IDF 2019: Membongkar Hambatan Peluang Kerja Inklusif untuk Perempuan

July 30, 2019

Sesi Khusus bersama MAMPU: Kerja Layak bagi Perempuan di Sektor Informal.

Menurut data  SAKERNAS Agustus 2018, angka partisipasi laki-laki bekerja mencapai 83 persen, sedangkan angka partisipasi perempuan pada 51 persen. Ketimpangan angka perempuan dalam dunia kerja dibanding partisipasi laki-laki menjadi salah satu sorotan dalam penyelenggaraan Indonesia Development Forum 2019 “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif” pada 22-23 Juli 2019 di Balai Sidang Jakarta Convention Center. 

Salah satu hambatan perempuan di dunia kerja adalah anggapan perempuan tidak perlu berkarir tinggi. Seperti disampaikan Kalis Mardi Asih dari Jaringan Gusdurian pada sesi Ideas and Innovation Marketplace

“Kita harus membangun iklim yang lebih inklusif, untuk menumpas pemikiran-pemikiran bahwa seorang muslimah ditakdirkan untuk tidak keluar dari rumah dan berhenti beraktifitas,” tegasnya.  

Kalis Mardi Asih berpendapat, pembangunan tidak hanya berwujud infrastruktur, namun pembangunan juga berupa pemikiran dan mental. 

"Hijrah bukan berarti selalu berkerudung panjang lalu putus kerja atau aktivitas, dan seperti apa yang di-share akun dakwah; bahwa perempuan hanya butuh dimuliakan bukan disetarakan,” lanjutnya. 

Sementara Budi Wahyuni, Wakil Ketua Komnas Perempuan dalam sesi Imagine “Creating Inclusive Employment Opportunities” menunjukkan kondisi kerja yang belum inklusif, “Banyak perusahaan rata-rata di Indonesia, kaum perempuan mengalami hal ketidaksetaraan gender dikarenakan statusnya sebagai perempuan.” 

Menghadapi Kerentanan Peluang Kerja Perempuan di Sektor Informal 

Sesi Khusus IDF 2019 menekankan keterlibatan perempuan dalam angka partisipasi kerja. Innovate Special Session kerjasama dengan Mercy Corps Indonesia (MCI) juga menyampaikan gagasan tentang pemberdayaan perempuan berjudul “Women’s Economic Empowerment through Financial Inclusion”.

 

Ada Tias Dewi Ratih,  ibu rumah tangga yang memiliki penghasilan dengan menjadi agen Bank Mandiri. Tias rajin melakukan jemput bola untuk mengajak warga menabung. Jalannya cukup panjang, sebab masyarakat tak langsung mempercayakan uangnya kepada agen Bank Mandiri.

“Saya bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk menginvestasikan uangnya di Bank Mandiri, melalui saya sebagai agen resmi dari Bank Mandiri,” kata Tias.

 

“Kami IRT (Ibu Rumah Tangga) sangat senang diberikan sarana teknologi perbankan. Jadi, tidak perlu repot-repot dalam melakukan pembayaran rutin bulanan,” tambah Munirah, Agen Bank Mandiri Bojonegoro.

Mercy Corps Indonesia berperan sebagai penggagas penyedia layanan agen lembaga keuangan, khususnya perbankan. MCI menyasar para kelompok tani dan pengusaha mikro yang tidak mempunyai banyak waktu ataupun sulit menjangkau gerai bank konvensional. 

 

“MCI mencoba untuk memberikan edukasi digital finance services terhadap para agen bank di pedesaan, terutama kepada perempuan. Karena perempuan dinilai mempunyai pengaruh yang lebih besar, khususnya dalam memperoleh kepercayaan masyarakat,” Andi Ikhwan, Director of Agriculture, Entrepreneurship and Financial Inclusion MCI.

 

 

Sesi Khusus lain yang membahas tentang perempuan dan peluang kerja hadir melalui Sesi Khusus Panel MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender) yang bertajuk “Kerja Layak bagi Perempuan di Sektor Informal”. Pembicara Nani Zulminarni, Direktur Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) mengisahkan para perempuan kepala keluarga yang bertanggung jawab menopang kebutuhan keluarga di organisasi yang dibangunnya. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor informal. 

“Umumnya tantangan perempuan PEKKA ini bekerja di sektor informal yang persoalan utamanya adalah invisibility, mereka tidak dikenali sebagai pelaku ekonomi,” papar Nani. 

Bahkan, ada satu tren yang menonjol dari anggota PEKKA. Mereka yang memproduksi produk, kemudian bergeser menjadi pedagang karena kekurangan bahan baku.

“Kemudian, beralih ke jasa atau memasuki sektor buruh yang sangat rentan. Ataupun bermigrasi ke negara lain, lalu kemudian dijadikan sasaran eksploitasi,” lanjut Nani. 

 

Saat menjadi buruh migran, para perempuan menghadapi kerentanan baru.

 

“Yang terjadi sekarang, mereka makin terperosok karena dimarginalkan, apalagi yang bekerja di sektor rumah tangga,” kata Executive Director Migrant CARE, Wahyu Susilo.

 

Sektor informal lain yang juga didominasi perempuan adalah pekerja rumahan. Masih dalam Sesi Khusus bersama MAMPU, Program Koordinator BITRA, Erika Rosmawati  menyampaikan upaya-upaya yang dilakukan untuk membantu para pekerja rumahan. Tapi, langkah ini menghadapi banyak tantangan karena hukum di Indonesia belum merumuskan secara eksplisit mengenai pekerja rumahan. BITRA mendorong agar pekerja rumahan mendapat perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

 

“Kita berkolaborasi dengan stakeholder supaya pekerja rumahan juga dilihat oleh pemerintah dan pekerjaan tersebut bisa terlindungi. Kita mencoba mengusungkan peraturan daerah agar pemerintah membuat peraturan daerah yang melindungi pekerja rumahan,” kata Erika. 

 

Gagasan kesetaraan perempuan dalam dunia kerja juga disampaikan Satya Budi Utama, Program Unit Senior Manager, CARE Indonesia. Menurut Satya, langkah dari CARE fokus untuk mengatasi penyebab mendasar dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial bagi kehidupan masyarakat pra-sejahtera dan kelompok rentan, termasuk perempuan. 

“Inklusif artinya perempuan harus punya andil untuk melakukan aktualisasi diri di dalam dunia kerja,” kata Satya dalam sesi Ideas and Innovation Marketplace: Capturing and Sharing Knowledge dalam IDF 2019. 


--> -->