IDF 2019: Dari Sasando hingga Hollywood, Peluang Masa Depan Industri Kreatif Nusantara

August 06, 2019

Natalino Mella, pemain Sasando dari Nusa Tenggara Timur.

“Saya ingin sepuluh tahun ke depan tidak ada lagi orang tua yang mempertanyakan pilihan anaknya yang ingin berkarir sebagai seniman,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

 

Hilmar Farid hadir dalam Sesi Khusus Koalisi Seni Indonesia “Employment and Human Capital in the Indonesian Arts and Culture Sector” di Indonesia Development Forum (IDF) 2019. Profesi seniman seringkali masih dipertanyakan dan belum diterima sepenuhnya di masyarakat sebagai profesi yang menjanjikan. 

 

Meskipun kerap menelurkan karya-karya fenomenal dan menjadi kebanggaan bangsa, harus diakui industri kreatif masih lapangan pekerjaan baru yang belum banyak mendapat pengakuan masyarakat. Hilmar memaparkan tidak banyak yang menyadari ekonomi berbasis kebudayaan kreatif bisa tumbuh sangat pesat. Saat ini, kontribusi sektor ekonomi yang berbasis budaya, seni, dan kreativitas sudah mencapai angka 6,1 persen dengan pertumbuhan 8,8 persen per tahun. Tapi, angka di negara berkembang lain bisa mencapai 12 persen per tahun.

 

Industri kreatif semakin menampakkan kemajuan dari tahun ke tahun. Sebut saja film-film karya sineas lokal yang kini banyak diminati untuk diputar di festival-festival mancanegara. Bahkan, kemampuan bakat-bakat bidang desain kreatif dan perancang kostum yang sangat berkualitas dapat membuka peluang bagi anak bangsa untuk berkarya di kancah internasional. Sayangnya, data angka pertumbuhan di Indonesia sangat terbatas karena belum ada pendataan yang baik. Hal inilah yang menjadi salah satu target sosialisasi dan upaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Sepakat dengan Kemendikbud, Badan Ekonomi  Kreatif (Bekraf) juga menyebut ekonomi kreatif, termasuk industri hiburan, ditargetkan menjadi salah satu kekuatan industri di Indonesia. Wakil Kepala Bekraf, Ricky Joseph Pesik mengatakan film, animasi, dan video masuk ke sektor industri hiburan dengan pertumbuhan tertinggi sebesar 10,09 persen. Sementara seni dan pertunjukan sebesar 9,54 persen dan industri musik tumbuh sekitar 7,59 persen. Capaian tersebut membuat Ricky optimistis industri hiburan dapat terus menunjukkan pertumbuhan positif dan menjadi kekuatan baru.

 

"Kalau dilihat pertumbuhannya dari 2016-2018, tingkat pertumbuhannya di atas pertumbuhan nasional. Di atas 5 persen untuk ekonomi kreatif," kata Ricky seperti disampaikan pada Kompas.

 

Panggung Pertunjukan Para Seniman

 

Nah, untuk meningkatkan kesadaran terhadap industri kreatif, IDF 2019 ini mempersembahkan satu sesi tersendiri sebagai wadah pertunjukan seni bagi para mitra seniman. Sesi Art Performance bertemakan Art, Culture and Development merupakan sebuah panggung pertunjukan seni di tengah acara IDF yang dapat dinikmati pada waktu-waktu tertentu.

 

Selain melakukan pertunjukan seni, pembicara seniman yang berpartisipasi juga akan melakukan sesi diskusi singkat untuk berbagi pengalamannya berkontribusi terhadap pembangunan, tentunya dalam porsi sebagai pekerja seni. Dari pertunjukkan musik tradisional Sasando hingga teater boneka Papermoon Puppet Theater.

 

Papermoon Puppet Theater ikut ambil bagian dalam sesi tersebut. Papermoon Puppet Theater merupakan sebuah komunitas yang membuat pertunjukan boneka dengan boneka yang diproduksi sendiri menggunakan material bekas seperti tempurung kelapa, botol bekas oli dan kayu bekas. Tak berhenti di situ, mereka juga kerap bekerja sama dengan mitra pembangunan lainnya untuk membuat gerakan peduli lingkungan.

 

“Kami pernah bekerja sama dengan sebuah lembaga di Raja Ampat. Waktu itu kami melakukan workshop untuk para fasilitator sebuah sekolah, dimana kami mengajarkan mereka membuat boneka dari sampah dan material lokal. Nantinya boneka-boneka itu akan digunakan untuk membuat pertunjukan mereka sendiri,” cerita Maria Tri Sulistyani, pendiri Papermoon Puppet Theater yang akrab disapa sebagai Ria.

 

Kendati sudah pentas di panggung internasional dari Singapura hingga New York, Papermoon Puppet Theater memiliki misi untuk membawa pertunjukan seni hingga ke daerah-daerah pelosok Indonesia. Mereka tersentuh ketika menggelar pertunjukan dadakan di kampung Penagi – sebuah kampung nelayan tertua di salah satu pulau terluar Indonesia, Natuna.

 

Ria bertemu dengan penduduk lokal yang mengatakan, “Seni tak pernah sampai ke desa ini, Kak. Tak usahlah bintangnya. Pemberitahuan pun tak pernah sampai ke sini. Senang sekali kakak-kakak ini tampil di sini.”

 

Ucapan itu sangat membekas. Ria berharap bahwa ilmu yang mereka tularkan tak hanya dapat menghadirkan pertunjukan seni ke pelosok-pelosok Indonesia yang tak terjangkau seni, tetapi juga dapat terus dipergunakan dan diduplikasi.

 

Tak hanya memberikan kontribusi seni, melalui Papermoon Puppet Theater, Ria juga belajar ilmu manajemen untuk mendirikan organisasi yang berkelanjutan.

 

“Sukses itu tidak selalu besar secara kuantitas, tetapi juga kualitas. Kami memilih berada dalam tim kecil, karena kami bisa saling crosscheck satu sama lain. Di sini kami merawat satu sama lain, sudah seperti keluarga,” jelasnya.

 

Kali pertama pada IDF 2019, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki sesi khusus sebagai provinsi percontohan terpilih. Natalino Mella, pemain Sasando dari Nusa Tenggara Timur berbicara pada sesi Ideas and Innovation Marketplace “Arts, Culture and Development”. Ia tampil menunjukkan permainan Sasando di sesi ini dan panggung khusus IDF. Natalino menekankan pemerintah daerah untuk lebih aktif lagi mendorong pengelolaan dan pengembangan industri kreatif. Ia yakin seni bisa menciptakan peluang kerja, termasuk dari musik tradisional Sasando.

 

“Sayangnya, masih sedikit yang mau menekuni seni Sasando,” kata Natalino yang juga memproduksi dan  membuka workshop sasando di kampung halamannya NTT.

 

Dari sisi kerajinan NTT, tampil Du’Anyam yang mampu membuktikan industri kreatif  Du’Anyam telah membantu lebih dari 1000 ibu menambah penghasilan.

 

“Salah satu misi Du'Anyam adalah memberdayakan ekonomi dan meningkatkan kesehatan perempuan di daerah pedesaan di seluruh Indonesia. Ini dimulai dari NTT,” kata Arina selaku Public Relations Du'Anyam.

 

Dari sisi perfilman, Livi Zheng, produser dan sutradara film hadir dalam sesi Imagine berjudul “Accelerating Structural Transformation”. Livi menjelaskan banyak yang dibutuhkan untuk membuat film makin berkembang di Indonesia, termasuk membangun bioskop untuk setiap kabupaten.

 

“Indonesia itu talent-nya banyak banget. Terutama bidang production design dan bisa mengerjakan sangat cepat. Itu kekuatan kita. Tapi, orang Indonesia itu nggak PD,” katanya. 

 

Livi juga mengingatkan agar film Indonesia bisa bersaing di kancah perfilman dunia, Hollywood, pelaku film tidak melupakan akar Indonesia.

 

“Film saya banyak menggunakan elemen Indonesia,” tambahnya.  

 

Kebangkitan  industri kreatif juga terjadi di daerah. Jember yang saat ini makin dikenal sebagai kota fesyen dan festival telah mendatangkan turis lokal maupun mancanegara. Jember akan menggelar Jember Fashion Carnaval pada 31 Juli hingga 4 Agustus 2019.  Berbicara dalam sesi yang sama, Bupati Jember Hj. Faida mengatakan industri kreatif makin berkembang di wilayahnya.

 

“Jember lebih banyak diundang menjadi kurator fashion dan festival, walau pertanian memberikan penghasilan terbesar. Kita harus menyesuaikan dengan pergeseran dunia atau kita ditinggal dunia,” katanya. 

 

Premana W. Premadi, Profesor Astrofisika dari ITB dan pengampu Observatorium Bosscha menekankan pendekatan pendidikan karakter melalui STEAM (science, technology, engineering, art, and mathematics atau sains, teknologi, seni, dan matematika). Penguatan seni dan astronomi sebagai pintu masuk dinilai sebagai kekuatan rasional dan kebudayaan bangsa.

 

IDF 2019 memberikan panggung untuk seni dalam merajut berbagai diskusi untuk penguatan karakter bangsa. Seni mampu masuk ke dalam sendi pembangunan sebagai perekat kebudayaan dan pengembangan talenta lokal menghadapi peluang kerja masa depan. 


--> -->