• Ika Vantiani
    Ika Vantiani
    Ika Vantiani adalah seniman otodidak yang banyak bicara tentang perempuan, media dan konsumsi di dalam karya-karyanya. Sesekali mengkurasi dan membuat produk daur ulang, Ika percaya semua orang kreatif tapi tidak semua orang rajin.
Ideas

Mengajak Bicara Tabu dengan Lokakarya Seni

2019
Mengajak Bicara Tabu dengan Lokakarya Seni

Ika saat mengikuti Footscray Community Art Center, Melbourne, Australia pada 2015 (Dokumen Pribadi)

Lokakarya adalah tempat saling berdaya favorit saya. Sejak pameran pertama saya, lokakarya sudah menjadi salah satu kegiatan yang saya adakan sebagai bagian dari pameran. Sebagai seorang seniman otodidak, saya menyukai lokakarya karena memberi saya ruang untuk bertemu dan menceritakan tentang karya saya kepada publik sambil membuat karya. Saya ingin menunjukkan bahwa hanya karena selama ini kita berada dalam sebuah lingkungan yang memotivasi kita jadi pembeli semata, bukan berarti kita lantas tidak punya kemampuan untuk mencipta juga.

Saya diundang untuk menjadi salah satu seniman dalam proyek WANITA (Woman’s Art Network INA to AUS): Female Artivism Jakarta di Footscray Community Art Center, Melbourne, Australia pada 2015. Lokakarya menjadi salah satu kegiatan yang kami buat sebagai bagian dari acara selain pameran dan FGD (Focus Group Discussion). Lokakarya ini saya beri judul Word For Women (Kata Untuk Perempuan) yang diilhami dari pertanyaan beberapa orang tentang nama proyek tersebut. “Kenapa wanita?, kenapa bukan perempuan?”.

 
Pertanyaan yang menyadarkan saya betapa banyaknya kata di luar sana yang diperuntukkan untuk perempuan. Namun bisa jadi perempuan memiliki perasaan yang berbeda-beda pula mengenainya. Lokakarya yang pertama diikuti oleh 20 orang peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, usia, orientasi seksual dan kebangsaan. Ternyata, ini membuat hasil lokakarya memiliki perspektif dan cerita yang kaya. Dari pilihan kata-kata hingga cerita di baliknya. Respon ini penting dalam memberikan gambaran bagaimana bahasa merepresentasikan perempuan dalam kehidupan sehari-hari di berbagai negara.

Lokakarya pertama di Australia itulah yang kemudian menjadi cikal bakal proyek Kata Untuk Perempuan yang saya buat di Indonesia sejak Desember 2015. Proyek pendokumentasian kata yang digunakan untuk mendeskripsikan perempuan dalam kehidupan kita sehari-hari di Indonesia melalui kolase. Karena saya menyadari bahwa di dalam bahasa Indonesia ada banyak sekali kata untuk mendeskripsikan perempuan termasuk dalam bahasa daerah.

Sebagai seniman yang menggunakan medium utama kolase, pilihan teknik ini saya rasa tepat. Saya merasa kolase belum banyak diketahui orang dibanding misalnya lukis, gambar, patung dan teater. Padahal, kolase sebagai sebuah teknik berkarya tidak hanya caranya saja yang sederhana, alat dan bahannya juga. Ini membuat orang yang tidak pernah membuat karya seni tidak merasa terintimidasi untuk ikut dan belajar membuat karya dengan teknik ini.

Selama setahun menjalankan proyek ini sejak Desember 2015 hingga 2016, saya berhasil mengumpulkan hampir 300 karya dari 30 lokakarya kolase di 5 kota di Indonesia.

Membicarakan yang tidak dibicarakan
 

Apakah temuan saya selama setahun menjalankan proyek Kata Untuk Perempuan? Saya menemukan representasi umum perempuan dalam bahasa kita sehari-hari di Indonesia. Ternyata, publik bisa menjadi sangat jujur dan terbuka untuk berbicara tentang alasan mereka memilih sebuah kata. Walaupun alasannya bisa sangat personal dan intim sekalipun.

Saya merasa mungkin karena jawaban yang saya inginkan tidak perlu dijawab secara gamblang. Melalui sebuah karya kolase, ada kenyamanan sekaligus keamanan dari perasaan-perasaan yang mengganggu tanpa risiko memberi penjelasan secara langsung yang terdengar aneh, bodoh, dan perasaan tidak mengenakkan lainnya. Dengan membuat karya dengan tangan kita sendiri, tawaran untuk beropini melalui medium membuat kolase bersama ini menjadi ternyata menjadi proses yang menyenangkan. Tidak hanya untuk saya namun juga untuk publik yang menjadi peserta.

Saya pun mulai mendapatkan ajakan dan undangan membuat lokakarya kolase, baik dari organisasi ataupun komunitas tertentu. Tujuannya? Untuk mendiskusikan berbagai topik sensitif untuk beragam kalangan. Dari mulai tentang hak asasi manusia untuk anak muda, korupsi, pekerja perempuan rumahan, kekerasan berbasis gender untuk para korban dan penyintas, hingga tentang HIV/AIDS bagi kelompok yang dianggap rentan sebagai korban dan penderita.

Beberapa hasil lokakarya ada yang dipamerkan. Karya mereka memberi gambaran dan menyampaikan pesan kepada publik tentang topik-topik yang seringkali kita tidak bisa bicarakan secara terbuka.  Bukan hanya karena sulitnya akses informasi tentang topik-topik itu namun juga risiko penghakiman yang sering terjadi pada korban atau mereka yang mengalami hal tersebut.

Dalam sebuah lokakarya saja misalnya, komunikasi dan pertukaran informasi termasuk cerita tentang sebuah topik sudah terjadi sejak saya bertemu muka dengan para peserta untuk pertama kalinya, maupun antar peserta itu sendiri. Saat karya selesai dan dipamerkan ataupun diunggah ke media sosial misalnya, diskusi terus bergulir.

Rangkaian alur komunikasi yang mungkin tidak akan pernah terjadi apabila kami semua tidak bertemu dalam sebuah lokakarya. Artinya, di dalam setiap lokakarya kami berusaha menciptakan ruang yang kreatif dan terbuka serta aman untuk setiap orang agar bisa mengekspresikan opininya secara bebas dan jujur. Ruang yang semakin sulit kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari yang begitu riuh rendah oleh provokasi dan hoaks baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Lokakarya seni menjadi salah satu tawaran solusi untuk menciptakan ruang-ruang diskusi dan berekspresi yang setara, inklusif dan kreatif bagi semua orang untuk membicarakan banyak hal di dalam hidup kita sehari-hari. Termasuk untuk hal-hal yang dianggap tabu sekalipun. Karena belajar dan berbagi akan selalu menjadi awal yang tepat untuk menciptakan sebuah perubahan di dalam masyarakat baik dalam skala kecil maupun besar. Lokakarya bukan lagi jadi kegiatan ataupun aktifitas yang hanya boleh dan bisa dilakukan oleh sekelompok orang saja, namun bisa dilakukan oleh semua orang.

Di dalam lokakarya seni, saya ingin semua orang bisa belajar untuk mengartikulasikan opini individu  dengan cara yang baru. Melihat sebuah masalah dengan perspektif diluar diri sendiri. Mendengar opini orang lain dengan lebih sabar, dan tidak mudah berasumsi. Menyadari  perasaan dan pemikiran kita sama pentingnya dengan perasaan dan pemikiran orang lain.

Kemampuan membuat karya seni dengan tangan kita  adalah keterampilan yang bisa dipelajari semua orang. Kendati pada akhirnya, tidak semua orang bisa dan mau menjadi seniman. Namun seni akan selalu menjadi dan memberi, serta mencipta sesuatu yang media lain belum tentu bisa lakukan.

Ika Vantiani menjadi pemantik IDE untuk pengajuan Proposal IDF 2019 kategori Pertunjukan Seni dan Budaya.

Punya ide untuk seni dan budaya di Indonesia?
Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar atau kirimkan IDE Anda dengan format blog/ artikel, vlog, atau infografik melalui Pengajuan Proposal IDF 2019. Ide akan dipublikasi pada situs web IDF dan sebagian akan dipilih untuk dipaparkan pada Pasar Ide dan Inovasi.

Komentar terpilih dan Ide terpopuler akan mendapatkan suvenir dari Du’anyam. Kirimkan Idemu segera!


Komentar
--> -->