Pembicara Terpilih IDF 2019 Sub-Tema 6: Menampilkan Gagasan Inovatif Menuju Wirausaha Sosial Berkelanjutan

July 19, 2019

Bagaimana tantangan kemiskinan dan lingkungan bisa sejalan dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat? Menurut Evan Filbert, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran, kuncinya adalah wirausaha sosial. Jawaban lengkapnya bisa Anda simak dalam diskusi Indonesia Development Forum (IDF) 2019, Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif, pada 22-23 Juli di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC).

Evan merupakan satu dari lima pembicara terpilih untuk sub-tema 6: Membina Para Pelaku Usaha Sosial. Mereka terpilih dari 30 proposal yang masuk.  Pembicara lainnya Hilda Arum Nurbayati, peneliti di lembaga penelitian AKATIGA, Muhammad Nur Abdillah apoteker yang juga penggiat startup, Febe Amelia  Haryanto, mahasiswa  University of New South Wales, Sydney, Australia, dan Venansius Thomas Kapitan program Master Antropologi Terapan dan Pengembangan Partisipatif di Australian National University, Australia.

Evan Filbert akan menyajikan paparan berjudul “Poverty and Waste, Is it crucial? The Role of Social Entrepreneurship in Ending Poverty and Waste Problem”. Lingkungan dan kemiskinan, menurutnya adalah dua persoalan besar yang terus berlanjut.  Menurut Evan, salah satu kunci penyelesaiannya adalah wirausaha sosial. Lewat penelitiannya, Evan mengulas strategi membangun kewirausahaan sosial yang berbasis lingkungan untuk menekan kemiskinan.

“Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan model pengentasan kemiskinan dan limbah yang mampu mengoptimalkan pembangunan ekonomi dan mengimplementasikan Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia,” tulisnya.

Untuk itu, dibutuhkan pemberdayaan berupa keterampilan kewirausahaan yang berbasis pada ekonomi lokal dan penggunaan sumber daya lokal sebagai sumber mata pencaharian berkelanjutan. Evan mencontohkan salah satu praktik baiknya ada pada wirausaha sosial di Bandung, Futura Hijau Lestari yang memiliki Unit Pengelolaan Sampah terintegrasi, dilengkapi dengan sistem bank sampah online.

 

Febe Amelia Haryanto akan membawakan paparan berjudul Leveraging Procurement to Support Social Enterprises and Create Social Impacts”. Dalam penelitian ini, Febe mengungkapkan meski perusahaan sosial di Indonesia berkembang pesat, tapi satu dari lima perusahaan sosial mencatat cash flow yang buruk sehingga sulit tumbuh. Penyebabnya dari kombinasi berbagai faktor, termasuk akses pasar yang terbatas atau kurangnya visibilitas yang menghasilkan penjualan rendah. 

Social procurement katanya dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini. Nah, bagaimana pelaksanaan social procurement ini sebagai solusi? Kata Febe, beberapa negara, termasuk Australia, telah menerapkan social procurement berbarengan dengan sustainable procurement. Cara ini dilaporkan berdampak baik.

“Indonesia dapat mempertimbangkan penerapan ini untuk mendukung pertumbuhan perusahaan sosial, dengan meningkatkan arus kas mereka, sambil mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya peningkatan peluang kerja yang inklusif dan berkelanjutan,” tulis Febe.

Selanjutnya akan ada Paparan dari Venansius Thomas Kapitan berjudul “Empowering Women’s Small-Scale Businesses in East Nusa Tenggara through Platforms to Access a Wider Market”. Usaha kecil perempuan-perempuan Nusa Tenggara Timur (NTT), menurut Venansius, terancam tidak berkelanjutan. Penyebabnya antara lain akses pasar yang rendah. Venansius menawarkan solusi bagi keberlangsungan usaha kerajinan tradisional dengan menyediakan platform untuk pemasaran lebih luas.

“Apa yang membuat ide kami ini baru? Karena kami bekerja dengan bisnis lokal untuk menjadikannya usaha terlihat oleh pelanggan mereka untuk diekspos dan diberdayakan,” tulis Venansius.

Langkahnya dilakukan dengan memperkuat keterampilan merancang desain produk dan keterampilan manajemen bisnis seperti keuangan dan logistik. Jadi tak sekadar menjadi “jembatan” antara produsen dan pelanggan, namun juga memberikan kesempatan kepada produsen untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan.

Karya berjudul “Ruang untuk Kawan” akan dipaparkan Muhammad Nur Abdillah.  Menurut Abdilah, Ruang untuk Kawan yang ada di Jatinangor adalah co-working yang dibangun menjadi sebuah ekosistem inklusif, terbuka, menyediakan ratusan kawan yang telah berproses bersama mereka.

“Mereka siap menjadi teman berbicara, mendengar, dan menyimak sekaligus menguatkan, serta saling berbagi waktu, ilmu dan sumberdaya lainnya,” kata Abdillah dalam paparan singkatnya.

Ruang ini menjadi wadah bagi terjalinnya hubungan baik dalam ekosistem yang inovatif. Ruang untuk Kawan ini juga memfasilitasi jejaring dengan beragam mitra yang bertujuan menguatkan usaha, melakukan riset kewirausahaan sosial dan pengembangan produk.

Pembicara berikutnya adalah Hilda Arum Nurbayati yang akan hadir di IDF 2019 dengan karya berjudulMenciptakan Praktik Usaha Pertanian yang Adil dan Berkelanjutan melalui Model Usaha Sosial berbasis Komunitas: Kasus Praktik Baik Komunitas 1000Kebun, Bandung”. Pertanian di Indonesia, menurut Hilda, masih belum menemukan model bisnis yang menguntungkan semua aktor yang terlibat, terutama para petani. Intervensi pemerintah terhadap pertanian masih banyak terfokus di hulu, sementara sisi hilir kurang disentuh. Di tengah permasalahan ini, muncul startup yang mengusung model usaha sosial untuk mengembangkan proses yang adil dan berkelanjutan.

Di antaranya wirausaha sosial Tani Hub yang menggunakan teknologi digital, serta Komunitas 1000Kebun (1000K) di Bandung yang telah berhasil memfasilitasi ratusan petani dari berbagai daerah untuk menjangkau pasar lebih luas. Sejauh ini, komunitas yang digerakan kelompok muda usia ini telah memfasilitasi petani-petani di Cikalong Wetan, Ciwidey, Cijapati, Garut, Bojong Koneng, Cisarua, Indramayu, Grobogan, dan Bantul untuk memasarkan produk-produknya dengan harga yang adil.

Anda punya gagasan untuk mengembangkan dan membantu keberlanjutan wirausaha sosial? Sampaikan gagasan Anda di IDF 2019!


--> -->