai potensi pendorong bagi inovasi dan perbaikan proses kerja menuju yang lebih inklusif, progresif dan berkelanjutan. Apalagi bila kita mengakui bahwa perkembangan teknologi digital (dan informasi teknologi dalam artian luas) juga membawa potensi perluasan kemungkinan mendorong demokratisasi proses dan hubungan kerja. Bahkan dengan fakta bahwa masyarakat semakin terintegrasi dengan perangkat digital dan teknologi online hampir sulit membayangkan pekerja Indonesia masa kini dan masa depan tidak akan menggunakan teknologi sebagai bagian dari perjuangan mereka dalam urusan hubungan industrial. Oleh karena pertanyaan yang harus mulai dijawab adalah: “bagaiamana perkembangan teknologi digital dan online dapat mulai digunakan dalam memajukan insititusi dan mekanisme hubungan industrial dan proses kerja yang lebih demokratis, layak, sekaligus produktif dan berkelanjutan. Metode Rancangan riset ini menggunakan pengalaman 2 sektor industri yang terkait dengan perkembangan Industri 4.0 – manufaktur dan sektor industri kreatif. Metode kualitatif digunakan untuk pengumpulan dan pengolahan data. Informasi dan fakta diolah dari pengalaman dari beberapa kasus yang berhasil mendorong konflik industrial mengarah ke mekanisme hubungan kerja yang lebih demokratis dan inklusif antara pekerja dan pemberi kerja. Sekali pun belum ada inovasi yang paripurna tentang penggunaan teknologi digital dalam penanganan konflik industrial, akan tetapi beberapa kasus yang diangkat bertujuan menunjukkan adanya penggunaan dan pengembangan potensi lebih maju lagi dari teknologi digital dalam proses produksi dan resolusi konflik hubungan industrial. Pengumpulan data akan menggunakan teknik wawancara dan focus group discussion (FGD) pada pekerja, pengusaha, dan unsur pemerintah terkait ketenagakerjaan. Output Diharapkan analisa dari pengolahan data riset yang bersifat terobosan/permulaan ini dapat mengindikasikan beberapa peluang pengembangan institusi dan mekanisme resolusi konflik hubungan industrial di era bertumbuh pesatnya teknologi digital dan industry 4.0. Tidak hanya dalam konflik yang sudah terlanjut meletup seperti berbagai kasus perburuhan yang konvensional, akan tetapi juga membantu institusi-institusi yang berwenang – lembaga pemerintah yang mengurusi ketenagakerjaan, serikat pekerja, dan asosiasi pengusaha – untuk memajukan situasi hubungan industrial dari de jure menjadi optimal secara de facto. Bentuk sederhananya adalah data dasar opsi-opsi dialog sosial (social dialogue) menurut ketiga pihak (tripartite) yang menyesuaikan diri dengan perkembangan digital dan revolusi industri 4.0. Implikasi Kebijakan Implikasi strategis yang dirintis dari riset ini, walau pun tidak dihasikan secara langung, adalah pengembangan platform-platform digital dan non-digital bagi resolusi konflik hubungan industrial 4.0. Resolusi yang mutakhir ini diharapkan memajukan demokratisasi dan perlindungan hubungan kerja demi orientasi pembangunan Indonesia yang inklusif, progresif, dan berkelanjutan. Referensi: Aisyah, Siti, Setiani Made Yudi, and Yudi Effendi. 2019. “Proceeding Social and Political Challenges in Industrial Revolution 4.0.” Anggusti, Martono, and Haposan Siallagan. 2018. “Sustainable Development in the Wake of the 4th Industrial Revolution in Indonesia.” In IOP Conference Series: Materials Science and Engineering. antaranews. 2018. “;Making Indonesia 4.0; to Face Industrial Revolution - ANTARA News.” 2018. https://en.antaranews.com/news/120818/making-indonesia-40-to-face-industrial-revolution. Avital, Michel, Magnus Andersson, Jeffrey Nickerson, Arun Sundararajan, Marshall Van Alstyne, and Deb Verhoeven. 2014. “The Collaborative Economy: A Disruptive Innovation or Much Ado about Nothing?” In Proceedings of the 35th International Conference on Information Systems; ICIS 2014. Caraway, Teri L. 2009. “Labor Rights in East Asia: Progress or Regress?” Journal of East Asian Studies 9 (2). BOULDER: Lynne Rienner Publishers:153–86. ———. 2010. “Core Labor Rights in Indonesia 2010: A Survey of Violations in Formal Sector.” Jakarta. Coccia, Mario. 2018. “Disruptive Firms and Industrial Change.” Journal of Economic and Social Thought 4 (4). Cortez, Nathan. 2014. “Regulating Disruptive Innovation.” Berkeley Tech. LJ 29. Irwansyah. Kompas, 2012. “Gejolak Buruh,” September 15, 2012. Ministry-of-Industry. 2018. “Indonesia’s Fourth Industrial Revolution Making Indonesia 4.0,”. tirto.id. 2018. “Bentrok Transportasi Konvensional Dan Online - Tirto.ID.” Www.Tirto.Id. 2018. www.jawapos.com. 2017. “Kisruh Angkutan Online Dan Konvensional Berbuntut Panjang.” 2017.