Era Digital, Pemerintah Dorong Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

July 31, 2019

Caption Pengunjung mencari informasi di salah satu perusahaan rintisan yang berpartisipasi dalam gelaran Forum Pembangunan Indonesia 2019 (IDF) di Jakarta Convention Center, Selasa (23/7/2019).


JAKARTA, KOMPAS — Pasar tenaga kerja Indonesia akan dibuat lebih fleksibel sehingga adaptif merepons perkembangan teknologi digital. Langkah ini untuk mengatasi persoalan kualitas, kuantitas, dan pemerataan sebaran tenaga kerja.

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan, ekosistem ketenagakerjaan Indonesia terlalu kaku dan rigid. Regulasi yang ada belum mampu mengakomodasi pesatnya perkembangan teknologi digital. Salah satunya terkait pemetaaan pasar tenaga kerja, sistem upah, dan pesangon. ”Ekosistem ketenagakerjaan harus diperbaiki karena dunia sudah semakin fleksibel. Perkembangan teknologi memaksa industri berubah,” kata Hanif dalam salah satu sesi diskusi Indonesia
Development Forum 2019 di Jakarta, Selasa (23/7/2019).

Perbaikan ekosistem ketenagakerjaan akan diakomodasi dalam revisi UU Ketenagakerjaan. Wacana revisi UU Ketenagakerjaan sudah bergulir sejak 2017, tetapi belum ada eksekusi. Pemerintah mengklaim kajian akademis banyak dilakukan sehingga draf masih disusun. Perbaikan ekosistem ketenagakerjaan akan diakomodasi dalam revisi UU Ketenagakerjaan.

Hanif mengatakan, revisi UU Ketenagakerjaan bukan perkara mudah. Pemerintah masih berdiskusi dengan dunia usaha, serikat pekerja, dan DPR terkait konten yang direvisi. Aturan baru diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak, baik perusahaan maupun pegawai. ”Revisi UU intinya perlu mendorong pasar kerja lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Orang bisa masuk-keluar pekerjaan lebih mudah,” kata Hanif.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani berpendapat, regulasi ketenagakerjaan bukan sekadar membuat ekosistem lebih fleksibel. Hal terpenting justru konsistensi program pengembangan kualitas tenaga kerja. Tujuannya menjaga daya saing dunia usaha.

Dari sisi pengusaha, kekhawatiran terbesar di era teknologi digital adalah ketersediaan lapangan kerja. Indonesia tengah mengalami bonus demografi sehingga penciptaan lapangan kerja berorientasi teknologi digital penting. Tantangan yang dihadapi masing-masing Industri berbeda.

”Pemerintah mesti menyusun masterplan industri apa yang akan menjadi fokus. Konsepnya harus terpadu dan ada standar yang baku,” kata Shinta.

Mengutip data Badan Pusat Statistik, jumlah penganggur pada Februari 2019 sebanyak 6,82 juta orang. Angka itu turun 50.000 orang dibandingkan dengan Februari 2018. Adapun tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2019 mencapai 5,01 persen, terendah dalam empat tahun terakhir.

Inklusif

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BappenasBambang PS Brodjonegoro mengatakan, perencanaan kebijakan tidak lagi menggunakan paradigma lama. Generasi muda dilibatkan untuk memberi usulan dan gagasan dalam penyusunan strategi nasional penciptaan lapangan kerja. ”Selain merespons teknologi digital, penciptaan lapangan kerja akan lebih inklusif, termasuk untuk penyandang disabilitas,” kata Bambang.

Persoalan ketidaksesuaian kualitas tenaga kerja dan kebutuhan dunia usaha tetap menjadi agenda prioritas. Kebijakan yang bersifat parsial akan dihilangkan agar tidak ada tenaga kerja yang dirugikan atas perkembangan teknologi digital. Pemerintah masih terus mencari solusinya. Studi McKinsey Global Institute di 46 negara tahun 2017 memprediksi, 50 persen aktivitas kerja yang secara total membutuhkan upah hampir 15 triliun dollar AS berpotensi mengalami otomatisasi.

Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Josef Nae Soi menambahkan, tenaga kerja ilegal yang berasal dari NTT cukup tinggi. Persoalan itu kini berupaya ditekan dengan pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang lebih baik. Penduduk juga didorong berwirausaha di bidang pertanian dan peternakan.


 


--> -->