Ekosistem Dibuat Lebih Fleksibel

August 07, 2019

Sesi Initiate IDF 2019

JAKARTA, KOMPAS Ekosistem kctcnagakerjaan di Indonesia terlalu kaku. Regulasi yang ada belum dapat mengakomodasi perkembangan teknologi digital yang pesat.

Oleh karena itu, pasar tenaga keija di Indonesia akan dibuat lebih fleksibel. Dengan cara itu, dapat lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi digital.

"Ekosistem ketenagakerjaan harus diperbaiki karena dunia sudah semakin fleksibel. Perkembangan teknologi memaksa industri berubah,” kata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dalam diskusi di Indonesia Development Forum 2019 di Jakarta, Selasa (23/7/2019).

Perbaikan ekosistem ketenagakerjaan itu melalui revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Wacana merevisi UU Ketenagakerjaan sudah bergulir sejak 2017, tetapi hingga kini belum dioksekusi. Pemerintah mengklaim kajian akademis banyak dilakukan sehingga raneangannya masih disusun.

Hanif menambahkan, revisi UU Ketenagakerjaan bukan hal mudah. Pemerintah masih berdiskusi dengan dunia usaha, serikat pekerja, dan DPR terkait konten yang akan revisi. Aturan baru diharapkan menguntungkan perusahaan maupun pegawai.

Revisi UU intinya perlu mendorong pasar kerja lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Orang bisa keluar-masuk pekerjaan lebih mudah,” katanya.

Secara terpisah, Menteri Pereneanaan Pembangunan Nasional/Kepala Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, perencanaan kebijakan tidak lagi menggunakan paradigma lama. Generasi muda dilibatkan untuk menyampaikan usulan dan gagasan dalam menyusun strategi nasional penciptaan lapangan kerja.

Selain merespons teknologi digital, penciptaan lapangan kerja akan lebih inklusif, termasuk untuk penyandang disabilitas,” kata Bambang.

Persoalan ketidaksesuaian kualitas tenaga kerja dan kebutuhan dunia usaha tetap menjadi agenda prioritas. Kebijakan yang bersifat parsial akan dihilangkan agar tidak ada tenaga kerja yang dirugikan atas perkembangan teknologi digital.

Studi McKinsey Global Institute 2017 di 46 negara memprediksi, sekitar 50 persen aktivitas kerja yang membuahkan upah total hampir 15 triliun dollar AS berpotensi mengalami otomatisasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja di Indonesia per Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang. Dari jumlah itu, hampir separuhnya lulusan sekolah dasar.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani berpendapat, regulasi ketenagakerjaan bukan sekadar membuat ekosistem lebih fleksibel. Hal paling penting justru konsistensi program pengembangan kualitas tenaga kerja. Tujuannya menjaga daya saing dunia usaha. (KRN)

 

Sumber: Kompas Cetak 24 Juli

 

 


--> -->