Pasang Surut Penelitian Kebijakan dari Orde Baru hingga Reformasi

July 08, 2019

Fajri Siregar, kandidat PHD dari University of Amsterdam serta Dosen FISIP UI.

Sepak terjang Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan sejak masa orde baru, memiliki banyak tantangan. Tantangan tersebut antara lain, terkait keberlanjutan keuangan lembaga, pro dan kontra pendanaan donor, hingga persoalan manajemen dan kelembagaan.  

Persoalan pendanaan oleh donor misalnya. Pada saat berdirinya LP3ES tahun 1971, biaya operasional LP3ES didanai oleh pendonor FNS (Friedrich-Naumann-Stiftung) dari Jerman.  Sepuluh tahun kemudian, pendanaan seperti itu dianggap oleh Ismid Hadad, ketuanya saat itu, akan membuat LP3ES bergantung pada donor. Kemudian model pendanaan diubah berdasarkan program atau proyek. “Tantangan lainnya adalah soal manajemen aset,” kata Fajri Siregar, kandidat PHD dari University of Amsterdam serta Dosen FISIP UI.

Bagaimanapun LP3ES adalah pelopor organisasi masyarakat sipil di Indonesia periode pertama di Indonesia. “Sistem yang dibangun menjadi  acuan LSM lain pada saat itu,” kata Fajri.

Hal ini disampaikan Fajri dalam KSIxChange#12 yang bertajuk The Frailties of Indonesia Knowledge Production, A Critical reflection of civil society and Knowledge Production during Orde Baru dan Reformasi yang digelar oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) pada 20 Juni 2019.

Dalam paparannya, Fajri menjelaskan LP3ES menjadi obyek penelitiannya.  Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana LP3ES memproduksi pengetahuan pada masa Orde Baru. Menurut Fajri, kerja penelitian LP3ES cukup mendukung program pemerintah, seperti dalam pembahasan UMKM, dan ekonomi mikro.

“(Penelitiannya) Bersifat kritis, tetapi juga modernis,” katanya.

LP3ES dibentuk dengan maksud mengembangkan pendekatan pembangunan ekonomi dan sosial secara lebih holistik. Fokus perhatian dan pilihan strategis ditekankan pada upaya investasi sumber daya manusia.

Sebagai NGO yang bergerak dalam bidang penelitian, LP3ES banyak berkecimpung dalam penelitian studi kebijaksanaan, mulai dari penelitian tentang sektor informal, koperasi, industri kecil, dan kerajinan rakyat, pertanian, kesehatan ibu dan anak, lingkungan hidup dan lain-lain.

Saat model pembangunan alternatif diperkenalkan pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, LP3ES mulai memberi perhatian pada pengembangan sektor ekonomi skala kecil. Di wilayah perkotaan, pengembangan ekonomi skala kecil dan sektor informal dilakukan dengan mengembangkan sentra-sentra industri kecil, memberikan dampingan manajemen usaha kecil, pelatihan wirausaha, dan fasilitasi pemasaran produk-produk usaha kecil.

Di wilayah pedesaan, pengembangan sosial ekonomi dilakukan melalui pesantren dengan mengembangkan usaha-usaha ekonomi. Strategi dan pendekatan yang digunakan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan baik yang di perkotaan maupun di pedesaan bertumpu pada tiga strategi utama, yaitu (a) memperkuat sumber daya manusia, (b) memperkuat kelembagaan dan otoritas komunitas, dan (c) membangun skema kredit mikro yang dapat diakses oleh komunitas miskin (rakyat). Lahirnya institusi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di seluruh Indonesia merupakan rekomendasi penelitian yang dilakukan LP3ES.

Melalui penerbitan majalah Prisma, LP3ES berupaya menyuguhkan pembahasan pembangunan ekonomi, perkembangan sosial, dan perubahan kultural di Indonesia. Prisma lalu menjadi bacaan akademisi, mahasiswa, hingga pejabat.

“Prisma sebagai pendorong wacana akademik selama Orde Baru,” kata Fajri.  Prisma juga jadi panggung bagi pejabat untuk menulis

LP3ES, menurut Fajri juga diuntungkan oleh nama besar Dorodjatun Kuncorojati hingga Emil Salim sebagai pendiri Yayasan Bineksos, yayasan yang menaungi kelahiran LP3ES. Kedua nama menjadi magnet tersendiri, termasuk di kampus-kampus, sehingga membuat LP3ES menjadi lebih dikenal publik.

 

Aktivis intelektual pasca-reformasi

Saat Prisma berhenti terbit sementara pada 1998, secara kebetulan muncul Jurnal Wacana dari INSIST Press, lembaga yang bergerak di bidang penerbitan, pendidikan pelatihan, dan advokasi. Lembaga ini lahir di Yogyakarta pada 1997 dari tangan Mansour Fakih dan Roem Topatimassang.

Penerbitan Jurnal Wacana  menurut Fajri mengembangkan  pemikiran alternatif, dan gagasan-gagasan baru tentang transformasi sosial. “Isu-isu yang diangkat oleh INSIST Press lebih jelas, yaitu keadilan sosial dan pemberdayaan komunitas. Ada dua kata yang sangat menggambarkan lembaga INSIST, yaitu ‘organik intelektual’,” jelas Fajri. 

Fajri mengatakan, kedua tokoh pendiri INSIT, yaitu Roem dan Mansour ingin memadukan aktivisme dan keilmuwan. Salah satu karya Roem dalam penerbitan INSIST berjudul Sekolah itu Candu, sedangkan Mansour Fakih menulis Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

Dalam perjalanannya INSIST yang semula berbentuk yayasan lalu berubah jadi konfederasi yang diklaim sebagai entitas legal, dengan merujuk pada sistem kelembagaan ala Federasi Sepak Bola Dunia, FIFA.

“INSIST memindahkan aktivitas ke wilayah regional, terdiri organisasi 13 daerah, produksi pengetahuan makin bermanfaat kalau dekat dengan komunitas,” lanjut Fajri. 

Sebagai contoh INSIST di Jambi bersama komunitas petani setempat mempraktikkan pengetahuan tentang bertanam di lahan gambut.

“Sayangnya ada persoalan Knowledge Management, yaitu pengetahuan yang mereka dapat di lapangan banyak menarik, tapi mereka jarang menuliskannya, tidak didokumentasikan, tidak masuk jurnal, sehingga orang tidak tahu,” papar Fajri.   Menurutnya ini menjadi tantangan bagi INSIST.

Tantangan lain yang dihadapi INSIST adalah keberlanjutan finansial dalam pengembangan lembaga.

“Mereka ini memiliki statuta, tapi tidak mengatur secara detail hal-hal yang harus dilakukan lembaga, misalnya soal keuangan, pembagian kerja dan lain-lain, Kelembagaannya sangat cair dan sangat bergantung pada stock of knowledge para seniornya. Ini menimbulkan tantangan baru dalam transmisi nilai, bagaimana membawa, dan merawat nilai ini dari senior ke junior,” papar Fajri lagi. 

Berkaca dari dua NGO yang diteliti, Fajri menandai beberapa perbedaan tentang LP3ES dan INSIST. Fajri mengatakan LP3ES memiliki pemikiran kritis, tapi juga mendukung program pemerintah, sedangkan INSIST dengan semangat awal ingin menginisiasi gerakan sosial dengan bersikap lebih kritis terhadap program pemerintah.

“Tapi, menariknya secara individual, ada potensi menjadi fasilitator program pemerintah, misalnya fasilitator untuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa),” lanjut Fajri. Contohnya seperti di Maluku. Menurut Fajri, sejumlah pengurus INSIST Maluku berkolaborasi dengan pemerintah daerah, menjalankan program-program pemerintah, termasuk turut mengembangkan BUMDes. 

Produksi pengetahuan LP3ES banyak mengangkat isu-isu nasional dan menjadi organisasi palugada, alias mengangkat beragam isu nasional. Sedangkan INSIST dengan transformasi yang kini berada di 13 daerah lebih dekat dengan isu lokal dan dekat dengan komunitas. Terkait hal ini, desentralisasi pengetahuan dengan isu lokal ala INSIST bisa dimanfaatkan untuk proses pemidahan ibu kota ke wilayah baru.

Kedua lembaga menggambarkan pentingnya proses pembangunan yang melibatkan semua pihak, termasuk LSM, baik sebagai pengontrol yang kritis maupun pendukung program pembangunan tersebut. Pelibatan berbagai elemen masyarakat, adalah bagian dari upaya mendorong pertumbuhan inklusif di semua lini, di tingkat Nasional, maupun lokal. Sejalan dengan perhelatan Indonesia Development Forum IDF 2019 “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif, pada 22-23 Juli mendatang.


--> -->