Meet the Leader Hana Madness (Seniman Bipolar): Dukung Penyandang Disabilitas Mental Lewat Lukisan Warna-warni

July 05, 2019

Hana Alfikih dalam acara Road to IDF 2019 bertajuk “Room E: The Future is Us: Perempuan Juga Punya Peluang”.

“Jadi aku akan bawa karyaku yang warna-warni itu ke kota itu. Kota itu disebut kota depresi, setiap satu minggu satu orang bunuh diri,” ungkap Hana Alfikih atau Hana Madness, pelukis dengan kondisi bipolar yang tengah menyiapkan pameran ke Saint Helena, Inggris.

Ia akan berpameran bersama seniman asal London akhir tahun ini. Pameran dikemas sebagai ajang kampanye agar publik tidak mendiskriminasi penyandang disabilitas mental dan bisa menerima, serta mendukung mereka. 

Ini bukan kali pertama Hana membawa hasil lukisannya ke Inggris untuk kampanye mendukung penyandang disabilitas mental. Pada 2016 lalu ia telah berpameran di London. Hana juga pernah pameran di Jerman (2018) dan tentu saja di Indonesia.

Bersama seniman Inggris, Hana juga membuat video yang mengangkat isu mencegah pemasungan. Ia juga menjadi salah satu inisiator Festival Bebas Batas yang diselenggarakan pada 12 -29 Oktober 2018 di Gedung Galeri Nasional, Jakarta Pusat.

“Saya bilang ke Dirjen Kebudayaan, saya sudah jauh-jauh ke London, Pak. Harus ada yang bisa dilakukan di Indonesia. Akhirnya dibuatkan Festival Bebas Batas,” katanya menjelaskan festival seniman disabilitas yang digagas bersama salah satu mitra Indonesia Development Forum (IDF), British Council.

Kegigihan Hana mengkampanyekan dukungan untuk penyandang disabilitas mental bermula dari kondisi kejiwaannya sendiri. Sewaktu SMA, Hana divonis mengalami bipolar. Vonis itu sendiri baru jatuh setelah bertahun-tahun dia mengalami gangguan kejiwaan. Tapi, didiagnosa secara salah menerpa hingga beberapa kali.

“Sampai aku mendapatkan treatment yang salah yang memperparah kondisi aku saat itu, karena memang pengetahuan dan informasi tentang kesehatan jiwa memang belum sebanyak saat ini,” jelasnya.

Hana juga pernah mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual.

“Aku sangat merasa peristiwa-peristiwa itu membentuk mental aku hingga detik ini,” tambahnya.

Ia mengaku sering emosi, histeris, melukai diri, menangis berhari-hari, hingga sempat beberapa kali berniat bunuh diri. Baik Hana dan keluarganya sama-sama sulit menerima kondisi kejiwaannya. Konflik demi konflik baik dengan diri sendiri dan keluarga dialami Hana sejak SMP.  Sekolahnya pun berantakan.

Akibat situasi itulah Hana kerap merasa sendirian. ‘Teman’ paling setianya adalah sketch book dan drawing pen, yang dibawa ke mana-mana, termasuk ke sekolah.

“Ke sekolah aku bawa tas kecil isinya adalah sketch book, drawing pen, dan baju ganti untuk sewaktu-waktu kalau aku tidak ingin pulang ke rumah,” ceritanya. 

Keluarganya waktu itu mulai membebaskan Hana melakukan apa yang diinginkan, lantaran keluarga merasa kesulitan mengendalikannya. Di luar rumah, Hana mulai berkumpul dengan para seniman yang membuatnya makin giat menekuni seni.

Disabilitas Bisa Berkarir Menembus Batas

Hana mulai mengakui tentang kondisi kejiwaannya di depan publik, pada sebuah talkshow televisi pada 2012, berjudul “Mereka Bilang Saya Gila”. Usianya baru 19 tahun dan ia menjadi satu-satunya narasumber perempuan.

“Aku mendapat apresiasi luar biasa. Tapi aku malu sekali, karena waktu itu isunya masih sangat abu-abu,” katanya. 

Belum lagi rasa malunya mereda, pertentangan datang dari keluarga.

“‘Kamu ngapain sih umbar-umbar aib kamu seperti itu?’ ‘Ibu mau bilang apa sama Pakde.’ Karena kami waktu itu Jawa sekali dan keluargaku sangat konservatif,” ungkap Hana yang saat itu sempat takut bertemu keluarga.

Ia menambahkan karena kondisi kejiwaannya pula, keluarga intinya sempat dikucilkan oleh keluarga besarnya. Tapi, Hana memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya, melukis dan berkampanye mendukung penyandang disabilitas mental.

“Karena sampai dengan hari ini, aku mendapat banyak sekali pesan dari orang-orang atau keluarga yang anggotanya mengalami kondisi seperti aku yang tidak tahu harus melakukan apa. Ternyata, di luar sana banyak sekali yang tidak bisa menyuarakannya. Aku ingin mewakili mereka,” tambahnya.

Ciri khas lukisan khas Hana adalah doodle art warna-warni. Doodle Art merupakan  gaya menggambar terlihat abstrak, tapi terlihat unik dan menarik. Hana kerap kali menyuguhkannya dalam karya berbentuk monster warna-warni.

“Orang tanya apakah monster warna warni itu berhubungan dengan kesehatan jiwa, aku bilang iya, buat mentranformasi apa yang ada dalam diri aku menjadi lebih berwarna. Menggambarkan dengan lebih jelas, keceriaan, kemarahan, ketakutan,” papar Hana.

Klien pertamanya didapat setelah lulus SMA. Lima karyanya dipajang dalam produk korek api yang lantas diproduksi hingga setengah juta unit dan beredar di seluruh Indonesia.

“Itu menjadi pencapaian pertamaku yang membuatku senang, tapi di sisi lain kondisi kejiwaanku juga sedang parah,” kata Hana lagi dalam acara Road to IDF 2019 bertajuk “Room E: The Future is Us: Perempuan Juga Punya Peluang” di Jakarta pada 22 Juni 2019.

“E” yang dimaksud dalam “Room E” bermakna “Elevate, Equip, Evolve, Empower,” sebagaimana telah dicontohkan Hana, bukan hanya sukses dalam karir, tapi aktif bekerja untuk membantu sesama penyandang disabilitas mental.

Awalnya melukis adalah upaya Hana menyalurkan emosi dan meredam emosi ketika bipolar menyerang, tapi sekarang melukis menjadi profesinya.

“Dulu orang melihatku karena disabilitasku, sekarang orang melihatku karena karyaku,” katanya. 

Kini, karya Hana yang penuh warna juga dilirik brand besar seperti produk fashion Converse dan minuman Good Day.

Lebih dari itu, kini Hana menerima dukungan besar dari keluarganya dalam menekuni seni dan berkiprah dalam kampanye mendukung penyandang disabilitas mental.

“Hubungan aku dengan keluargaku sekarang sangat harmonis, melebih dari apa yang pernah aku bayangkan,” katanya.

Lewat lukisan dan berbagai aktivitas lain kini Hana mengabdikan dirinya untuk berkampanye mencegah pemasungan penyandang disabilitas mental. 

 

Mari Membangun Support System

Bagi penyandang disabilitas mental, merasa diterima menjadi penting. Menurut Hana, dari penerimaan ini pelan-pelan support system akan terbentuk. Orang-orang di sekitar bisa memulainya dengan percakapan sehari-hari, seperti menanyakan kabar, atau percakapan yang ringan lainnya. Katanya, itu akan membuat penyandang disabilitas mental merasa diperhatikan dan ada yang peduli padanya. 

“Kalau ada yang bilang ingin bunuh diri, jangan bilang, ‘Ah lebay kamu, kamu  bisa sholat, kamu bisa dzikir.’ Sebab, ketika seseorang ingin bunuh diri, mereka tidak bisa berpikir jernih. Jadi, kalau orang bilang ‘jangan-jangan’, itu percuma,” lanjutnya.

Apa yang bisa dilakukan?

“Penyandang disabilitas mental hanya ingin didengarkan, dipeluk,” jawab Hana.

Tatkala seseorang mulai kehilangan fungsi sosialnya dengan ciri mulai menarik diri dari lingkungan sosial, seseorang tersebut kata Hana, harus diarahkan untuk mengikuti pengobatan. 

“Itu adalah fase yang berat karena penyandang disabiltas mental kerap menerima stigma. Ketika orang pergi ke psikiater akhirnya dianggap memalukan,” tambahnya.

Hana menegaskan tak ada yang salah pada orang dengan disabilitas mental, yang salah adalah orang-orang yang menancapkan stigma pada mereka.

Road to IDF 2019 Room E: The Future is Us: “Perempuan Juga Punya Peluang” memberikan ruang membahas kesehatan jiwa sebagai isu disabilitas yang kerap tersembunyi. Room E bertujuan untuk menciptakan acara yang kohesif dan seru untuk mendukung perempuan muda meningkatkan skill dan saling mendukung. Acara ini menghadirkan perempuan inspirasional yang memiliki karir yang unik dengan menunjukkan potensi peluang kerja di luar jalur tradisional menuju kepemimpinan dan pemberdayaan.

 

Saksikan video Meet the Leader Hana Madness di YouTube IDF!


--> -->