• Senza Arsendy
    Senza Arsendy
    A former elementary school teacher in the remote area who is working as M&E in the development project. Promoting social mobility is my ambitious goal.
Papers

SMK BISA! Apakah benar atau sekadar janji palsu?

2019

Abstraksi

Meningkatkan akses pada pendidikan kejuruan menjadi salah satu kebijakan popular yang diambil pemerintah di banyak negara berkembang. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi masalah pengangguran dan memperbaiki kualitas kelas pekerja. Indonesia, merupakan salah satu negara dimana model pendidikan ini menjadi prioritas dalam pembangunan pendidikan. SMK BISA! merupakan jargon yang pemerintah gunakan selama ini untuk mengampenyakan agar lebih banyak siswa sekolah menengah pertama mendaftarkan diri ke sekolah menengah kejuruan. Direktorat Pembinaan SMK yang menjadi penanggungjawab utama sekolah kejuruan juga menggunakan jargon SMK BISA! di berbagai program yang dimilikinya. Sebuah iklan pernah mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan SMK BISA! adalah lulusan-lulusan SMK, bisa memilih untuk bekerja atau kuliah setelah menamatkan pendidikannya. Penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi sejauh mana jargon SMK BISA! benar terbukti. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilengkapi dengan tiga pertanyaan utama. Pertama, bagaimana akses siswa pada sekolah kejuruan dalam beberapa tahun terakhir? Jawaban pertanyaan ini bermanfaat untuk menguji sejauh mana program-program pemerintah, termasuk jargon SMK BISA! berhasil meningkatkan akses pada SMK. Selanjutnya, bagaimana akses lulusan SMK pada lapangan kerja? Pertanyaan ini berguna untuk mengeksplorasi janji siap kerja pada jargon SMK BISA! Pertanyaan terakhir dalam penelitian ini adalah bagaimana akses lulusan SMK pada pendidikan tinggi? Jawaban ini menggambarkan sejauh mana siswa dari sekolah kejuruan memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Penelitian ini tidak mengambil data baru melainkan hanya melakukan kajian literatur dan dokumen kebijakan. Beberapa riset relevan tentang SMK yang dilakukan di Indonesia digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, data-data sekunder dari lembaga-lembaga terkait seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia Family Life Survey (IFLS) juga digunakan untuk memperkaya laporan. Analisis temuan dilakukan dengan menggunakan teori psikologi, sosiologi, dan pedagogi. Bagaimana peningkatan akses pada sekolah kejuruan? Data Kemendikbud (2018) menunjukkan bahwa jumlah sekolah SMK di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini jumlah sekolah kejuruan ada sekitar 14.000 sekolah dari hanya 10.000 sekolah di akhir tahun 2000. Selain peningkatan jumlah sekolah, anggaran untuk SMK juga meningkat signifikan dalam 5 tahun terakhir. Peningkatan anggaran untuk SMK terjadi sebesar hampir 45%, sementara peningkatan untuk sekolah umum hanya sekitar 30% . Upaya pemerintah mendorong akses dengan meningkatkan jumlah sekolah dan alokasi anggaran berkontribusi pada penambahan jumlah murid SMK dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan data Kemendikbud (2019), dalam 5 tahun terakhir jumlah siswa SMK konsisten lebih tinggi dibandingkan jumlah siswa SMA, dan selisih makin besar setiap tahunnya. Hasil ini mengindikasikan bahwa reformasi SMK, termasuk jargon SMK BISA! terindikasi berhasil meningkatkan akses siswa pada SMK, meskipun tidak signifikan. Bagaimana akses lulusan SMK pada lapangan kerja? Meskipun sekolah kejuruan banyak digadang menjadi solusi untuk mengatasi masalah lapangan kerja, sayangnya beberapa riset relevan menunjukkan hal yang tidak sesuai harapan. Pada Februari 2018, BPS menunjukkan bahwa lulusan SMK menyumbang kontribusi paling besar pada angka pengangguran di Indonesia, yaitu sekitar hampir 9%. Untuk mereka yang bekerja, analisis dengan menggunakan data IFLS (2007) menunjukkan bahwa pendapatan lulusan SMK lebih rendah dibandingkan lulusan SMA. Temuan ini menunjukkan bahwa SMK tidak melulu meningkatkan akses pada lapangan kerja berkualitas. Bagaimana akses lulusan SMK pada pendidikan tinggi? Studi yang dilakukan oleh Chen (2009) dan Newhouse dan Suryadharma (2009) menunjukkan bahwa partisipasi siswa Indonesia pada sekolah kejuruan berkontribusi signifikan pada penurunan kemampuan akademis mereka. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab siswa SMK kesulitan bersaing untuk melanjutkan pendidikan tinggi, termasuk ke politeknik, yang mungkin seharusnya banyak diisi oleh siswa dari sekolah kejuruan. Nyatanya, selain tidak menghasilkan dampak ekonomi yang baik, sekolah kejuruan juga secara tidak langsung, membatasi kesempatan lulusannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Analisis-analisis di atas menjelaskan bahwa SMK BISA! hanya merupakan jargon semata. Data dan penelitian menunjukkan bahwa lulusan SMK tidak melulu siap bekerja dan kuliah. Penjelasan berikut menawarkan beberapa faktor penyebab mengapa jargon tersebut belum berhasil tercapai. Dari perspektif pedagogi, lulusan SMK sulit bersaing di lapangan kerja bisa disebabkan karena kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Selain itu, kurikulum SMK yang sangat spesifik, juga membuat keterampilan siswa tidak fleksibel dengan kebutuhan dinamis lapangan kerja. Terakhir, kurikulum SMK sangat fokus pada menciptakan keterampilan teknis tertentu, tidak banyak fokus pada akademis yang menjadi materi dasar ujian masuk perguruan tinggi negeri. Hal ini yang menyebabkan lulusan SMK sulit bersaing di tes masuk universitas. Dari perspektif sosiologi, lulusan SMK cenderung tidak memiliki kesempatan kerja yang lebih baik karena beberapa perusahaan mungkin lebih memilih lulusan SMA akibat dari adanya stigma sosial yang memandang bahwa sekolah kejuruan adalah sekolah ‘buangan’. Lulusan SMK juga sulit melanjutkan pendidikan tinggi karena sekolah di SMK tidak berkontribusi pada perluasan social capital. Siswa SMK didominasi oleh golongan menengah bawah yang sedikit memiliki role model orang-orang berpendidikan tinggi. Dari perspektif psikologi, seleksi untuk masuk SMK mengabaikan minat dan bakat anak. Hal ini mengakibatkan tidak semua anak SMK menaruh minat pada apa yang mereka pelajari, yang kemudian menghambat mereka ketika melamar pekerjaan. Selanjutnya, teori perkembangan karir dan identitas menjelaskan bahwa usia-usia sekolah menengah adalah saat dimana anak mengeksplorasi minat dan bakatnya. Masuk SMK membatasi anak untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya yang membuatnya kebingungan untuk menentukan jurusan saat kuliah. Tulisan ini menggambarkan bahwa masalah pendidikan SMK tidak akan selesai dengan hanya memperbaiki hubungan antara SMK dengan lapangan kerja seperti diskursus yang selama ini terjadi. Pemerintah perlu juga memastikan bahwa pemilihan siswa pada SMK dilakukan dengan juga mempertimbangkan bakat dan minat mereka. Sebagai lulusan SMK yang kemudian lebih memilih untuk berkuliah, melalui penelitian ini saya mendorong pemerintah untuk mengaji ulang kebijakan perluasan akses pendidikan kejuruan yang memiliki target bahwa pada tahun 2025, proporsi jumlah SMK dengan sekolah umum menjadi 70:30. Merujuk pada hasil-hasil yang ada, kebijakan tersebut justru bisa berpotensi meningkatkan ketimpangan antara siswa miskin (yang diharapkan masuk SMK) dan siswa menengah-atas yang mungkin akan lebih memilih sekolah umum. Penelitian ini setidaknya bermanfaat untuk dua hal. Pertama, analisis tentang kontribusi kebijakan sekolah kejuruan dan jargon SMK BISA! pada peningkatan akses dan kualitas lulusan SMK memberikan evaluasi kepada pemerintah terkait sejauh mana usaha mereka sudah berhasil mencapai tujuan yang mereka rancang. Kedua, melalui penelitian ini, publik, khususnya orang tua, menjadi lebih sadar tentang dampak-dampak yang mungkin terjadi jika anak mereka melanjutkan sekolah ke sekolah kejuruan. Pengetahuan yang orang tua saya tidak miliki saat mereka memaksa saya untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan.

Komentar
--> -->