Abstraksi
Industri Pariwisata merupakan industri yang sangat menjanjikan. Di Indonesia sendiri, pariwisata semakin terlihat memberikan dampak sebagai industri yang sangat menunjang perekonomian. Hal ini terlihat berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata (2017:51) bahwa terjadi peningkatan devisa dari sektor pariwisata yakni sebesar 14,216 Milyar USD, selain itu pariwisata juga berkontribusi sebesar 5% pada PDB nasional dengan nilai sebesar 679,44 Triliun Rupiah (2017:90). Khususnya Bali, pertumbuhan pariwisata yang kian pesat, nyatanya tidak dibarengi dengan pemerataan. Industri pariwisata Bali yang tersentral di bagian selatan masih menjadi favorit bagi wisatawan. Lemahnya infrastruktur pada sistem transportasi merupakan salah satu penyebabnya. Ketimpangan penyebaran industri pariwisata inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong adanya urbanisasi. Generasi muda sebagian besar lebih memilih untuk bekerja di Kota Besar. Tidak dipungkiri, pendapatan yang dihasilkan dengan bekerja di Hotel, Bar maupun Restoran justru memberikan penghasilan yang lebih besar jika dibandingkan bekerja di pedesaan dengan menjadi petani. Alasan lainnya adalah bekerja sebagai pegawai di industri pariwisata dan perhotelan kini sudah menjadi trend milenial dan secara otomatis mengangkat status sosial mereka. Fenomena inilah yang kemudian membuat banyak pedesaan terabaikan dan ditinggalkan para generasi mudanya, sehingga potensi lokal tidak tergarap maksimal. Padahal Wisata Pedesaan dapat menjadi alternatif dari merebaknya isu pariwisata masal yang dikabarkan banyak memberikan dampak negatif. Pariwisata yang berkembang di Bali kini terlalu fokus pada kuantitas dan mengesampingkan keberlanjutan. UNWTO memberikan definisi pariwisata berkelanjutan merupakan Tourism that takes full account of its current and future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the industry, the environment and host communities. Jadi pariwisata berkelanjutan seharusnya berpegang teguh pada pilar ekonomi, sosial dan lngkungan, sehingga memberikan dampak baik pada kebutuhan wisatawan, industri, lingkungan dan komunitas masyarakat lokal. Realitanya, justru pertumbuhan pariwisata di Bali dianggap menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan, serta alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan. Tidak hanya itu, masyarakat lokal dianggap termarjinalkan akibat cengkraman para investor yang mengambil alih kuasa dalam mengelola manajemen, sehingga juga berdampak adanya kebocoran keuangan atau economy leakage, yang mana keuntungan tidak secara langsung didapatkan oleh masyarakat lokal. Berdasarkan latar belakang tersebutlah muncul Community Based Tourism untuk memaksimalkan peran komunitas/masyarakat lokal untuk berperan aktif dan terlibat langsung dalam manajemen suatu destinasi atau daya tarik wisata. Komunitas yang dimaksud meliputi pengusaha lokal, pemerintah daerah, Desa Adat dan masyarakat lokal lainnya. Pitana (2006) mengungkapkan keterlibatan masyarakat lokal (community-based approach) dianggap sebagai prasyarat tercapainya Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. Namun, seperti definisi sustainability yang telah diungkapkan sebelumnya, keberlanjutan juga seharusnya memperhatikan apa yang didapatkan wisatawan. Selama ini Community Based Tourism hanya fokus terhadap bagaimana masyarakat lokal dapat berpartisipasi, tanpa melihat bagaimana wisatawan juga bisa ikut terlibat, dan tidak hanya menyaksikan suatu atraksi wisata. Padahal keterlibatan wisatawan juga mampu menarik masyarakat lokal untuk terlibat secara langsung. Berdasarkan Teori yang dikembangkan oleh Pine & Gilmore (1999), bahwa terdapat Experience Realm, antara lain: Entertainment, educational, esthetic serta escapist. Ide dari Experience Tourism adalah bagaimana wisatawan tidak hanya berwisata, tetapi juga mendapatkan pengalaman dari kegiatan berwisatanya. Pine & Gilmore (1999) percaya bahwa kunjungan wisatawan akan bermakna dan berkesan jika berdasarkan pada pengalamannya saat menikmati suatu daya tarik. Pengalaman tersebut dibagi menjadi dua axis, yakni aktif dan pasif, serta absorpsi dan imersi. Mengangkat pasar local tidak bisa dipaksakan dengan kawasan industry, oleh karenanya pendekatan yang dilakukan adalah modifikasi dan adaptasi dengan basis experience-based tourism. Mengambil contoh Desa Pemuteran yang menggunakan konsep escapist, yakni dengan mengembangkan atraksi wisata divo (Diving Volunteering) yang mana wisatawan tidak hanya menyelam tetapi juga menjadi relawan untuk melestarikan terumbu karang yang dibudayakan dengan sistem Biorock tersebut. Mengembangkan talenta dan pasar lokal, tidak bisa terlihat hasilnya secara instan. Contoh pada Desa Pemuteran membutuhkan sekitar lebih dari dua decade. Desa Pemuteran pada mulanya merupakan Desa Nelayan yang mencari mata pencaharian dengan menangkap ikan, namun cara yang mereka lakukan merusak lingkungan, yakni dengan menggunakan bahan peledak, begitu pula mereka tidak peduli dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Sampai pada akhirnya pengusaha I Gusti Agung Prana berinisiatif untuk memperbaiki dan mengembangkan desa ini dimulai pada tahun 1990an. Semangat Bapak Prana juga didukung oleh LSM asing seperti Global Coral Reef Alliance untuk bergabung, misalnya: Thomas J. Goreau dari Amerika Serikat dan Wolf Hibertz dari Jerman. Kolaborasi mereka membuat teknik ramah lingkungan untuk menumbuhkan terumbu karang melalui Biorock. Di luar dugaan, Pemuteran berubah menjadi lanskap megah di bawah air. Deville (2012) menambahkan bahwa keberhasilan proyek Pemuteran sebagian karena keterlibatan masyarakat di mana para pemimpin desa, pemilik toko selam, nelayan dan profesional pariwisata semuanya bekerja menuju dunia bawah laut yang lebih baik dan rehabilitasi terumbu karang. Keberhasilan ini membawa Pemuteran untuk meraih dua penghargaan, yaitu: The Equator Prize dan UNDP Special award dari United Nations Development Programme. Dalam rangka mendorong berkembangnya pasar lokal, yang paling utama harus dibenahi adalah pola pikir, memastikan masyarakat lokal ikut melangkah dalam ritme yang sama, sebab partisipasi masyarakat lokallah yang menjadi pemeran utamanya dari keberhasilan dari suatu program. Pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi desa saat itu. Secara umum, dapat dijabarkan bahwa terdapat 4 kuadran bentuk manajemen yang sebaiknya dilakukan dalam mengembangkan sumber daya yang terdapat di suatu destinasi. Mengutip teori dari Birner dan Wittmer (2000) mengenai Modal Sosial dan Kapasitas pemerintah. Keempat kuadaran tersebut antara lain: (1) Pengelolaan oleh swasta. Hal ini jika berada pada kuadran 1, yakni baik pemerintah dan masyarakat lokal masih sama-sama lemah; (2) Pengelolaan berbasis masyarakat. Hal ini terletak pada kuadran 2, yakni peran masyarakat lokal terlihat sangat kuat; (3) Pengelolaan oleh pemerintah, yakni ketika pemerintah memiliki kapasitas yang lebih kuat; (4) Ko-manajemen, yakni ketika masyarakat dan pemerintah sama kuatnya. Mengembangkan Pasar dan talenta Lokal tidak bisa dilakukan hanya sepihak, setiap stakeholder harus memiliki visi, misi, pandangan dan tujuan yang sama. Mengembangkan pasar dan talenta lokal juga membutuhkan komitmen yang kuat dan kolaborasi yang imbang.