Teknologi Kunci Pemerataan Pertumbuhan Pusat Ekonomi Baru

August 04, 2021

JAKARTA – Saat ini Indonesia menempati peringkat ke-85 dari 131 negara dalam Global Innovation Index  2020, urutan ini tidak berubah sejak 2018. Terdapat dua indeks untuk mengukur daya saing sebuah indikator yang dimiliki negara tersebut, yaitu Global Competitiveness Index Ranking yang dikeluarkan oleh World Economic Forum dan Global Innovation Index yang dikeluarkan oleh World Intellectual Property Organization. Skor tinggi Indonesia ada dalam 4 pilar dari 7 pilar penilaian Global Innovation Index, yaitu infrastruktur, kecanggihan pasar, keluaran pengetahuan dan teknologi, dan keluaran kreatif. Sebaliknya, Indonesia berada di bawah rata-rata pada 3 pilar, yaitu institusi, sumber daya manusia dan penelitian, serta kecanggihan bisnis.

“Saat ini, Indonesia lebih mencoba untuk menguatkan human capital, business sophistication knowledge, tergantung hasil dari peran research and development ataupun kajian terhadap product development yang ada. Sehingga, munculnya inovasi tadi akan lengkap tidak sekedar nilai tambah yang kita peroleh dari pembangunan infrastruktur saja,” kata Direktur Inovasi & Kawasan Sains dan Teknologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Achmad Affandi sebagai pembahas dalam University Lecture #3 Road to Indonesia Development Forum 2021, Kamis (22/7).

Ia menambahkan bahwa nilai tambah yang besar bukan di manufaktur akan tetapi di patent & technology dan brand & services. Teknologi tidak bisa diberikan begitu saja tanpa network yang terbuka. Kolaborasi antar lembaga diperlukan agar perkembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berjalan lancar. Tanpa kerjasama, maka KEK tidak akan berkembang.

Saat ini, Indonesia memiliki 19 KEK, lebih dari 120 Kawasan Industri, 37 Science Technology Park, dan 4593 perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia. Akan tetapi masih ada diversitas yang luas. “Kita juga harus mempertimbangkan diversitas kita yang sangat luas yaitu terlalu maju di Jawa dibandingkan tempat lain. Inikan ada keberhasilan yang tidak dikontrol oleh kemajuan teknologi yang kita miliki. Sementara, pusat unggulan kita juga terbatas. Berbagai masalah ini, perlu kita atasi,” tutur Achmad.  

Achmad menekankan pembangunan KEK tetap didukung tetapi juga perlu mempertimbangkan peluang-peluang lain berupa sinergi berbagai pihak. Sehingga adanya klaster kolaborasi di sebuah kawasan, misalnya industri logam dengan agrobisnis. “Andai kemajuan ristek berjalan dari kebutuhan kawasan, kita tinggal terlibat di sana, misalnya dari rekayasa prototype, pengujian, dan lainnya. Kita akan punya sinergi duluan meskipun apa yang kita lakukan itu belum menyeluruh ke mereka. Tentunya ada teknologi juga yang mereka pegang,” kata Achmad.

Dia menambahkan pemerintah sebaiknya juga memanfaatkan magang industri, problem solving industri, hilirisasi inovasi, dan melibatkan dosen. Kolaborasi dengan teknologi tinggi dan modal besar kedepannya akan memperkuat resource yang mempunyai kegiatan sejenis. Kluster yang berkolaborasi akan membuat ekosistem yang baik demi perkembangan KEK dan industrialisasi.


--> -->